Pembicaraan gue sama Putra nggak muluk-muluk, nggak lama-lama juga, tapi sukses bikin gue tambah suka sama dia.
Putra nggak pernah tau bahwa gue selama ini kenal dengan aspek hidupnya. Itu yang membuat gue bisa klop ngobrol sama dia. Gue tau kebiasaannya, apa buku favoritnya, sampai kampung halamannya.
Tapi yang nggak pernah gue rasakan adalah sensasi saat gue tau, ngobrol dengan gue bikin dia tersenyum. Putra punya lesung pipi, di pipi kiri, nggak kelihatan betul sih, karena nggak terlalu dalem. Lagi-lagi, hampir nggak ada yang menyadari pesona Putra yang satu ini. Gue udah tau sejak dulu, tapi yang buat gue agak speechless hari ini adalah Putra (secara tidak sengaja) memperlihatkan lesungnya itu kepada gue karena ngomong sama gue.
Detik itu, gue terbang ke atas awan.
Gue agak salting, tapi gue berusaha sedemikian mungkin supaya Putra nggak sadar kesaltingan gue. Gue bener-bener takut first impression gue bikin dia illfeel. Tapi yang jelas gue senang sih, walaupun ujungnya gue harus balik karena nggak ada kepentingan lagi disana.
Tapi diperjalanan gue ketemu Putra, yang satunya. Dia lagi bolos sama teman-temannya. Matanya intens natap gue yang lagi jalan sendirian, dan tebakan gue nggak salah, dia langsung beranjak menghampiri gue.
Putra tanya, gue habis ngapain, habis darimana, kenapa jam segini keluar kelas, intinya gue diinterogasi. Jelas gue nggak nyaman lah, ya gue jawab singkat gitu terus gue tinggal. Jelas Putra kecewa, tapi semakin gue memberi dia harapan, gue semakin merasa bersalah.
Lama setelah kejadian itu, gue nggak cukup beruntung untuk bisa berinteraksi dengan Putra. Salah gue juga sih, gue juga nggak cukup berani untuk mendekati Putra, bukannya karena gue nggak mau, karena gue nggak bisa.
Jujur, gue nggak punya keberanian dan bukan tipe orang yang pintar dalam kode-mengkode. Tapi tubuh gue cukup berdedikasi dalam menghibur diri gue,
Karena mencintai itu nggak harus memiliki, dan gue memutuskan untuk mencintai Putra dalam diam.
Cukup gue dan Tuhan aja yang perlu tahu perasaan gue selama ini ke Putra, bagaimana gue mengagumi sosok pengertian itu dalam diam.
Nggak tau gimana nanti ceritanya, gue percaya bahwa jika memang Tuhan memperbolehkan gue untuk sejengkal aja lebih dekat dengan Putra Bagas Satria, pasti rencana Tuhan luar biasa.
Akhirnya, semenjak hari itu, gue bertekad untuk sedikit demi sedikit move on. Nggak ke siapa-siapa, karena move on nggak memerlukan aspek atau target selanjutnya. Gue mulai mencoba hidup jauh dari radar seorang Putra, mencoba hidup bahagia tanpa mendalami lagi ruang lingkup seorang Putra.
Karena pada awalnya gue nggak pernah membeberkan sama sekali bahwa gue memendam rasa kepada Putra yang itu, urusan ini pun lebih mudah karena pada dasarnya memang nggak ada yang tau.
Gue kedepannya mulai hidup normal lagi, dan memang benar, dari luar tampak nggak ada perubahan sama sekali dalam diri gue. Walaupun sejujurnya, susah. Mencoba untuk menghapus pengaruh Putra dalam gue itu susah.
Karena sosok Putra Bagas Satria itu luar biasa, eksistensinya dalam pikiran gue membawa pengaruh yang, jika digambarkan seolah sebesar tsunami. Butuh waktu dan usaha yang banyak unuk memulihkan efek tsunami itu.
Tapi gue percaya gue bisa, sampai suatu saat ada kejadian aneh di kelas gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra [3/3]
Short Story[COMPLETED] Ada dua Putra di sekolah gue, tapi kebanyakan orang cuma tau Putra yang satu, Putra si anak basket yang menjadi idaman seluruh wanita di sekolah. Tapi dari dulu, hati gue memilih Putra yang satunya, Putra yang tertutup dan yang eksistens...