Jalan Panjang

44 2 6
                                    

Aku jalan tak mengenal bayang. Semua menghilang. Lamunan bersamamu berjatuhan di kepalaku. Tapi kenangan kita masih ada. Melekat sekali dalam kepala meski kucoba-coba untuk memberanikan diri melupakanmu. Kau menghilang begitu saja. Ucapanmu tadi malam membuatku tak berkutik setelah melemparimu dengan kata-kata paling romantis. Kata-kataku tak punya wajah. Senyum yang seraya dengan ucapan itu, aku kembalikan lagi ke tempat semula. Hatiku benar-benar patah. Tak sedikit pun rasa dingin yang membelai lembut hati ini.

"Aku ditunangkan." ucapan itu berulang-ulang muncul di kepalaku. Setiap kali aku mengingatnya. Aku tidak menemukan jalan lagi meski untuk sekedar merebahkan hati yang kacau. Kata-katamu serupa nyanyian kesunyian paling menyedihkan. Dan ini menimpaku. Pahit rasanya. Aku tidak bisa apa-apa. Air mata berjatuhan secara sengaja. Membiarkan warna urat yang ada di pipiku ini memudar.

Perjalananku berhalangan. Serba ketidakcukupan ruang untuk bahagia. Perasaanku selalu dihantui dengan kenangan. Saat di mana kita bisa tertawa bersama. Melepaskan rindu dan berakhir dengan kata-kata manis yang akan kubawa untuk oleh-oleh berpulang.

Kasihku. Manisku. Kemanakah dirimu? Apa kaumasih bertahan dipukul takdir? Apa kau menyerah atas apa yang orang tuamu katakan? Kaudengar aku kan sekarang? Masa depan kita masih panjang sayang. Aku ingin bersamamu. Menjagamu sampai ingatanku benar-benar tercerabut oleb takdir. Apa kamu lupa tentang pembicaraan kita saat dua minggu yang lalu? Kau berbicara nama-nama bayi kita dan cara merawatnya nanti. Tapi apa yang terjadi sekarang sayang. Aku lupa tidak menggunakan cara apa pun untuk melupakanmu. Aku hanya ingat bahwa aku ingin sekali di sampingmu. Menjadi imam terbaikmu.

***

Kini aku benar-benar tidak bisa bersamamu. Meski keinginan kita sama. Orang tuamu sudah mengatakan mustahil di kepalamu berkali-kali saat kau mengabarkan ingin berjuang kepadaku. Itulah kenyataan. Kita tak bisa sama-sama lagi. Aku tetap ingin bertahan. Aku pasrahkan semua kepada Allah. Dia pasti membantuku dari keterpurukanku ini. Apalagi aku rajin berdoa. Tenang saja. Aku tidak berdoa macam-macam sebagaimana orang-orang yang patah hati ingin segera bangkit lagi. Aku mungkin berbeda dari laki-laki lain. Aku cengeng dari segala hal. Aku cengeng untuk bergerak maju melupakanmu. Melupakan semua tentangmu meskipun kausudah mempunyai pasangan lain. Maafkan aku Raudah. Maafkan aku. Aku tidak akan melupakanmu. Karena cara terbaik melupakanmu adalah bertahan.

Bunyi mobil terus saja mengusik rumahku. Batas antara jalan raya dengan rumah sangat dekat. Dekat sekali. Seperti hatiku yang tidak mau jauh darimu. Aku mulai beraktifitas kembali seperti semula meski memikul beban kenangan kita. Sudahlah. Aku tetap akan bertahan Raudah. Aku tidak ingin bersama orang lain.

Semenjak kehilanganmu. Kini aku merasa sendiri. Sendiri dalam segala hal meskipun aku punya banyak teman bermain. Ketika aku bersama mereka. Aku selalu merasa sendiri. Hiburan apa pun tak ada yang bisa mengusir kepedihan ini. Semua bahan candaan sudah sering aku terima dari teman-temanku yang ingin peduli. Barangkali peduli ketika sedang tahu aku pedih begini. Dan ketika aku sedang tidak apa-apa. Semua lenyap bagaikan api ditelan air.

