Another Life

62 7 27
                                    


Another Life

"Lalu, bagaimana jawabanmu?" tanya Elea sambil menatap layar laptop, mengerjakan kerjaan kantornya. Ia hobi sekali melakukannya dikamar kontakanku sambil bercerita banyak hal. Semenjak bekerja, kami tak mungkin bertemu disiang hari kecuali weekend.

"Aku belum menemukannya." Jawabku datar.

Meski Elea tak menjelaskan, aku sangat paham arah pembicaraannya. Bagiku Elea bukan sekedar dormmate, teman kuliah, atau sahabat. Aku menyebutnya "my another self"; diriku yang lain. Dia kadang lebih mengerti aku dibanding diriku sendiri.

"Hei, bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa kau ingin segera menikah? Kenapa susah sekali memberi keputusan!?"

"Lea, ini tak sesederhana yang kau katakan!"

Hening sejenak. Saling pandang.

"Aku mengerti. Saranku, berfikirlah bijak." Ucap Elea tegas.

Aku tersenyum. Menganggukkan kepala.

"Oh, ya, ini titipan undangan." Sambil memberikan lipatan kertas cantik yang dibalut plastik.

Aku menerimanya. Membaca sekilas.

"Kau datang?" Elea mengalihkan pandanganku.

"Tentu saja. Kiara teman sekelasku. Kita harus datang dihari bahagianya. Satu lagi, agar kita cepat-cepat tertular, bukan?" aku menyikut Elea. Kami tertawa.

"Kapan hari itu akan datang? Aku dulu atau kau dulu?"

"Harus aku dulu!" jawabku menggoda. Tersenyum.

"Bisa jadi. Eh, tapi aku meragukannya. Kau akan menikah dengan siapa?"

Aku mngernyitkan dahi. Sebal. Namun sebelum aku membalas, Lea sudah melanjutkan kalimatnya.

"Kau ini payah Alessia. Ada laki-laki yang sudah melamar, tapi kau masih banyak berfikir. Padahal apa kurangnya? Itu, lelaki yang diam-diam mengagumi dari semester awal kau hingga akhir kuliah bahkan sampai sekarang, kau justru semakin dingin dengannya. Kabarnya ia juga memberi hadiah dihari wisudamu. Benarkah? Dan yang itu. Polisi itu, siapa namanya? Ah, aku lupa.."

Aku baru saja membuka mulut dan hendak menjawab, tapi Elea lebih dulu ingat.

"Oh ya, Robby. Teman kuliahmu juga kan? Sahabatmu? Apapun itu, kau tetap saja tak punya pertimbangan. Belum lagi, teman lelakimu saat magang di luar kota. Bukankah dia mengirimkan buku tentang wanita mulia saat kau ulang tahun kemarin? Kau bilang dia tipe lelaki penyayang, bukan? Apalagi Alessia??"

"Lea, aku sedang tak ingin membahas tentang itu. Yang harus kau tau, aku sedang fokus memperbaiki diriku. Dan..."

"Tak perlu dilanjutkan." Elea memotong kalimatku.

"Kau sudah sering mengatakannya. Kau akan berbicara soal cinta dan perasaan. Dan bla bla bla. Heh, mungkin kita perlu belajar banyak hal lagi soal itu."

Aku menghembuskan nafas pelan. Mengiyakan. Tapi tetap saja kan, cinta memang mutlak soal perasaan. Tak bisa dibuat-buat, tak bisa diatur; bahkan diri kita sendiri tak bisa melakukannya. Dan aku? Aku tidak tahu kenapa belum bisa tertarik dengan semua lelaki yang Elea sebutkan tadi.

"Kau benar. Sekarang lebih baik kita tidur." Jawabku.

"Baiklah." Sambil berjalan keluar kamar.

"Kau tidak ingin menginap denganku, Lea?"

"Malam ini aku sedang ingin menghabiskan malam dikamarku. Lagipula kau juga harus sendiri bukan? Kau harus memikirkan jawaban yang harus kau berikan untuk Mr.smart itu kan?"

Another LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang