Aku percaya kita terikat takdir
Seperti hujan yang percaya pada awan yang membuatnya jatuh
Seperti hati yang percaya pada rindu yang membuatnya ngilu
Kita layaknya terikat tali
Meregang, mengerat
Tapi tak pernah putus, meski itu berarti kita terjebak saru
Aku, kamu, terus terikat, layaknya karet
Semakin kuat ditarik jauh, semakin sakit ia saat dilepaskan
Aku tak peduli dengan tali-tali lain di sekitar kita
Aku mencoba percaya semua akan pergi dan hanya tersisa kita berdua
Tak ada cinta yang sempurna, klise memang
Tapi bagiku itu nyata
Karena itu, bahkan bila tali kita terbentang sejauh apapun itu
Aku akan menariknya, mengenggam erat dirimu
Dibawah gemulai angkuhnya gerhana bulan
Karena aku percaya, kamulah manusia terlangka bagiku
Bandung, 2015
"Nara, Bunda mau nyari makan dulu ya." Bisik seorang ibu pada anaknya yang tengah terbaring lemah.
"Ibu Farah, biar kami yang menjaga dia." Ucap suster yang berdiri di sampingnya.
Farah mengangguk. Ia memberikan kecupan manis pada kening putranya sebelum dengan berat hati keluar ruangan menuju kantin rumah sakit. Cerah mentari langsung menyambutnya, berlawanan dengan suasana hatinya yang mendung.
'Tuhan, aku mohon cepatlah bangunkan Nara.' Pintanya dalam hati.
Kantin terlihat ramai ketika ia sampai. Banyak terdapat pengunjung dan pasien dengan spektrum emosi yang beraneka macam. Senang, sedih, takut, semua terlihat jelas. Farah tersenyum miris. Saat ini pasti ia terlihat selaras dengan orang-orang berwajah sedih.
"Eh Bu Farah, mau pesen yang biasa?" Tanya ibu kantin begitu melihat Farah berdiri di depan kasir.
"Iya." Ucapnya pelan sembari tersenyum kecil.
Semua makanan tak ada bedanya. Hambar. Bagaimana mungkin ia bisa makan enak ketika hidup anaknya masih dipertaruhkan dan hanya bisa bergantung pada selang-selang yang entah bagaimana terus menopangnya hidup? Farah berjalan ke taman dan duduk di salah satu bangkunya. Ia menatap taman yang penuh kehidupan itu dengan hampa. Seolah kehidupannya ikut terhisap.
"Tante.." Panggil seseorang dari arah belakangnya.
Farah terkejut. Ia menoleh ke belakang. Tengah berdiri seorang perempuan dengan penampilan rapi, rambut panjang, dan muka manis putih yang mulus.
"Kamu siapa?" Tanya Farah.
Ia merasa familiar dengan gadis itu. Tapi siapa?
"Aku Isabella tante, teman Nara. Tante benar bunda Nara kan?" Tanya Bella dengan muka bingung dan khawatir.
Ia merasa sesuatu yang buruk telah terjadi.
"Iya Bella, maaf ya tante tidak langsung mengenalimu." Jawab Farah dengan suara menyesal.
"Tante tidak usah minta maaf, lagian kita memang sudah lama tidak bertemu sejak Nara pindah." Ucap Bella seraya tersenyum menenangkan.
"Kamu kenapa bisa ada di Bandung Bella? Dan sedang apa disini?" Tanya Farah penasaran.
"Aku habis jenguk teman Tante, dia baru terkena musibah." Jawab Bella.
Farah hanya mengangguk-angguk.
'Mungkin ini saatnya aku bertanya. Semoga firasat burukku tidak terbukti.' Batin Bella
"Maaf kalau boleh tau, Tante kenapa bisa di.." Tanyanya yang langsung dipotong oleh Farah.
"Nara. Ia tidak sadarkan diri. Entah apa yang membuatnya begitu." Jawab Farah berusaha terlihat tegar.
Suasana berubah menjadi canggung dan kesedihan terlihat jelas di muka keduanya. Bella terhenyak. Air mata mulai menetes di pipinya, begitu pula Farah. Bella duduk di samping Farah dan merintih pilu.
"Tante, Bella mau ketemu Nara."
Farah membelai rambut Bella sayang. Ia jadi teringat masa kecil Nara dan Bella.
"Iya. Ya udah ayo kita ke Nara sekarang."
Bella mengangguk. Mereka pun menuju kamar Nara, meninggalkan makanan yang belum tersentuh oleh Farah.
*
"Nara.." Rintih Bella pelan.
Ia membelai rambut Nara pelan, penuh dengan kesedihan dan penyesalan.
Dalam tidurnya, Nara merasa tengah berusaha ditarik keluar. Ia bisa merasakan seseorang tengah memanggil-manggil namanya. Namun ia melihat Asca terus berlari ke arah cahaya itu. Ia merasa harus mengejarnya. Bagaimanapun, semua salahnya.
Kondisi Nara mendadak tidak stabil dan menimbulkan kepanikan pada Farah dan Bella.
"Dokter! Dokter!" Teriak Farah penuh kekhawatiran.
Bella langsung berlari mencari suster.
"Na.. Na.. Nara!" Ucapnya kehabisan nafas pada seorang suster yang ditemuinya.
Awalnya suster itu terlihat kaget. Tapi ketika mendengar nama Nara, suster itu langsung mengangguk paham dan berlari ke ruang Nara seraya menghubungi dokter.
*
Aku raih tangan Asca sebelum ia melompat ke cahaya itu.
"Asca, kamu kenapa lari?" Tanyaku berusaha mengatur nafas.
Dia hanya melihatku dan tersenyum. Tak ada suara yang keluar darinya. Hanya tatapan yang saling bertukar di antara kami. Bisa kurasakan air mataku perlahan menetes. Tiba-tiba terdengar suara kembang api. Aku melihat ke atas dan kembang api tengah menghiasi kegelapan. Saat itulah aku merasa genggamanku pada Asca menghilang. Bersamaan dengan cahaya yang terus menarikku ke bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never 2 Late
RomanceKita tak bisa bersama di waktu yang sama, aku tau itu Biarlah aku semakin merapuh, ketika kau semakin bersinar *** Kisahnya tak pernah biasa Anantara Ardelard telah kehilangan cahaya hatinya Ketika kegelapan menyelimutinya, apakah yang akan ia pilih...