Hari ini sudah minggu kedua kuliah dimulai. Kebetulan hari ini, pukul 10 pagi kelasku sudah habis. Aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan, karena belum ingin pulang. Masih terlalu pagi untuk pulang ke rumah. Aku berjalan menyusuri rak bagian Hukum Tata Negara untuk melihat-lihat buku mana yang enak untuk dibaca. Aku mengambil salah satu buku yang kertasnya sudah menguning. Sudah terlalu tua sepertinya.
"Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely."
Aku menoleh ke arah asal suara yang membacakan salah satu alinea buku yang sedari tadi aku pegang. Dan mendapatinya, lelaki di sudut kelas waktu itu yang entah dari kapan berdiri di depanku.
Ia memiringkan kepalanya kemudian tersenyum. Seakan buku-buku yang membatasi posisi kami berdua menghalangi pandangannya.
"Lord Acton," aku menimpali kutipan yang ia katakan barusan. "Suka Ilmu Politik juga ya?"
Ia tertawa kemudian menggeleng, "Biasa saja kok."
"Nggak suka kok bisa hafal?"
"Pelajaran semester 1. Terkenal pula kutipan itu. Sering diulang-ulang di kelas. Gimana nggak hafal?" Ia menahan senyum, "JJ Rousseau bagus juga loh Put."
"Hah?" Aku bukannya tidak mendengar apa yang ia katakan. Hanya saja—astaga, sejak kapan dia tahu namaku?
"Eh? Betul kan ya Putri?" Air mukanya berubah menjadi sedikit panik. Mungkin takut kalau-kalau salah panggil nama.
"Hahaha, iya betul kok."
"Tuh kan. Saya tahu nama kamu karena kamu sering sekali dipanggil sama dosen di kelas. Ketua kelas, sering jawab pertanyaan pula. Memangnya ada yang tidak kenal sama kamu di kelas?"
Aku menggigit bibir, "Aku menyebalkan ya di kelas?"
"Iya, sedikit. Membuat kami semuanya jadi terlihat paling bodoh." Ia memutar matanya.
Aku tertawa, tidak pernah menyangka bahwa dia adalah orang yang lumayan menyenangkan diajak mengobrol. "Padahal biasa saja. Cuma kebetulan bisa jawab sedikit-sedikit," aku menimpali.
Ia mengangguk, "Bisa jawab sedikit saja sudah bisa jadi anak kesayangan dosen ya."
Aku menggelengkan kepala sambil tertawa pelan. Ibu penjaga perpustakaan sudah menoleh ke arah kami yang mengobrol di antara rak-rak buku. Padahal, perasaanku suara kami tidak terlalu besar?
"Gara." Ia menyodorkan tangannya.
"Ah, iya Kak." Aku menyambut jabatan tangannya.
"Gara saja. Tidak usah pakai kak. Cuma beda satu tingkat juga," Ia mengambil salah satu buku di rak, "Kamu kelas apa setelah ini?"
"Habis."
"Saya ke kelas dulu ya? Sampai ketemu besok." Ia menepuk bahuku pelan dan kemudian mengambil tasnya yang ada di loker, "Politic discuss, next meeting maybe?" Ia menoleh ke arahku
"Anytime you want." Aku menjawab sambil tersenyum. Ia mengacungkan jempol kemudian melambaikan tangannya dan berlalu.
Aku menggigit bibir menahan senyum. Memandang buku yang sedari tadi aku genggam.
Gara. Nama lelaki yang kutemui di kelas waktu itu, bernama Gara.
YOU ARE READING
Gara Fiction Series
Любовные романыGara Fiction Series adalah cerita tentang dua orang yang dipertemukan lewat cara yang sederhana, namun mengantarkan mereka pada perjalanan pencarian hati yang tidak mudah.