OJEK

23 1 0
                                    

Dulu, kami berkelahi saat aku bercanda tentang memanggilnya tukang ojek pribadiku-walau memang kenyataannya bisa dibilang sperti itu. Aku tidak menyangka bahwa ia akan semarah itu. Ia pikir selama ini aku menganggap nya hanya sebatas tukang ojek. Tapi hal ini lebih dari sekedar tukang ojek.

Waktu aku kelas X, aku belum diizinkan untuk membawa kendaraan bermotor pribadi. Karena memang umurku belum cukup untuk mendapatkan surat izin mengemudi. Tetapi beberapa dari siswa di sekolah kami ada yang sudah diizinkan orang tuanya meskipun mereka belum mempunyai surat izin mengemudi. Beberapa orang tua mereka beralasan karna mereka tidak punya waktu untuk menjemput anaknya. Sebagiannya lagi beralasan agar tidak terlalu merepotkan atau agar si anak menjadi mandiri. Itu hanya beberapa. Walaupun sebenarnya aku juga tidak mengetahui dengan jelas mengapa mantan kekasihku dulu diizinkan membawa motor. Dan aku tidak terlalu peduli dengan hal itu.

Aku tidak dapat membohongi diri sendiri bahwa aku sangat senang ketika diizinkan oleh orang tuaku diantar pulang olehnya. Dengan kata lain aku bisa menghabiskan tambahan waktu 30 menit bersama dengan nya.

namun waktu itu, kami seperti pasangan yang kucing-kucingan saat akan berboncengan pulang sekolah. Seolah-olah tidak boleh ada teman-teman yang tahu. Setidaknya mungkin itu yang ia harapkan. Karena selama ini aku merasa biasa saja, malah senang sekali jika ada yang mengetahui kami pulang bersama. Norak, memang, tapi itulah yang kurasakan. Aku tidak tahu pasti apa yang membuatnya benar-benar ingin sembunyi-sembunyi. Namun bertolak belakang dengannya, aku yang kelewat percaya diri dan periang masih bersikukuh bahwa aku bisa saja naik kemotornya di depan lobi sekolah ataupun depan parkiran, sehingga aku tidak harus menunggu dari tempat yang lokasinya tidak terlalu jauh dari sekolah hanya untuk pulang sekolah bareng dia. Namun sekali lagi, perbedaan pendapat kami ini bukan benar-benar suatu masalah. Aku lebih memilih mengikuti kemamauannya agar aku bisa pulan dengannya.

Keadaan berbalik 180 derajat ketika kami mulai menjauhi sekolah. Mendadak ia menjadi orang yang sangat perhatian dengan menanyakan bagaimana hariku di sekolah. Menceritakan tentang harinya pula tentang apa yang ia lakukan hari itu. Aku tidak tahu apa yang membuatnya begitu. Sebagian diriku merasakan kenyamanan dengan sifat perhatiannya itu.

Seperti pasangan kasmaran lainnya, walau di atas motor, ia tak segan-segan menyambar tanganku dan menggenggamnya. Mungkin tidak hanya sepulang sekolah, tapi setiap kami berboncengan. Walaupun aku tidak terbiasa dengan hal itu.

Genggaman itulah yang selalu mengusikku hingga kini. Aku masih mengingat bagaimana rasanya perutku seakan-akan berputar setelah menaiki wahana roller coaster dengan tanganku berada dalam genggamannya. Aku masih ingat bagaimana perasaan itu menggelitik ku karna ternyata aku benar-benar suka padanya. Walaupun sudah dua tahun.

Di tahun ketiga ku di sma, setelah aku pulang les aku menyaksikan adegan yang selalu mengusikku itu dengan dua sejoli yang melewatiku di perempatan lampu merah. Dan mendadak semuanya terulang kembali. Aku berusaha berkonsentrasi mengendarai motor dijalan pulang sambil berusaha membuang memori itu. Namun sulit untuk dijelaskan secara logis ketika tanpa disadari itu terulang dengan sendirinya di kepalamu.

Ada hal lain selain genggaman setiap pulang sekolah kala itu yang membuat dirinya selalu menjadi sosok yang sulit dilupakan. Aku lupa menceritakan bahwa lokasi rumah kami ibarat kutub utara dan selatan yang bertolak belakang. Rumahku berada di pinggiran kota, didekat pebatasan antara ibukota dengan kabupaten. Dan rumahnya..? berada di sisi yang berlawanan. Tepat di dekat daerah pantai. aku berada di ujung timurnya kota dan dia berada di ujung baratnya kota. Atau bisa dikatakan rumahnya diluar dari kota. Untungnya ini pulau kecil, bukannya kota metropolitan seperti Jakarta atau Surabaya yang merupakan biang kemacetan dari pagi hingga malam. Sehingga aku tidak terlalu merasa bersalah ketika ia mengantarkanku pulang. Dan ia tidak pernah mengeluh soal rumah kami yang berjauhan dan kurasa benar-benar menguras bensin motor bergigi itu. Namun ternyata perjalanannya mengantarkanku selama hampir satu tahun dan yang membuatnya begitu spesial dimatakuhanyalah tiupan angin belaka. Kami tetap tidak bisa mempertahankan hubungan kami walaupun jarak bukan masalahnya.

MEMORIWhere stories live. Discover now