Kemunafikan juga sangat sering terjadi di antara para lelaki dan juga perempuan. Jangan anggap makhluk yang berjenis kelamin itu tidak punya kemunafikan. Seiring berjalannya pengetahuan. Sebagaimana keinginan untuk menguasai. Apalagi cintanya ditolak dan permasalahan-permasalahan klise lainnya.

Aku merasa tidak punya teman sama sekali. Kerinduanku pada-Nya dibutakan oleh cinta kepada makhluk yang bernama perempuan itu. Ya. Dialah Raudahku. Raudah yang selalu kucintai. Aku menerimanya bukan lantaran dia punya wajah cantik dan sebagainya. Bicara cantik dia lebih cantik dari perempuan-perempuan lainnya. Kulitnya juga tak kalah putih dengan perempuan lain. Wajahnya biasa. Yang membuatku jatuh cinta adalah karena akhlaknya. Karena kejujuran hatinya yang dapat menerimaku apa adanya. Tanpa memandang statusku kaya atau tidak. Intinya dia tulus menurutku.

Aku ingat sekali ketika kita jadian tidak dengan saling tembak menembak. Sebagaimana sebutan bagi orang yang menyatakan cintanya kepada orang yang dicintai. Hubungan kita lama-lama menjadi aneh. Dimulai dari sebuah pertemanan yang tidak lama. Seminggu kita sama-sama saling peduli dan sampai ke dataran yang tertinggi dari perasaan. Yaitu cinta. Kita saling cinta dan saling melemparkan kepedulian satu sama lain. Aku kenalkan ia kepada orang tuaku. Aku kenali ia ke teman-temanku. Ia bilang kita berhubungan tidak boleh berlebihan. Karena sesuatu yang berlebihan bisa jadi itu yang menggugurkan hubungan kita. Ternyata benar apa yang ia katakan. Kita sudah pisah dan tidak ada lagi pesan rindu yang tersembunyi. Semuanya menjadi pesan tanya tanpa jawaban.

Kenapa di setiap aku jatuh cinta kepada orang lain selain dirinya hatiku tidak merasakan kespesialan. Sebagaimana upayaku untuk melupakan. Hatiku patah ketika jatuh cinta. Cintaku tidak menemukan jalan pulang. Kepulangan menjadi sebuah jebakan dengan segala celurit-celurit di dalamnya. Entahlah. Aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Jatuh dan sakit menjadi sebuah fenomena yang sering menyiramiku. Menyiram dengan segala kepedihan-kepedihan yang lain.

Kini aku mencoba menangkap apa yang Ustad Rumi katakan. Aku diminta untuk menguatkan imanku. Imanku kacau kata beliau. Cintaku tidak berguna katanya. Lebih baik cepat menikah mumpung usiamu masih muda. Aku bertanya kepada Ustad Rumi. Kenapa kalau aku menikah di usia tua Ustad? Usia muda rentan kauhidup dengan bahagia dan mendapat limpahan rejeki tidak terduga. Kauharus melakukan hal-hal baik kepada diri sendiri. Dan tidak menyiksa diri dengan kepatahhatiannya. Kira-kira hanya begitu jawaban Ustad Rumi.
"Bagaimana dengan aku yang ingin menikah dan hatiku tidak merasakan bahagia Ustad. Seakan-akan aku berjalan tak menemukan titik terang sama sekali. Dan itu pun ada di sebuah goa. Aku tersesat bersama kenangan-kenangannya Ustad." aku tiba-tiba menimpali Ustad Rumi dengan pertanyaan yang aku alami betul. Ustad Rumi hanya mengatakan dekatkan dirimu terlebih dahulu kepada Allah. Mintalah petunjuknya. Allah akan berikan yang terbaik dan menyelesaikan permasalahanmu.

Aku mulai mencoba membuka hati. Melenturkan segala kekakuan yang menimpaku. Dekat dengan Allah dengan mengucapkan doa-doa di hati dan kepala. Semua memang benar-benar berubah. Tidak seperti biasanya. Hatiku mulai merasa nyaman dan tidak timbul kepedihan apa pun. Nyaman senyaman nyamannya. Allah menjawab segala pertanyaanku. Tapi tidak dengan mematahkan kenangan-kenanganku dengan Raudah. Aku tetap memikirkannya meskipun dia benar-benar melupakanku dengan memilih pilihan orang tuanya.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 13, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JALAN LAIN MENUJU PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang