Laki-laki di sudut kelas.

17 4 4
                                    

Aku percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup, sudah lebih dulu ditentukan oleh Tuhan. Tidak ada yang terjadi karena kebetulan. Semua sudah dengan sendirinya tersusun, tanpa ada yang begitu sial tertukar jalan hidupnya. Maka dari itu, aku pun percaya walau seburuk apa pun sesuatu terjadi pada hidupku, Tuhan lebih tahu bahwa itu baik untukku. 


Sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengan sosok laki-laki ini. Di salah satu ruang kelas yang sepi peminatnya. Hanya ada sekitar 20 orang yang mengambil mata kuliah ini. Itu pun, kebanyakan dari mereka jarang menghadiri kelas kecuali saat UTS atau UAS. Keadaan kelas yang tidak ramai membuatku menyadari segala sesuatu yang terjadi di kelas ini. Tidak terkecuali saat sepasang mata yang aku yakin betul sedari tadi mengawasi, walau buru-buru dialihkan saat aku menatap balik ke arahnya. Aku berdeham tidak nyaman, berusaha untuk meyakinkan diri bahwa memang benar laki-laki itu sedari tadi melirik ke arahku. Aku melirik dari sudut mata ke arahnya yang sekarang sedang sibuk dengan bindernya, ia menoleh ke arahku secara tiba-tiba dan aku tidak bisa mengelak lagi. Ia tersenyum tipis, mengangguk sopan, kemudian kembali sibuk dengan bindernya. Sialan. Aku yang seharusnya memergoki dia yang aku yakin betul sejak kelas ini dimulai sudah memperhatikanku. Bukannya malah aku yang tertangkap sedang mencuri pandang ke arahnya. 

Aku kembali memerhatikan dosen di depan kelas yang sedang menjelaskan perihal pentingnya peranan lembaga negara dalam suatu negara. Kelas siang ini berjalan begitu cepat, mungkin karena dosennya hari ini tidak begitu bersemangat mengajar melihat kelas yang hanya diisi tidak lebih dari setengah mahasiswa yang ada. Aku membereskan barang-barangku dan berjalan cepat ke arah pintu keluar, bertepatan dengan laki-laki tadi yang juga ingin keluar kelas. Pintu yang hanya dibuka separuh membuat salah satu dari kami harus mengalah untuk mempersilahkan untuk keluar lebih dulu.

"Maaf, silakan duluan," Ia tersenyum sopan, atau genit? Dan aku tanpa membalasnya, langsung berjalan melewati pintu itu.

"Dek," 

Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku.

"Tasnya, belum dikancing," Ia seakan menahan tawa sambil menunjuk tasku. 

"Ah, terima kasih." balasku kemudian secepat kilat menuruni tangga untuk segera pulang. 

Laki-laki tadi tidak asing. Entahlah, melihat wajahnya seperti melihat kepada sesuatu yang begitu familiar. Seingatku, memang tadi adalah kali pertama kami bertemu. Tapi ada sesuatu yang membuatnya tidak terasa asing. Atau mungkin, hanya perasaanku saja?



Gara Fiction SeriesWhere stories live. Discover now