Soft Drink

15 1 0
                                        

Tiga tahun yang lalu.
            “Sial!” desisku pelan. Bisa-bisanya soft drink yang biasa aku minum sudah habis sepagi ini. Bahkan semua jenis minuman di showcase nyaris tidak ada lagi.
            “Kau mencari ini?” belum sempat aku mencari sumber suara, soft drink yang aku cari sudah ada dihadapanku. Tanpa perlu mengambilnya, aku langsung membalikkan badan.
            “Kau, siapa? Bagaimana kau tahu aku sedang mencari ini?” sambil menununjuk kaleng soft drink yang masih ia pegang. Alih-alih menjawab, lelaki itu justru menarik tanganku dan meletakkan kaleng soft drink ditelapak tanganku untuk kemudian menggenggamkannya. Menatapku dan tersenyum sebelah bibir. Tanpa berkata apapun, lelaki itu meninggalkanku begitu saja. Ia langsung menuju kasir dan membayar minumannya.
“Hey, siapa kau?” aku meneriakinya dari tempat aku berdiri. Dia tak sama sekali menoleh, hanya melambaikan tangan dan menuju pintu keluar toko.
            Untuk beberapa menit, aku hanya mematung dan menggaruk-garuk rambutku yang sama sekali tak gatal. “Aneh!”
Menyadari ia telah pergi, aku segera berlari mengejarnya.
            “Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?” tanyaku lagi sambil berlari-lari dan berusaha menyamakan langkah kakiku dengannya. Sayangnya, lelaki itu tidak juga menghentikan langkahnya, ia seperti tak mempedulikanku.
            “Apa kau bisu, atau kau tak bisa mendengar pertanyaanku dengan baik?” Aku semakin kesal.
            Akhirnya ia mengehentikan langkahnya, tapi itu bukan karena ia ingin meladeniku, melainkan karena ada sejumlah rombongan yang sedang jalan santai. Ia bahkan menarikku agar segera menepi. Untuk beberapa saat, aku melupakan pertanyaanku dan fokus dengan pemandangan yang sedang berlangsung.
            “Kau tahu, kenapa semua soft drink, termasuk soft drink favoritmu nyaris habis di showcase tadi?” Akhirnya ia bicara. Aku menatapnya. Belum sempat aku membuka mulut, ia sudah menjawab sendiri pertanyaannya.
            “Itu karena event itu.” Sambil menunjuk kearah rombongan yang beberapa meter telah meninggalkan kami.
            “Semua orang membeli soft drink untuk bekal jalan santainya. Hari ini pemerintah kota mengadakan pesta rakyat, salah satu agendanya adalah jalan santai. Mereka membagi-bagikan banyak sekali hadiah bagi pemenang undian.”
            “Apa itu kampanye?”
            Seketika lelaki itu tertawa, namun segera menahannya. Ia menggelengkan kepala dan melanjutkan berjalan. Meninggalkanku.
            “Hello? Apa kau tak mendengarku?.” Aku segera berlari dan untuk kedua kalinya menyamakan langkah dengannya.
            “Hei, tak semua kegiatan pemerintah itu kampanye, bukan?” Ia menjawab santai sambil tetap menatap kedepan.
            “Hei, kita tidak harus terlalu naif bukan, bahwa jabatan sang walikota akan segera berakhir. Lalu apalagi, kalau bukan usaha mereka untuk menarik perhatian masa?” Lelaki itu mengarahkan wajahnya kehadapanku. Menarik alisnya. Sebelum ia bicara lebih panjang, aku terlebih dulu melanjutkan kalimatku.
            “Ah, tapi sudahlah. Aku tak ingin membahas soal pemerintah kota, kampanye, atau apapun yang berhubungan dengan politik. Itu sangat membingungkan, terlebih, itu menyebalkan.” Aku menjelaskan dengan menggerak-gerakkan tanganku.
            “Apa kau bilang barusan? Politik membingungkan? Menyebalkan?” kali ini ia tak hanya membalikkan badan, ia bahkan berhenti. Berbicara menatapku. Aku tak mengerti mengapa ia begitu tak terima mendengar ucapanku barusan.
            “Tuan, aku mengejarmu bukan untuk berbicara tentang politik. Kau belum menjawab satupun pertanyaannku. Bisakah kau menjawabnya sekarang?”
            Lelaki itu melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya. Sepertinya ia memiliki jadwal. Tepat sekali dengan itu, bus kota berhenti di halte yang tak jauh dari kami berdiri.
            “Baiklah, aku sudah terlambat. Namaku Sammy. Kau bisa memanggilku Sam. Tentang soft drink favoritmu dan tentang politik, lain kali aku akan menceritakannya padamu – jika kita bertemu lagi.” Tanpa perlu menunggu jawabanku ia segera berlari, melambaikan tangan dan menuju bus kota.
            “Aah, pria aneh!” aku menggelengkan kepala dan mengehembuskan nafas kasar.
***
Hari ini.
            “Ada berita apa? Ada yang menarik?” tanyaku pada Elea yang sedang asik membaca koran pagi ini.
            “Kau baru bangun Lessia? Anak gadis macam apa kau ini?” Elea justru membentakku.
            “Ayolah Elea, kau ini bukan ibu-ibu yang bawel dan suka mengomel. Berhentilah memarahiku karena bangun kesiangan sekali ini saja.” Aku melengkungkan bibir, mengangkat alis, dan menatap Elea yang seketika menghembuskan nafas putus asa. Aku mengerti sekali Elea sebal mendengar kalimatku barusan.
            “Baiklah. Tapi jika nanti kau selalu bermasalah dengan mertuamu karena hal ini, jangan pernah bercerita atau bahkan meminta solusi denganku!” Elea menaikkan nada bicaranya.
            “Tentu saja. Aku tak akan memiliki ibu mertua seperti itu, Elea! Ia akan sangat menyayangiku.” Aku mendekatkan kepalaku ketelinganya, “Aku akan menjadi menantu kesayangan!” Aku berbisik.
            Elea tersenyum dan mengangkat setengah bibirnya – senyum tak percaya, 100%.
            “Wake up Lessia! Hentikan mimpimu disiang hari. Kalaupun ada mertua yang rela menjadikan kau menantu, itu karena ia pasrah pada takdir yang menjadikan anaknya sebagai jodohmu.” Elea tertawa lepas. Merasa menang telah membalas telak kalimatku.
            Kali ini, aku yang sebal. Dia benar-benar menyinggungku. Jahat sekali!.
            “Ah ha. Omong-omong soal jodoh, pergi kemana kau bersama Sam tadi malam? Kau benar-benar tak mendengar kata-kataku, Alessia!” Elea kembali berbicara serius.
            “Aku tahu apa yang aku lakukan. Kau tak perlu khawatir. Aku tak akan mengulang apa yang terjadi dua tahun lalu.” Kali ini aku juga serius. Meski aku tak begitu yakin dengan yang kukatakan. Tapi, aku tak ingin Elea khawatir denganku.
            Elea hanya mengangguk-anggukan kepalanya sambil kembali membaca koran. Beberapa menit, ia justru berteriak dengan pembicaraan lain.
            “Hei, ada lowongan pekerjaan!”
            “Aiiss. Aku kira kau membaca undian berhadiah, Elea! Kau mengagetkanku. Oh ya, bukankah kau sudah bekerja? Kau menyukai pekerjaanmu, bukan?”
            “Bukan, bukan itu, Lessia. Pekerjaan ini cocok sekali denganmu.”
            “Elea, sudah berapa kali kukatakan? Aku tak ingin bekerja terikat. Tidak, aku tidak mau. Sungguh, kau tak perlu berepot-repot.”
            “Tidak Lessia. Kau harus membacanya terlebih dahulu. Kali ini aku yakin pekerjaan ini cocok sekali denganmu.” Elea segera menyodorkan koran kepadaku. Aku menatapnya, ia mengangguk yakin. Tak bisa kutolak, aku menerimanya. Kemudian membaca iklan lowongan kerja itu lamat-lamat.
            “C & M Factory? Aku pernah dengar. Bukankah ini perusahaan penerjemah terpercaya di negeri ini?”
            Elea hanya menganggukkan kepala. Aku melanjutkan membaca. Kali ini, teliti sekali. Aku berusaha memahami apa yang sedang dicari oleh perusahaan sekaliber C & M Factory itu.
            “Ini sedikit aneh!”
            Elea mengangkat alisnya.
            “Penerjemah bahasa Inggris? Bukankah sangat berserakan manusia yang bergelarkan sarjana bidang ini?”
            “Lalu?” Elea segera merespon. Penasaran.
            “Hmm. Lalu kenapa mereka tidak mengirimkan surat undangan di universitas-universitas ternama dan memintanya untuk mengirimkan mahasiswa terbaiknya? Bukankah itu yang harus dilakukan perusahaan besar dan terpercaya? Mereka tidak harus memasang iklan ini bukan?”
            Elea mengangguk-anggukkan kepala. Ia setuju dengan yang kukatakan.
            “Bisa jadi kau benar.” Elea mengubah posisi duduk, kemudian melanjutkan kalimatnya. “Disisi lain, barangkali mereka ingin memberikan kesempatan kepada semua orang untuk mendaftar. Itu lebih fair kan? Tapi, apapun yang menjadi alasan mereka, yang terpenting kau harus mendaftar. Ayolah Lessia. Aku percaya kau sangat berkompeten dibidang ini. Lagipula kau harus memiliki karir bagus kan? Bukan hanya penerjemah freelance!”
            Aku terdiam. Melengkungkan bibir. Mulai berfikir. Sebenarnya aku juga tertarik. Ini adalah yang aku cari selama ini. Elea benar sekali, pekerjaan ini cocok denganku, terlebih dengan passionku. Selama ini aku selalu menolak tawaran pekerjaan apapun. Salah satu alasan klasikku selain tak sesuai dengan passion adalah tak ingin terikat dengan berbagai peraturan yang semakin kaku disetiap perusahaan: No excuse!. Baiklah, aku mengerti mereka menginginkan yang terbaik, tapi kadang they don’t even think to serve us as well.
            “Baiklah, demi kau, aku akan mengirimkan lamaran besok.” Aku mengambil kembali koran yang sejak tadi kuletakkan diatas meja dan segera beranjak. Aku memiliki jadwal bertemu klien dan harus segera bersiap-siap.
            Elea mengepalkankan kedua tangan dan menariknya kencang “Yes!” Sebelum sampai didepan kamar, Elea meneriakiku. “Semoga berhasil, Alessia! Aku mendukungmu seratus persen.” Aku tersenyum, menghembuskan nafas kasar.

***
          
            Hari ini, seperti janjiku pada Elea, aku sudah bersiap menuju kantor perusahaan C & M Factory untuk mengantar berkas. Bukan main, rapi sekali pakaianku hari ini, layaknya pegawai kantor kebanyakan. Tentu saja Elea yang lebih sibuk memilihkan kostumku pagi tadi. Ia bahkan memilih datang terlambat kekantornya demi melihatku terlihat mengagumkan di perusahaan tersohor itu. Aku menggelengkan kepala mengingatnya. “Hei ini baru mengantar berkas, bukan wawancara!” tapi Elea tetap memaksaku berpakaian rapi agar lebih meyakinkan.
            Aku mengehentikan langkah tepat didepan toko yang aku lewati. Sejenak aku mengingat sesuatu: kebiasaanku 3 tahun lalu. Aah, aku selalu membeli soft drink ketika berangkat kuliah. Hampir dua tahun aku membuang kebiasaan itu. Aku tidak ingin ingatan buruk itu muncul. Tapi kali ini aku merindukan rasa soft drink favoritku. Seketika ingatanku menyambungkan sebuah nama. Aku segera mengecek ponsel. Tak ada notifikasi. Sudah beberapa hari setelah malam itu, Sam bahkan sama sekali tak memberi kabar. Lelaki itu belum juga berubah. Ia hanya menghubungiku saat ia mengingatku. Aku segera memasukkan ponsel kembali kedalam kantong celana. Tak lama, aku memutuskan masuk toko dan membeli soft drink itu.
            Cepat sekali aku menuju showcase. Tak dapat dipercaya, minuman itu habis lagi. “Apa akan ada yang terulang?” aku meletakkan kedua tanganku dipinggang. Ketika aku akan menutup showcase, nyatanya diantara deretan soft drink, ada satu kaleng lagi favoritku. Aku berteriak riang dalam hati.
            Aku membalikkan badan, berniat menuju kasir dan membayarnya. Urung. Seseorang datang. Ia membuka showcase. Matanya memandang seluruh soft drink. Kemudian menutupnya kembali. Sepertinya apa yang ia cari tak ia temukan.
            “Apa anda mencari ini?” sambil kusodorkan kaleng minuman yang ada ditanganku.
            Ia menatapku beberapa saat. Tersenyum. “Bagaimana kau bisa tahu?”
            “Eh, tidak. Aku hanya menebak. Ada banyak sekali jenis minuman di showcase itu, tapi kau seperti tak menemukan yang kau cari. Dan ini adalah kaleng terakhir untuk minuman jenis ini di showcase. Aku bahkan membutuhkan beberapa menit untuk menemukannya tadi.”
            “Tepat sekali. Analisa yang mengagumkan.” Ia kembali tersenyum.
            “Jika demikian, maka ambilah ini.” Aku menyodorkan kaleng minuman itu lebih dekat lagi.
            Lelaki itu segera memasang wajah tak percaya. Bingung.
            Tak perlu menunggu. Aku meletakkan minuman itu ditelapak tangannya. Meninggalkannya, menuju kasir dan membayarnya.
            Ia segera mengejarku. “Hei, tapi ini milikmu, bahkan kau bilang kau butuh beberapa menit untuk mencarinya?”
            Sebelum memutuskan keluar toko, aku terlebih dulu menjawab pertanyannya. “Tidak. aku sudah memberikannya padamu.”
            “Aku bisa membelinya di toko lain.” Tegasnya.
            “Tidak perlu. Aku senang melakukannya.” Aku tersenyum lebar. Meyakinkan.
            “Baiklah. Terimakasih. Oh ya. Aku Rey.” Ia menjulurkan tangan.
            “Aku Alessia.” Menerima juluran tangannya.
            “Baiklah, aku ada urusan. Aku harus segera pergi.” Ucapku.
            “Tidak masalah. Senang bertemu denganmu, Alessia.”
            Aku membalas ucapannya dengan tersenyum dan kemudian pergi keluar toko menuju halte bus.

Bersambung...

Another LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang