The Beginning

40 4 12
                                    

CALIFORNIA FOREST,
FRIDAY, 13 JULY 2012.

Hitam, berembun, dan gelap. Ya, itulah yang kali ini tengah dirasakan dan dilihat oleh salah seorang anak kecil dengan pakaian yang sudah compang-camping, dan tidak lagi dikenali wajahnya, karena sudah tertutup oleh lebam. Tidak hanya itu, bahkan kulit di beberapa bagian tubuhnyapun, sudah ada yang banyak mengeluarkan darah, akibat sayatan-sayatan tipis yang dibuat oleh Axellent. Sayang sekali, penderitaan anak kecil itu sama sekali hanya dipandang sebelah mata oleh remaja berusia dua belas tahun, yang saat ini tengah sibuk menarik kedua kaki kecil milik anak tersebut, yang sudah hampir dua jam menangis tanpa henti akibat menahan rasa sakit.

“Diam, bodoh! Can you just shut the fuck up?” bentak Axellent kencang dengan tatapan menusuk seolah ia akan benar-benar menusuknya. Well, tidak habis pikir jika Axellent akan benar-benar menusuknya. Karena, hingga saat ini, ia benar-benar dibuat naik pitam hanya karena mengurus bocah berusia sepuluh tahun yang kerap mengganggu adiknya di sekolah.

Sebenarnya, tidak separah itu. Matthew Foster, seorang bocah laki-laki berusia sepuluh tahun dengan rambut pirang dan mata birunya yang jernih itu, selalu saja berlaku seenaknya terhadap Nicholas—adik dari Axellent. Mungkin, itulah yang menjadi alasan kuat mengapa Axellent berani berbuat demikian. Awalnya, hanya menampar Matthew dengan keras, dan sekarang, ia semakin berani sesaat setelah Matthew dengan tidak tahu dirinya melemparkan sampah beraroma tidak sedap ke atas kepala Nicholas saat bel pulang sekolah baru saja berdering.

Terlebih, Nicholas terlalu takut untuk menghadapi Matthew yang memang berbadan besar. Oleh karena itu, saat Axellent menanyakan siapa pelakunya, Nicholas hanya bisa menggeleng dan mengelak. Namun, Axellent benar-benar yakin bahwa itu adalah ulah Matthew, karena hal aneh apapun yang terjadi dalam hidup Nicholas kurang-lebih terjadi akibat perbuatan Matthew.

Axellent terus menarik kedua kaki Matthew dengan kasar sampai tiba di depan salah satu pohon rindang yang sempat membuatnya putus asa saat masih menginjak masa kanak-kanak. Pohon tersebut benar-benar memberikannya luka dalam yang sangat amat terasa sakitnya. Bisa dibilang, ini adalah pohon kematian untuk dirinya sendiri.

Dengan tangan gemetar, Axellent berbalik, kemudian duduk di samping Matthew yang masih menangis dalam diam. Kedua manik matanya menerawang jauh menembus pohon di hadapannya, sebelum kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Matthew. Ia merogoh sakunya dengan tangan kiri, lalu mengeluarkan sebilah pisau dari dalamnya sembari mengarahkannya dekat sekali dengan leher Matthew. Ia menggores sedikit kulit leher bocah tersebut, hingga mengeluarkan sedikit darah dari dalamnya. Kemudian, ia mengangkat pisaunya sejajar dengan bahu dan mulai mengamatinya sembari tersenyum miring.

“Axel? Berhenti..” pinta Matthew memohon seiring dengan air mata yang mulai mengalir deras diikuti dengan sorot lampu yang entah darimana datangnya hingga dapat menyinari bagian belakang tubuh Axellent.

ΞΞΞ

HUNTINGTON BEACH, CALIFORNIA,
JEFFERSON'S RESIDENT,
CURRENT TIME

Goncangan kencang di pundak Axellent membuatnya terjaga. Awalnya, ia memang berniat untuk tidur hingga tengah hari. Namun, apa boleh buat? Sepertinya, banyak orang yang masih membutuhkannya untuk melakukan hal lain selain tertidur.

Hembusan napasnya terdengar sangat jelas saat dirinya mencoba untuk duduk dari posisi tidurnya. Punggungnya ia sandarkan ke tembok di belakangnya, sementara kedua tangannya menggosok-gosokkan kedua kelopak matanya dengan kasar. “Ngapain, sih? Masih ngantuk tahu!” bentaknya keras ketika kedua matanya sudah mengerjap terbuka dan mendapati sosok Nicholas di hadapannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 19, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Last Friday NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang