Kerinduan ini datang dari derasnya hujan yang mengalir membasahi bumi. Seberapa sering pun hujan jatuh, ia pasti kembali lagi untuk menghidupkan bumi yang kering.
Cerita tentang kita ada pada hujan. Ia mau mengerti tentang kerindukanku padamu, pengharapan besar kembali mu di sisiku. Dan seberapa besar aku merindukan kisah denganmu? hujanlah yang tahu."Rain, kamu belum tau Nia mau pindah?" pertanyaan Mira spontan membuatku kaget.
"Ha!.. bercandamu tuh gak lucu...," kataku.
"Bener Rain, dia mau pindah ke Bandung. Aku aja baru tau dari Vica tadi. Katanya lusa dia berangkat," Mira mencoba meyakinkanku.
"Kok dia nggak cerita sama aku yah?" tanyaku pada diri sendiri.
"Thanks ya Mir infonya, aku mau ke rumah Nia dulu."
Aku kemudian bergegas mengayuh kencang sepedaku ke salah satu sudut di kompleks perumahan itu. Tujuanku cuman satu, menanyakan kebenaran kepada Nia.
Aku dan Cintania sudah kenal dekat sejak kecil. Kemanapun kami selalu bersama. Bisa dibilang kami tak bisa terpisahkan. Dimana ada Nia di situ juga ada aku, begitu pun sebaliknya. Aku tak pernah membiarkan anak-anak kompleks yang nakal itu mengganggu Nia. Aku hanya ingin melindunginya, dimana pun dia berada. Bahkan orang tuaku dan orang tua Nia sangat senang dengan keakraban kami. Papa dan Mama Nia selalu mempercayai keselamatan anaknya padaku. Saat mereka sedang dinas ke luar kota, Nia selalu menginap di rumahku. Ibuku pun senang dengan kehadiran Nia di hidup kami. Maklumlah, selama ini ia mendambakan anak perempuan. Setelah ada Nia, ibuku selalu menganggap bahwa ia adalah bagian dari keluarga kami, sebagai adikku tentunya.
"Niaa...," panggilku sembari menyandarkan sepedaku di pagar besi rumahnya.
Aku langsung masuk ke rumah tanpa permisi. Yaa, ini sudah seperti rumah keduaku. Orang tua Nia juga sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri, terlebih setelah ayahku meninggal, Papa Nialah yang menggantikan sosok ayahku.
"Kenapa Rain?" kudengar suara dari belakang rumahnya. Kualihkan tujuanku ke taman di belakang rumah Nia.
"Jelasin, apa yang kamu sembunyiin dari aku?" tanpa basa-basi aku langsung bertanya padanya.
"Sembunyiin apa sih Rain? Aku nggak sembunyiin apa-apa," terlihat ekspresi Nia mulai berubah.
"Kamu mau pindah kan? Iya kan? Kenapa kamu nggak mau ngomong ke aku sih Nia?"
"Maaf Rain," Nia menunduk. Perlahan kulihat air mata membasahi wajahnya. "Maaf.."
Aku berjalan menghampirinya. Kunaikkan wajahnya yang masih menunduk. Kuseka airmata yang mengalir di pelupuk matanya. Tak tega aku melihatnya menangis, apalagi untuk melukai perasaannya.
"Maaf, aku udah bikin kamu nangis. Aku cuman nggak mau kamu bohong sama aku," Nia memelukku. Aku terdiam.
"Maafin aku Rain, aku nggak bermaksud bohongin kamu, aku cuman takut aku nggak bisa ninggalin kamu..."
"Tapi Nia. Aku bakal jauh lebih sedih kalau disaat terakhir sahabatku di samping aku, justru aku nggak ngasih kenangan manis buat dia. Udah yaa, jangan nangis lagi,"
Terlihat awan mendung mulai menyelimuti langit. Titik demi titik air mulai berjatuhan membasahi bumi. Semakin deras. Kuajak Nia untuk memasuki rumah.
"Ujan Nia, masuk yuk..."
"Nggak mau ah Rain, udah lama kita nggak ujan-ujanan. Aku pengen ngelewatin hujan ini bareng kamu. Belum tentu kan kita bisa bareng kayak gini lagi?"
"Yaudah yuk aku temenin."
Kami berlari menerjang hujan. Bermain-main bersama percikan hujan. Terlihat Nia tertawa tanpa beban. "Ah, aku pasti akan sangat merindukan tawanya," gumamku. Yaa, kita sama-sama menyukai hujan. Mencintai setiap titik yang terlahir dari awan mendung.