Kantin

40 2 2
                                    

Bulan yang indah nan menawan
Yang tersenyum di dinginya malam
Mengapa kau sedih bagai di rundung  hujan
oh.. Bulan..
Indah nan cantik parasmu
Mengapa tak kunjung hilang
Mengapa kau tak tenggelam
Di tepi sungai di malam temaram,

Mati saja sana
.
.
.

"Heiii, kok puisi mu aneh?" Ucap Vanya yang sok tau.
"Yang pentingkan puisi" Jawab ku datar penuh kemenangan.

"hemm bagus yaa.. belajar asal asalan, ngomong juga semaunya.. itu yang namanya pelajar, ha?" tegur bu Nina dengan penuh wibawa.

"Aduhhhh, ibuuu, ampun..."
"Jangan ulangi lagi, sebagai orang yang berpendidikan harusnya kamu tu bla bla bla....dan bla bla bla... Denger?!"

huhhh tinggalah sudah telinga ku yang merah karena terkena jeweran maut bu Nina yang super ampuh (sebenernya jewerannya si ga sakit, cuman ocehannya yang membuat sembuh menjadi sakit dan sakit jadi, ya sakit lah, kalo sembuh si ngayal kali)

Tet..tettt

Bel sekolah penyelamat hidupku... ai lop yuuu..

Akhirnya waktu istirahat tiba. Pergilah sudah bu Nina yang anggun nan penuh wibawa, menyisahkan murid yang cemberut ria berteman telinganya yang merah.

"hahaha...kamu sih, buatnya asal asalan, kan kena batunya.."
"cih, enak aja, gak salah tu"
"iyaa, iyaa maaf.. hahaha"
"huh"
"eh, za. Tau gak, katanya ada anak baru loh di sekolah kita"
"cih, sebodo amat"
"katanya dia kakak kelas loh, kelas sebelas"
"apasih, terserah dialah mau sekolah di mana ato pindah ke mana, bukan urusan ku kok. Dasar Vanya si kepo"
"ihhhh zahra, ngomongnya suka betul"
"hahahaha"

Ketawa riang di kala perut lapar tak menjadi masalah sekaligus solusi untuk perut kenyang (ya iyalah begooo) karena itu kami, aku dan Vanya memutuskan ke kantin.

Berjalan menuju kantin, di temani ocehan Vanya yang tiada henti, membuat ku be te sendiri. Lalu dengan cepat aku memilih tempat duduk sebelum penuh.
"Za, mau nitip ga. Aku mau beli minum nih."
"Ga a. Ga haus"
"Yaudah kamu tempati mejanya dulu ya,tuh ada yang kosong. Awas lo nanti di ambil orang"
"emm.."
.
.
.
Bruk

"aduh.." "jalan lihat dong"
"ya iyalah, Bego"
"ih apasih.."

Dengan kesal aku berjalan dengan cepat menuju meja, sedangkan orang yang menabraku tadi sudah hilang entah kemana.

"Lah kamu kenapa manyun terus sih, tu siku juga kenapa merah?" Si sewot memulai pertanyaanya.
"Ga tau tuh. Ditabrak alien"
"Ehhh alien.. mana?" kemudian Vanya  celingak celinguk toleh kiri dan kanan. Mau gak mau geli juga liatnya.
"Apasih, mana ada alien bego" kataku sambil menahan senyum.
"Lah tadi, katanya..." Waduh wajah bingungnya itu loh.. geli sendiri lihatnya. Jadi ga tega buat ngerjainnya.
"tau ah, ga penting"
"e.. oke. Tapi kayaknya tuh tangan perlu di obatin deh. Sana ke uks dulu"
"males ah. Luka kecil juga"
"ets.. nanti infeksi loh, terus tanganmu jadi membusuk, terus amputasi, bla bla bla. Mau kayak gitu?" Vanya dengan wajah seriusnya menceramahi ku. Lebay si kesannya.
"Dih.. lebay lo"
Tapi tetap saja Vanya terus memaksaku ke uks. Dengan ogah ogahan aku menurutinya. Ya setidaknya menghindari ocehannya lebih lanjut.
.
.
"Ingat, kali ini jangan buat masalah lagi. Cukup ini untuk terakhir, jika kau masih mengulanginya, kau akan di keluarkan dan bahkan lebih parah dari itu. Mengerti?"
Tak ada jawaban dari pemuda tersebut, ia hanya diam dan membisu.
.
.
.
  

Air dan KelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang