"Pokoknya aku nggak setuju mas, aku nggak mau dia tinggal di rumah ini. Kamu boleh membiayai sekolahnya tapi aku nggak sudi lihat wajahnya setiap hari di rumah ini."
"Vina.. dia juga anakmu, apa kamu tega membiarkan dia hidup seorang diri, Ibumu baru meninggal tiga hari yang lalu. Kalau kamu menolaknya kemana lagi dia harus pergi."
Mendengar pertengkaran tersebut dengan langkah gontai Dinara pergi meninggalkan rumah sepasang suami istri yang sedang bertengkar di kamarnya. Ia menyadari bahwa ia tidak diinginkan oleh ibu kandungnya sendiri. Hari itu hatinya hancur setelah patah berulang kali. Ibu yang sangat ia kagumi dan sayangi amat sangat membenci dirinya.
*****
"Ya ampun mbak hidungnya berdarah"
Dinara langsung menyentuh hidung nya, dan benar saja darah segar sudah mengalir. Langsung saja ia menerima tisu yang diberikan Rini.
"Mbak bener nggak papa? Rini perhatikan akhir-akhir ini mbak sering mimisan."
"aku nggak apa-apa kok Rin, ini mimisan biasa, mbak cuma kelelahan aja."
"Kalau gitu mbak istirahat aja di kamar, nggak usah terlalu diforsir sama kerjaan, nanti pesanan ibu-ibu PKK biar Rini yang handle."
"makasih ya Rin, kalau gitu mbak ke kamar dulu"
"iya mbak"
******
Jarum jam menunjukkan pukul 2 pagi, Dinara terbangun. Berkali-kali mengganti posisi tidur tetapi tidak juga membuat matanya kembali terpejam. Akhirnya ia keluar dari kamarnya menuju ruangan tempat dimana ia biasanya bermain dengan kanvas dan cat.
Di ruangan 3 kali 4 meter inilah Dinara biasanya membunuh rasa rindunya kepada sang mama, sudah banyak lukisan wajah mamanya yang ia buat, namun tak pernah sekalipun ia berani memperlihatkannya kepada orang lain. Bahkan mamanya saja tidak mau menerima hasil lukisannya. Semuanya hanya ia simpan sendiri. Tak banyak yang mengetahui bahwa ia pandai melukis. Kemampuan yang juga dimiliki oleh mamanya.
"Sampai kapan mama membenciku ma, apa salahku, tak bisakah sedikit saja mama menerimaku"
*****
"Habis dari mana ma?" Ucap Herman suami vina yang sedang duduk di meja makan
"Mama dari panti asuhan pa.. biasa habis kasi bantuan buat mereka" ucap vina sambil duduk di kursi makan
"Hahaha..." Herman tertawa mengejek
"Loh... kok papa ketawa sih"
"Mama itu lucu, anak-anak di panti asuhan diperhatikan, diberikan santunan, tetapi mengabaikan anak sendiri"
"Mama nggak pernah mengabaikan Kanaya dan Alvin pa, maksud papa apa?"
"Jangan pura-pura lupa ma, kita masih punya satu anak lagi, putri tertua kita yang nggak pernah kamu anggap"
"Cukup pa... berapa kali harus mama bilang kita nggak usah bahas dia lagi" Teriak vina marah
"Papa nggak nyangka, ternyata papa menikahi wanita yang hatinya terbuat dari batu. Sudah 12 tahun dia pergi ma, disaat kita hidup mewah kita nggak tahu dia ada dimana sekarang, apakah dia punya tempat tinggal yang layak, apakah dia bisa makan 3 kali sehari, dan apakah dia masih hidup. Dimana hati nurani kamu vina.."
"Kalau papa lupa mama ingatkan itu adalah pilihan dia pa, kita nggak pernah mengusirnya.
"Iya pilihannya karena mama menolak untuk menerima Dinara tinggal di rumah ini"
"Jangan sebut nama dia lagi dirumah ini pa"
"Astaugfirullah vina... aku malu dengan ibu karena tidak bisa menepati janjiku untuk menjaganya. Sedangkan kamu...
"Sudahlah pa, aku tidak ingin membahasnya lagi" potong vina lalu beranjak pergi.
"Kapan kamu bisa berubah vina"
*****
Pagi itu ntah kenapa setelah berziarah ke makam orang tuanya Vina pergi ke rumah peninggalan orang tuanya. Sudah lama ia tidak mengunjungi rumah ini. Sampai di ruang tamu ia melihat banyak foto-fotonya masih terpajang termasuk foto kedua orang tuanya serta Dinara. Vina mengangkat foto Dinara yang sedang tersenyum ceria.
"Apakah aku terlalu jahat dengannya"
*****
Dinara merasa tubuhnya semakin lemah. Sejak semalam ia berda di ruang lukisnya. Ia merasa paru-parunya kian sesak dengan rindu dan kesepiannya. Lelah membayangkan butuh berapa tahun lagi agar ia bisa diterima oleh ibu kandungnya.
Tubuhnya telah merosot ke lantai dengan mata yang bekaca-kaca.
"Apakah aku akan selamanya sendiri hingga mati"
Tak tahan lagi kegelapan pun merenggutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana
ChickLitSelama 30 tahun hidupnya, seorang Dinara Keumala tidak pernah berurusan dengan pria manapun. Katakanlah ia kuno, namun ia tidak perduli, karena yang benar-benar mengetahui alasannya adalah dirinya sendiri. Cinta, kasih sayang serta keluarga adalah s...