Chapter 1 - Moving to New York

2.4K 209 21
                                    

(A/N) First chapter is mainly about introducing characters. But I can promise you, the next chapters will be more exciting! Leave some comments if you read this. Let me know what you think of this story! Thank you :)

Ⓒ auliamitap 2014

***

Chapter 1

"Kamu akan menyusul kakak kamu sekolah di Crestlin Prep, New York."

Mom menghentikan sarapannya dan mulai memasang wajah serius. Dad hanya menatapku dari seberang meja makan. Mataku terbelalak, mulutku menganga hingga roti isi cokelat yang sedang ku makan terjatuh ke meja.

What the hell? Seriously? Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Bukannya Crestlin Prep itu sekolah asrama? Duh, nggak bisa dibayangin deh kalau aku masuk sana. Pasti peraturannya ketat banget.

"Hah? Maksud Mom apasih?" tanyaku shock, sembari mengambil roti isiku.

Mom tersenyum, "Gini sayang, Mom sama Dad akan sering tugas ke luar kota. Nah karena disini kita nggak ada kerabat, jadi kamu menyusul Dylan ke Crestlin Prep. Lagipula, di New York ada Tante Cassie. Jadi akan ada yang menjaga kalian di sana", jelas Mom.

Aku mengangguk mengerti, membuka mulut dan spontan membentuk huruf O.

Sekolah baru?

Lingkungan baru, teman-teman baru, guru-guru baru, semuanya baru. Agak malas sih, sebenarnya. Tapi, masa iya aku ditinggal sendiri di sini? No way!

"Ohiya, kamu akan berangkat besok pagi", tambah Mom, sesekali melirik Dad yang sedang menyesap kopinya.

"Ih Mom kok gitu sih? Cepet banget. Aku kan belum pergi shopping buat keperluan di sana", gumamku kesal.

"Kamu harus mengambil jadwal kamu hari Minggu. Nanti Mom suruh Dylan nemenin kamu shopping setelah kamu sampai di sana, okay?" ujar Mom.

Kesal, aku pun tak menjawab Mom. Ku habiskan gigitan terakhir roti isi cokelatku, lalu meneguk segelas air.

"Sekarang kamu packing sana. Udah selesai kan sarapannya? Nanti setelah Mom selesai, Mom akan bantu kamu."

Aku pun bergegas meninggalkan meja makan dan ke kamar untuk packing.

Ohiya, namaku Lunetta Collins. Tapi kalian bisa memanggilku Luna. Aku memiliki mata cokelat, rambut ikal cokelat sepunggung, dan bisa dibilang tinggiku cukup ideal untuk anak SMA.

Aku gemar bermain piano. Thanks to my Dad who taught me to play piano. Faktanya, aku sering memenangkan perlombaan ketika aku masih di LA.

Setelah beberapa jam packing (dengan bantuan Mom) aku pun memutuskan untuk beristirahat. Aku berbaring di atas tempat tidur, tempat tidur yang sebentar lagi tidak akan aku tempati lagi. Hari ini adalah hari terakhirku sebelum memulai hidup yang baru di kota New York. Aku menelfon semua teman-teman dekatku selama di sini, and I said goodbyes. Tanpa disadari, aku pun terlelap dengan perasaan tak menentu menanti esok hari.

***

"I'm going to miss you, honey", ujar Mom untuk yang ke 100000 kalinya.

"Me too, Mom. Mom yakin nggak mau ikut sama aku?" tanyaku dengan suara gemetar saat melihat Mom menangis.

Mom menghapus air matanya, "Nggak Lun. Kamu baik-baik ya disana. Kalau ada apa-apa, telfon Mom atau Dad."

Then we hugged each other. Setelah itu aku langsung naik ke pesawat, aku tidak ingin berlama-lama menangis.

Memang, aku juga akan merindukan mereka. Karena, selama ini aku nggak pernah jauh-jauh dari Mom dan Dad.

Ternyata perjalananku ke New York tidak se-melelahkan seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Apa mungkin karena aku terlalu nerveous? Atau aku mungkin terlalu excited? Entahlah.

Dari kejauhan aku melihat seorang pria berambut ikal yang mengenakan kaos putih bertuliskan 'Fuck You' dan skinny jeans hitam. Pria itu melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan. Aku mengenal orang itu. Dylan. Kami pun berpelukan melepas rindu setelah satu tahun lamanya tidak bertemu.

"LUNAAAAA! Di sini! Apa kabar lo? Gue kangen sama lo", ujarnya heboh.

"AAAA gue baik, lo sendiri gimana?" jawabku dengan tak kalah hebohnya.

"Gue juga baik-baik aja kok disini. Gue seneng kita bakal satu sekolah. Eh iya, Mom tadi bilang lo mau gue temenin pergi shopping?" tanya Dylan sambil mengacak-acak rambutku.

Sumpah deh Dylan dari dulu sampe sekarang, kebiasaan ngacak-ngacak rambut orang nggak pernah berubah.

"Yaiya sih tapi gausah ngacak-ngacak rambut gue juga dong!" gerutuku.

Dengan bantuannya, aku menggiring koperku ke mobil dan menaruhnya di bagasi. BMW hitam, kado ulang tahun Dylan dari Dad tahun lalu, mobil itu masih mengkilap seperti baru.

"Masih mulus aja nih mobil", ucapku setelah duduk di kursi penumpang.

Setelah itu kami menuju ke salah satu mall bergengsi di New York. Mallnya luxurious banget. Pertama-tama aku membeli beberapa peralatan make up seperti mascara, eyeliner, dan bedak. Setelah itu aku menuju ke Forever 21 untuk membeli beberapa baju. Setelah beberapa jam kami berkeliling untuk shopping, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat di Starbucks.

"Can I help you?" tanya pelayan itu.

"2 Tiramisu Frappuccino please."

"Sure Mam, please wait a bit."

"Okay thanks", jawabku tersenyum.

Perlahan aku pun melangkah mundur.

Dan...

BAAAAM!!

FUCK! Aku baru saja menumpahkan hot chocolate ke baju seseorang!

"Ma-maaf banget, gue benar-benar nggak sengaja", ucapku spontan.

Pria itu memegangi bajunya yang basah dan kotor, lalu mendongak.

What the hell, this guy is hot as fuck.

Kami saling bertatapan. Meskipun aku tidak mengenalnya, but his deep blue eyes are so hypnotizing to be honest.

"No problem. It's okay" jawab pria itu.

"Sir, Mam, pesanan anda sudah siap", ucap pelayan itu lagi, memecahkan kecanggungan di antara kami.

Aku dan pria itu mengambil pesanan kami masing-masing. Aku menoleh ke Dylan yang mengernyitkan dahinya.

Aku pun memutar kedua mataku dan berbalik badan lagi. Pria itu ternyata sedang menatapku. This is awkward.

"I'm really sorry about that shirt", ucapku sekali lagi. Aku benar-benar tidak enak sudah membuat bajunya kotor dengan cokelat panas itu.

Pria itu tersenyum, "Gapapa kok. Eh, kalau gue boleh tanya, lo kenal sama cowok yang duduk di situ?" Pria itu menunjuk ke tempat duduk Dylan.

"Uhh, dia, dia itu kakak gue", jawabku canggung.

"Satu sekolah?" tanya pria itu lagi.

"Iya, emang kenapa?" gumamku agak jengkel. Mau dia apa sih nanya terus.

"Really?" ucapnya sembari meminum pesanannya. "Okay, kalau gitu sampe ketemu di sekolah ya."

Aku hanya bisa berdiri layaknya orang linglung sembari melihat pria itu pergi meninggalkan Starbucks.

Dia akan satu sekolah denganku?

***

Sad SerenadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang