Gara.

7 2 0
                                    

Siang ini, kantin lebih ramai daripada biasanya. Mungkin karena sedang ada kuliah umum, yang selesainya bertepatan dengan jam makan siang. Hari ini kelasku ditiadakan karena dosennya berhalangan hadir. Dan, aku masih terlalu malas untuk pulang. Jadi, di sinilah aku menenteng sebuah buku dan sekotak bekal makan siang yang sudah kusiapkan dari tadi pagi. Ada kursi kosong di pojok kantin, yang segera aku duduki sebelum ada yang merebutnya.
Aku membuka kotak bekal yang berisi roti gandum dan potongan semangka. Iya, aku sedang diet karena beberapa bulan terakhir pola makanku sedang gila-gilaan. Sembari makan, aku juga membuka buku yang tadi tertunda untuk dibaca.

"Permisi, kosong ya?"

Aku menoleh dan mendapati entah siapa yang bicara ini. Ia menunjuk kursi di depanku. Aku mengangguk cepat mengiyakan. Kemudian ia menarik kursi itu ke mejanya. Aku kembali melanjutkan membaca tanpa menoleh lagi.

"Sal, kursi abis ya?"

Demi Tuhan, kenapa susah sekali untuk membaca sedikit tenang di sini?

"Ya cari sendiri ih!" aku menyingkirkan buku dari hadapanku dan mendongak,

"Idih galak," Gara tertawa dan menaruh nampan berisi nasinya di meja, "Kosong kan ya ini? Saya cari kursi dulu."
               
Aku menggigit bibir menahan malu. Astaga, aku baru saja membentak Gara. Semenit kemudian, ia kembali dengan membawa kursi. Kemudian, ia duduk dan mulai mengelap sendok garpu dengan tisu sebelum mulai menyendokkan nasi ke mulutnya.
               
"Diet kamu Sal?" Gara menunjuk ke arah kotak bekalku dengan mulut setengah penuh, tapi perkataannya masih terdengar jelas.

Aku menggeleng, "Nggak kok,"

"Nggak baik tahu kalo sibuk terus makannya sedikit begitu. Nanti malah sakit. Kalau beneran diet, makannya yang bener diatur."

"Bukan diet, Gar. Cuma lagi malas makan nasi saja kok," aku menggigit roti gandum tanpa selai apa pun yang aku bawa. Sial, kenapa makanan Gara terlihat lebih lezat.

"Mau coba, tidak?" seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan, Ia menyodorkan sendok penuh nasi ke arahku.

Aku menggeleng, "Nggak, makasih Gar."
               
Setelah itu, tidak ada lagi percakapan yang keluar. Hanya bunyi dentingan sendok garpu bertemu piring dari Gara, dan suara balikan kertas dariku.

"Sal?"
               
Aku mendongak dan Gara sudah menyodorkan kotak rokok, sebatang sigaret itu malah sudah terjepit di antara bibirnya.

"Hah?"

"Rokok?"

"Aku nggak ngerokok Gar. Terima kasih," aku mendorong kotak itu ke arahnya kembali, "Aku bahkan tidak tahan dengan asapnya."

"Serius kamu?" Gara menarik kembali sebatang sigaret yang telah ada di bibirnya yang memang belum dinyalakan, "Saya tidak tahu, maaf ya."

"Ah, tidak apa-apa Gar. Silakan merokok kalau kamu memang ingin. Aku bisa tahan sedikit-sedikit kok."

Gara menggeleng, mematahkan batangan itu dan membuangnya di piring bekas ia makan tadi, "Saya juga bisa kok tidak merokok. Saya memang tidak tahan kalau tidak merokok, tapi lebih tidak tahan kalau lihat kamu jadi risih sama saya," Gara tersenyum, "Saya merokok kalau sedang tidak sama kamu saja."

"Maaf loh Gar jadi nyusahin,"

"Saya memang mau berhenti nih. Belum dapat motivasi yang kuat aja. Sepertinya sekarang sudah dapat." Gara tertawa dan aku hanya menaikkan sebelah alis kebingungan maksud dari perkataannya. Gara membuka tutup plastik minuman yang ia beli, dan mulai menggerogoti es batunya.

Aku tertawa, "Gara, aku juga suka makan es batu."

"Serius?" suara Gara menjadi tidak jelas karena ia memasukkan es batu yang cukup besar ke dalam mulutnya.

Aku mengangguk antusias, "Aku bahkan nggak bisa nggak makan es batu sehari aja. Abis makan aja suka risih kalo belum gigit es batu."

"Wah, sama dong sama saya? Bedanya saya nggak bisa kalau sehari nggak lihat kamu di kampus," sedetik kemudian Gara tertawa, "Bercanda dih Sal serius bener."

Aku ikut tertawa terpaksa. Menutupi degup jantungku yang berubah menjadi tidak beraturan. Sialan kamu, Gar.



Gara Fiction SeriesWhere stories live. Discover now