Buliran air menetes sekilau kristal
Ia tenang seolah tak berhak menghakimi
Bunga yang haus akannya terus menariknya datang
Terpikat, mengabaikan segala asa
Hingga ia menjadi gelap, layu karenanya
Bandung, 2015
"Nara... Nara!"
Teriakan itu bersama tepukan di belakangku membuyarkan lamunanku. Kulihat sekelilingku. Rupanya ruang ujian telah kosong.
'Sial. Kemana semua orang.' Gerutuku dalam hati.
"Kalau kamu sudah selesai mengerjakan ujian, kamu boleh pulang kok." Suara dosenku, Satri, kembali membuyarkan lamunanku.
"Oh baik Bu, saya permisi dulu ya." Jawabku sopan.
Hal ini bertentangan dengan suara hatiku. Aku sudah membayangkan banyak hal buruk kepada Bu Satri yang sudah menganggu lamunanku. Aku berdiri dan bergegas keluar.
Hangat mentari segera menyambutku begitu aku menginjakkan kaki diluar kelas. Entah kenapa suasana hari ini sangat cerah. Hijau semak-semak berpadu sempurna di taman yang terletak di depanku. Bahkan muncul pelangi. Apa hujan baru turun? Pantas saja udaranya sesegar ini. Kunaikkan kedua tanganku dan melebarkannya sejauh mungkin. Ketenanganku tak berlangsung lama. Tiba-tiba saja kepalaku mulai berdenyut. Kuraba dahiku dan memijatnya. Berharap rasa sakitnya akan segera menghilang.
'Mungkin ini efek hanya tidur 3 jam selama 2 Minggu.' Gumamku.
Tiba-tiba aku merasa seperti tengah diawasi. Apa ini hanya perasaanku saja?
"Eh lo ngapain aja sih. Emangnya lo kira ini tempat tidur lo?" sindir seseorang dari arah belakang.
Ternyata benar ada yang mengawasiku. Dengan muka datar kutengokkan kepalaku ke arah suara. Ternyata sahabatku, Asca.
"Emang kenapa Ca? Daripada tidur waktu diskusi?"
"Lah.. Kalau itu.. Ah yaudah lah, ayo balik." Balas Ca, berusaha mengalihkan topik.
Dasar Asca. Untung aku sudah menganggapnya sahabat. Kuhembuskan udara dari mulutku. Samar-samar aku teringat kali pertama kami bertemu. Entah takdir atau kebetulan. Kufokuskan pandanganku pada Ca. Kukira perasaan ini telah lenyap. Namun nyatanya rambutnya yang lurus masih memiliki efek manis yang sama. Membuatku terpesona. Indah, tapi entah kenapa terasa menyesakkan. Kurasakan sesuatu mengalir dari mata kananku.
'Apa ini yang basah?'
Kuraba pipi kananku dan heran kenapa aku tiba-tiba menangis. Entahlah, hatiku terasa sesak. Aku merasa aku telah melanggar janji yang kusumpahkan entah dengan siapa. Pandanganku mengabur. Dentuman yang sempat menghilang kembali menghampiri. Kulihat Ca sekali lagi. Aku merasa ada sesuatu yang kulupakan tentangnya. Siapa. Siapa sebenarnya Ca.
Perlahan kepingan masa lalu mendera. Samar- samar kulihat tiga orang tengah bercanda. Aku merasa sangat mengenal mereka. Aku semakin berusaha mengingat. Ada satu sosok lagi. Ia sosok misterius yang berdiri di pojok. Semakin aku berusaha mengingatnya semakin aku merasa pusing. Matahari seolah menerkamkan hawa dingin padaku. Pemandangan hijau yang awalnya kukagumi pun perlahan memutar dan berganti warna kelabu. Badanku terasa kaku dan berat. Hanya tersisa Ca di pandanganku.
"Ca.." ucapku pelan. Tolong aku, Ca.
Hanya itu yang kuingat sebelum dunia berubah menjadi hitam seutuhnya. Badanku mendingin dan jatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never 2 Late
RomanceKita tak bisa bersama di waktu yang sama, aku tau itu Biarlah aku semakin merapuh, ketika kau semakin bersinar *** Kisahnya tak pernah biasa Anantara Ardelard telah kehilangan cahaya hatinya Ketika kegelapan menyelimutinya, apakah yang akan ia pilih...