R; 1 [First Meet]

227 19 32
                                    

Gadis itu tampak gelisah seiring kegiatannya yang memandangi benda pipih putih tersebut berkali-kali. Namun naas, mau menunggu berapa lama lagi pun ponselnya tidak akan memunculkan sebuah notifikasi pesan favoritnya. Ya, notifikasi yang paling ia tunggu-tunggu semenjak satu jam terakhir.

Sebenarnya ia hanya menanti beberapa kalimat balasan dari seseorang yang sangat ia sukai. Satu kata saja. Oh, bukan. Setidaknya ia hanya membutuhkan tiga kata sebagai balasan pesan tersebut. Balasan yang dapat merubah perasaannya menjadi lebih baik maupun buruk. Memang, kurang lebih satu jam yang lalu —Lauren, gadis yang tampak gelisah tadi— telah menyatakan perasaannya pada teman satu kelasnya.

"Harusnya gue nggak perlu segamblang itu," ujar gadis itu penuh penyesalan.

Lantas ia meraih guling dan mendekapnya erat. Dibenamkannya seluruh wajah hingga tertutup sepenuhnya.

Arghhh.

Sekarang Lauren paham betul bagaimana rasanya berada di posisi seseorang yang lebih dulu menyatakan perasaan. Dilema, kalut, bingung, malu, resah, semua berkecamuk di benaknya menjadi satu. Jika boleh Lauren akui, ia menyesal karena telah mengiyakan perkataan temannya tadi pagi: bahwa Lauren lah yang harus lebih dahulu menyatakan perasaan jika tidak mau menjalani hubungan tanpa kejelasan dengan teman sekelasnya itu.

Padahal, yang Lauren butuhkan saat ini hanya rangkaian kata sederhana semacam "Terima kasih telah menyukaiku" atau seperti "Aku minta maaf".

Hanya tiga kata yang dapat membuat perasaannya menjadi lebih baik, atau bahkan lebih buruk?

Jika tiga kata itu tidak dapat terpenuhi, maka sepatah kata "Iya" pun tak masalah jika itu dapat menjadi sebuah jawaban dari suatu kepastian.

Cukup jengah dengan duduk termangu seraya memandangi layar ponselnya —menunggu, gadis itu lalu menyambar cardigan navy miliknya. Berniat keluar sebentar, berjalan-jalan sore di sekeliling komplek berharap bisa mencairkan pikirannya yang dirundung pilu.

Tanpa membawa ponsel yang tergeletak di atas nakas, Lauren langsung melesat pergi. Kebetulan di sore hari ini, Ibunya dan Nail—adik laki-laki Lauren sedang keluar rumah. Jadilah ia berada di rumah sendirian.

Tujuannya keluar rumah kali ini hanya satu. Yakni, menjernihkan kembali pikirannya. Selain itu juga untuk membuang jauh-jauh perasaan kalut yang melanda hati Lauren.

Dengan ditemani cuaca sejuk di sore hari, Lauren terus berjalan melangkahkan kakinya entah kemana. Ia hanya mengikuti nalurinya saja. Hingga sudah lebih dari sepuluh menit ia berjalan kaki berkeliling komplek, gadis itu menghentikan langkahnya di taman air mancur. Entahlah, pikirannya berkata bahwa ia harus istirahat sebentar di taman ini.

Taman komplek cukup ramai dikunjungi pada sore hari ini, dan dengan ditemani angin senja yang sepoi-sepoi, Lauren memilih untuk duduk di bangku yang menghadap air mancur. Cuaca sore yang sejuk sangat berbanding terbalik dengan segalanya yang dirasa Lauren kala ini. Mungkin semesta memang sedang berusaha menghiburnya. Tapi, perasaan Lauren sama sekali tak kunjung membaik. Setidaknya, untuk saat ini.

Sendiri, diam, dan melamun. Gadis itu tercenung memandangi beberapa anak-anak yang sedang bermain lompat tali tepat sepuluh langkah di depannya. Dua diantaranya memegangi ujung karet. Tiga diantaranya tertawa riang sembari melompati karet yang melintang panjang.

Mungkin kalian bisa mengatakan bahwa Lauren sedang galau saat ini. Dan ini membuatnya menggila. Ia tak bisa terus-terusan seperti ini. Merasa dilema oleh sesuatu yang dianggapnya nyata. Yaitu, perasaan yang dimilikinya.

Sudah puluhan menit Lauren duduk terpaku di taman ini. Ia sudah bosan. Lalu ia memutuskan untuk kembali ke rumah. Khawatir jika Ibunya nanti mencari dimana anak sulungnya berada.

Rankle | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang