cat

1.9K 220 9
                                    

CAT

BTS fanfiction

Characters belongs to God, BTS belongs to Bighit

.

.

.

Cuaca sedang panas dan aku hampir gila karena tanganku terus berkeringat sampai kulitnya jadi keras mengembang. Orang bilang yang tangannya berkeringat seperti aku punya masalah pada jantungnya, atau punya penyakit apa lah, tapi aku tak paham. Aku tak terlalu acuh pada hal-hal semacam itu karena kalau kutahu faktanya sama saja aku membuat diriku sendiri tertekan karena vonis. Aku memilih untuk menarik selembar tisu dari kotaknya tiap kali keringatku keluar. Rasanya jadi segan untuk bersalaman dengan orang lain, terkadang. Aku harus memastikan tanganku kering sebelum itu.

Bulan Agustus yang panas punya angin besar yang sejuk. Maka pintu, jendela dan apapun yang bisa dibuka, aku buka lebar-lebar agar angin masuk Kuharap hujan akan turun sekali saja, yang deras. Supaya tanganku tak berkeringat terus. Tisu dalam kotakku mungkin hampir habis karena kupakai, kuremas dan kubuang hingga menumpuk di satu sudut di mejaku. Aku sedang menonton tivi dan aku tambah kesal karena acara yang tayang tidak ada yang menarik di siang menjelang sore seperti ini.

Kadang aku ingin memaki, atau berteriak pada siapapun untuk mengekspresikan kegilaanku. Tapi hm, siapa pula yang mau mendengarkan? Jadi lebih baik kupendam saja. Lebih baik aku merebahkan diri di sofa, bernapas dan kembali menonton dengan tenang.

Aku menekan-nekan tombol rimot, mencari saluran yang sekiranya tak hanya menayangkan petualangan seorang pria botak yang mengerjakan banyak hal di kampung, atau sinetron picisan tentang istri durhaka, atau juga iklan panci yang tiada habisnya. Aku benar-benar jenuh dan tak punya pelampiasan. Aku terlalu malas bergerak ke kamarku untuk mengambil laptop. Jadilah aku seperti batu.

Krieet! Aku bangun dari tidurku ketika kudengar bunyi derit pintu. Tadinya sudah terbuka dan sekarang makin terbuka lebar karena seseorang masuk.

Ah, aku tahu siapa dia. Maka aku segera turun dari sofa untuk menghampirinya.

"Jimin-ie! Kau kemana saja?! Empat bulan menghilang tanpa kabar sama sekali dan sekarang kau pulang? Masih ingat aku rupanya? Kau masih ingat di mana rumahmu? Kukira kau sudah melupakanku dan bahagia di luar sana!" saat itu emosiku yang maju duluan. Aku langsung menyemprotnya ketika kami bertemu pandang di depan pintu. Aku menjegalnya dulu sebelum dia bisa melangkah lebih jauh. Dia terlihat sedikit lusuh. Belum mandi, kuyakin. Dan yang beda dari dirinya setelah empat bulan meninggalkanku adalah tubuhnya yang nampak kurus

Dia hanya diam tanpa mau mengatakan apa-apa padaku. Aku mencebik, masih marah. Dia seolah-olah tidak mau membahas kemana dia dan kenapa dia tak juga muncul di hadapanku empat bulan ini. Aku selalu menunggunya di rumah, bertanya-tanya kapan dia akan kembali. Ketika aku punya makanan enak aku selalu ingat padanya. Ketika aku minum susu aku juga ingat padanya. Kemudian ketika tidurpun aku merasa hampa karena di ranjangku hanya ada aku sendiri. Aku selalu ingin melihatnya ada di hadapanku karena aku butuh teman bicara. Aku butuh teman tidur. Aku butuh teman untuk bisa kupeluk dan kujahili tiap hari. Tapi dia menghilang empat bulan lamanya dan aku sudah putus asa untuk berharap dia akan kembali. Bahkan, aku sempat berpikiran kalau mungkin dia mati.

Tapi kini dia ada di hadapanku. Jadi entah karena aku bahagia dia telah kembali, meski ingin marah tapi aku tak bisa mengomel lama-lama. Yang kulakukan hanya bernapas dan menatapnya terus-terusan, bukan untuk menginterogasi, tapi untuk ganti mulutku yang mengatakan padanya kalau aku rindu dia. Sungguh. Aku sangat merindukannya dan aku ingin menerjangnya saat itu juga. Seandainya dia tidak pulang dalam keadaan lusuh begitu. Jadi kusuruh dia mandi dulu.

R [Minyoon ff]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang