|satu|

211 35 1
                                    

    
     Hari ini gue patah hati.

     Walaupun dari luar, gue tampak segar, tidak menggambarkan rupa-rupa galau sama sekali, gue tampak bahagia.

     Karena nggak perlu ada yang tau. Nggak perlu ada yang tau bahwa di dalem hati gue hancur.

     Bukan, ini bukan salah siapa-siapa, gue nggak dicampakkan atau ditinggal, sebaliknya juga nggak begitu. Tapi kalau kalian tanya akibat siapa, ya, panggil saja penyebab utama segala cerita ini adalah Putra.

     Bukan, bukan Putra anak basket yang menjadi buah bibir seluruh populasi wanita di sekolah. Di sekolah gue ada dua Putra, satunya Putra dengn segala keistimewaannya, dan satunya Putra yang invisible.

     Nggak seluruh anggota sekolah sadar bahwa ada dua Putra di sekolah ini selain Putra yang itu. Putra yang satu ini cenderung tertutup, tapi aslinya dia baik, sangat baik malah. Dan gue bersyukur karena nggak ada yang sadar kehadiran dia, nggak ada pula yang sadar bahwa Putra merupakan sosok yang kelewat baik, gue jamin pasti banyak yang naksir karena kebaikannya yang over itu.

     Kalian bisa menebak bahwa gue naksir Putra. Dan tebakan kalian jelas nggak salah, gue beneran naksir sama satu cowok nerd itu dari kelas 10.

     Tapi gue nggak sebanding dengan Putra Bagas Satria, itu kata orang-orang. Katanya, gue yang terlalu baik buat Putra. Padahal mah opini gue jelas mengatakan bahwa gue terlalu sampah buat seorang Putra yang baik.

     Ini agak paradox, tapi sejujurnya gue pernah ditembak Putra, Putra yang satunya, karena dia ngira gue naksir dia duluan. Padahal nggak, dia salah orang, bukan Putra itu yang gue maksud, walaupun sampai sekarang nggak ada yang bisa nyangka kalau gue naksir Putra yang itu.

     Gue dijodoh-jodohin sama Putra sampai dari kelas 11 kelas 12, publik bilang kita cocok dalam segala aspek, sama-sama bintang sekolah. Tapi selama setahun itu, orang-orang nggak ada yang sadar kalau mereka salah Putra. Bukan Putra ini yang gue maksud, tapi yang itu.

Endingnya, setelah banyak orang yang mencocok-cocoki kita, Putra beneran naksir gue. Gue nggak tau kenapa bisa dan gimana ceritanya. Dan akhirnya, kita mulai deket.

Seiring dekatnya kita, gue malah semakin merasa berdosa. Istilahnya, gue friendzone-in tuh si Putra. Karena perasaan gue nggak pernah berubah sedikitpun, hati gue tetep ada di Putra Bagas Satria.

Namun kenyataannya Putra Bagas Satria nggak pernah ngelirik gue, karena menurutnya gue nggak pernah menarik. Gue bukan murid teladan yang bisa buat dia terkesima. Gue cuma siswi urakan yang entah kenapa membuahkan banyak simpati masyarakat.

Gue nggak butuh semua simpati itu, gue juga nggak pengen semuanya jadi kaya gini. Sampai suatu hari, guru bahasa Indonesia gue nyuruh gue buat balikin buku di perpustakaan. Itulah pertama kali gue bicara langsung sama Putra, setelah sekian lama mengagumi dalam diam.

Putra [3/3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang