Kabar Bahagia

253 23 3
                                    


Embun pagi masih membasahi ubin-ubin halaman rumah. Angin pagi terasa sangat sejuk saat aku mulai melangkahkan kaki keluar rumah. Yah... hari ini pengumuman kelulusanku dari SMPLB di salah satu kota Malang. Aku semakin sadar bahwa hidup masih sangat panjang. Dan pendidikanku bukan hanya sampai disini saja.

Aku tak kenal kata menyerah. Bisa dibilang aku bermental baja. Aku bertekad ingin masuk SMA yang biasa seperti anak normal. Bukan masuk lagi menjadi siswa di SMALB. Aku tak pernah menganggap bahwa kelemahanku bukanlah suatu halangan untuk bisa bersaing dengan mereka. Yah... mereka yang diberi kesempurnaan.

Tapi, inilah aku Dinda Wulandari. Teman-temanku memanggilku Dinda. Aku hanya tinggal berdua dengan Ibuku. Sudah lima tahun aku ditinggal ayah. Sejak aku masih duduk dibangku sekolah dasar. Aku lahir bukan dari keluarga yang berpunya. Ibuku hanya sebagai penjual nasi uduk yang dititipkan ke sekolah-sekolah.

Aku tak mau membuat ibuku susah. Aku ingin membanggakan beliau bahwa aku bisa masuk ke SMA seperti anak-anak normal yang lainnya. Oh.. iya, aku belum mengatakan ke kalian semua bahwa aku penderita tuna netra sejak lahir. Tapi, aku tak menganggapnya itu kekuranganku justru sebagai kelebihan yang aku miliki. Aku akan tetap bersyukur kepada Allah yang telah memberiku kesempurnaan.

Pagi ini aku mulai dengan semangat dan rasa percaya diri. Aku yakin bahwa aku lulus, tapi rasa gelisah masih menghantui fikiran dan hatiku. Aku menunggu pengumuman dengan gelisah di rumah. Bapak dan ibu guru melarang siswanya datang ke sekolah. Sebab pengumuman disampaikan dengan mendatangi rumah masing-masing siswa.

Jam 10 pagi tepat. Ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku. Pagi itu ibu tak berjualan ke sekolah-sekolah hanya berjualan di depan rumah saja. Aku langsung berterik "Ibu. tolong bukakan pintunya.sepertinya ada yang bertamu."

"Iya, nduk?"

Kemudian ibu menuju pintu dimana suara ketukan itu berasal.

"Assalamu'alaikum bu. apakah benar ini rumah saudara Dinda Wulandari?" kata suara laki-laki yang bertamu.

"Ya benar pak. Maaf anda ini siapa?"

"Saya dari pihak sekolah dimana adik Dinda menempuh pendidikan disana." Laki-laki itu menjelaskan kepada ibu.

Aku sepertinya mengenal suara siapa itu. Tapi, aku tak mau hanya menebak-nebak saja iya kalau benar jika salah bagaimana. Aku tak berani menampakkan batang hidungku dihadapan mereka. Aku takut kabar apa yang dibawa bapak itu kerumahku. Kabar buruk atau kabar baikkah itu. jantungku terasa amat kencang memompa darahku untuk mengalir. Mungkin suaranya sudah sampai diruang tamu, mungkin mereka sudah mendengar dari dalam tubuhku.

"Oh, pak gurunya Dinda ya?" ibu mencoba menyakinkan dengan jelas lagi.

"Iya bu, saya Andi. Guru matematikanya Dinda, sekaligus wali kelasnya."

"Nak Andi, ada urusan apa datang kemari? Apakah Dinda melakukan hal yang tidak baik disekolah?" Ibu mulai takut jika aku melakukan hal-hal yang tidak baik disekolah. "padahal ini sudah mau kelulusan. Bagaimana nak Andi, apakah Dinda lulus?"

"Ibu tenang dulu, biar saya jelaskan. Dinda tidak pernah berbuat nakal di sekolah. Justru dia adalah murid yang sangat berprestasi. Saya datang kemari untuk menyampaikan sesuatu kepada Dinda. Boleh saya bertemu dengannya?"

"Oh, tentu boleh. Biar saya panggilkan Dinda dulu."

Ibu mulai berjalan menuju ke tempat aku berada.

"Dinda, itu adak pak guru Andi mencarimu?"

"Iya, bu."

Agu segera menuju ke ruang tamu dimana pak Andi berada. Dengan dituntun Ibu, aku menuju ke ruang tamu. Melihat kedatanganku pak Andi berdiri dari tempat duduknya mencoba untuk membantuku. Tapi ibu menolaknya dan mempersilahkan Pak Andi untuk duduk kembali.

"Assalamu'alaikum Pak. Ada apa bapak datang kemari?" dengan suara gugup aku menayakan maksudnya datang ke rumahku.

"Begini Dinda, saya dimandatkan bapak kepala sekolah untuk datang langsung ke tempat kamu. Bapak kepala sekolah memberikan ini ke saya agar bisa diberikan untuk kamu." pak Andi memberika secari amplop kepada Ibuku. "Silakan dibuka bu."

Ibu membuka amplop itu dengan perlahan. Ibu mungkin membacanya sejenak sebelum diberitahukan kepadaku. Itu terdengar saat beliau diam sebelum berbicara lagi. Aku tak tau apa yang tertulis di dalam amplop itu. Tapi yang ku tau, ibu langsung memelukku dengan suara tangis. Aku semakin tak mengerti apa yang telah terjadi. Aku tak tau ibu menangis bahagia atau sedih. Itu semua membuatku semakin bingung.

"Ibu kenapa? Kok menangis."

"Ibu tak apa-apa sayang. Ibu bangga kepadamu nak."

"ibu bangga kenapa?"

"Ibu bangga karena kamu menjadi lulusan terbaik di sekolahmu."

"Bukan hanya itu saja Dinda, kamu berhasil meraih peringkat pertama UNAS di tingkat sekolah SLB se Jawa Timur."

Ibu semakin mengeratkan pelukannya ketubuhku. Air matanya pun semakin deras mengikuti rasa hatinya yang semakin bangga kepadaku. Aku tak menyangka jika aku berhasil menjadi siswa yang terbaik.

"Dinda, kamu akan melanjutkan kemana sekolahmu?"

"saya masih bingung pak. Saya ingin sekolah di sekolah yang biasa seperti anak yang normal. Saya yakin saya mampu untuk bersaing dengan mereka."

"oh." pak Andi hanya mampu memangut-mangut. Kemudian pak Andi berpamitan karena masih banyak surat yang belum tersampaikan.

"Kalau begitu bapak pamit dulu ya. Semoga kamu selalu sukses. Oh ya, dua minggu lagi kamu datang ke sekolah untuk cap tiga jari ijazah dan skhun."

"maaf pak, tanggal berapa?"

"Tanggal 2 juni lebih tepatnya hari rabu. Jangan lupa, untuk kelas kamu mulai pukul 9 pagi."

"Siap pak." Aku bersemangat dengan meletakkan tanganku di kepala seperti sedang hormat pada saat upacara bendera.

"Ya sudah, bapak pamit dulu. Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikummus salam." Aku dan Ibu membalas salam pak Andi secara bersamaan.

Setelah pak Andi leyap dari pandangan kami. Kami bersegera memasuki rumah dan menutup pintu kembali. Ibu mengajakku untuk duduk di ruang tamu. Ibu bertanya-tanya kepadaku.

"Nduk, kamu mau masuk mana?"

"Aku ingin masuk SMA terfavorit di kota ini, bu?"

"Nduk, apa ada yang mau menerima kekuranganmu?"

"Aku yakin bu, bahwa ada sekolah yang mau menerimaku. Jika mereka punya hati yang baik, pasti mereka melihat kelebihanku bukan kelemahanku."

"Ya sudah nduk, Ibu akan selalu mendukungmu. Kamu pasti tau mana yang terbaik untukmu." Ibu memang selalu mendukung kemampuanku. Ibu menyerahkan sepenuhnya hak untuk memilih tempat menempuh pendidikanku. Aku tak akan pernah menyalahgunakan kepercayaan ibu kepadaku.

"Sudah kalau begitu nduk, kamu sekarang istirahat dulu. Nanti sore katanya kamu mengaji di masjid."

"Iya bu." Aku langsung menuju kamarku. Yah, setiap sore aku mengikuti kelas mengaji di masjid dekat rumah. Aku merupakan salah satu peserta didik di TPA itu yang tuna netra. Meskipun begitu ustadz dan ustadzah yang mengajar disitu tak pernah merasa keberatan dengan keberadaanku.



Hai... aku kembali menulis dengan cerita baru nih.. maafkan yah cerita-cerita sebelumnya masih ngegantung, tapi tenang aja pasti akan di lanjut...

Mohon kasih masukkannya yah...

Impian si Gadis ButaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang