#3

16.8K 1K 4
                                    

Di pagi buta Fatimah sudah bangkit dari lelapnya. Lelap? Tidak sama sekali. Ia bahkan tidak merebahkan tubuhnya dengan tenang di atas ranjang. Langkahnya terburu-buru hendak ke kamar sang kakak. Sejak semalam kecemasan dan kekhawatiran melandanya. Kenyataan bahwa ayah dan kakaknya ikut berperang lah yang membuatnya demikian. Semalam ia tahu kabar itu dari sang ayah yang membujuknya supaya ia tenang. Bagaimana ia bisa tenang?

"Buka pintunya." Pintanya kepada pelayan. Fatimah berang karena pelayan yang berdiri di luar kamar kakaknya tak pula bergerak. "Buka pintunya!" Ia menaikkan nada bicaranya, tajam.

Pelayan itu membuka pintu kamar yang sudah kosong tersebut.

Fatimah langsung berhambur ke arah ranjang, tapi yang ia dapati hanya guling dan bantal tak berpenghuni. "Kakak, benar-benar tak mengindahkan permintaanku." Lirihnya penuh kecewa. Setelah debat panjang tadi malam ia tidak bisa membiarkan kakaknya ikut ke medan perang.

Langkah kembali terburu ke kamar ayahnya. Ia melihat sang ibu sedang mengaji. Alunan merdu dari sang ibu mampu mengembalikan akal sehatnya. Ia melepas gagang pintu dengan perasaan tak karuan.

Sedangkan Ratu Raya yang menyadari kedatangan putrinya ia menghentikan sejenak lantunan ayat sucinya. Ia merentangkan kedua tangannya, membukanya lebar-lebar. Dan tanpa berpikir panjang sang putri langsung berhambur kepelukan ibunya. Ia menangis tersedu-sedu.

"Kakak jahat, benar-benar jahat. Ia tidak mengindahkan kata-kataku, Bu." Disela-sela tangisnya. "Tapi aku akan memaafkannya. Ia harus kembali. Ia harus kembali dengan selamat, aku akan menjadi adik yang penurut, aku tidak akan menjahilinya." Ia mengoceh panjang lebar dalam tangisnya. Pelukan sang ibu makin erat. Ia mencium kepala putrinya dengan penuh sayang. Ia tersenyum hangat melihat tingkah anaknya yang masih benar-benar seperti anak kecil, bukan seperti remaja 17 tahunan.

Sesungguhnya, Fatimah selalu mengatakan tak akan menjahili kakaknya lagi ketika kakaknya kembali dari medan perang. Tapi itulah Fatimah, dengan sifat manja dan kekanakannya. Ia selalu punya alasan kenapa ia kembali menjahili kakaknya. Lihat saja ketika Putra Mahkota kembali.

[ ]

Pernyataan perang yang diterima oleh Kerajaan Assidik beberapa hari lalu tidak main-main. Hari ini mereka perang antar kerajaan. Dari kejauhan Raja Assidik, Putra Mahkota Haikal, dan Panglima Zayd berdiri pada barisan paling depan untuk melawan Kerajaan Trior. Seratus meter dari tempat mereka mengatur barisan di luar benteng kerajaan yang ada di perbatasan sudah berdiri Raja Trior dan para prajuritnya. Jelas, kerajaan Assidik kalah dari segi kuantitas, tapi hal tersebut tak membuat mereka gentar sedikitpun mereka percaya kepada Allah dan kualitas dari para prajurit yang qlllmereka miliki.

Tak hanya itu, rakyat dari kerajaan Assidik ikut pada medan meski hanya berdiri pada barisan paling belakang. Membanggakan? Tentu saja Raja Assidik merasa bangga kepada para rakyatnya. Meski kecil tapi mereka tetap dalam satu kesatuan. Dedikasi yang selalu fokus pada perdamaian dan kesejahteraan rakyatnya inilah hasilnya sekarang.

Dalam satu jam saja tanah perbatasan Kerajaan Assidik sudah berubah menjadi merah. Sebagian besar prajurit dari Kerajaan Assidik sudah tumbang. Sementara Putra Mahkota Haikal dan Panglima Zayd sudah setengah kewalahan melawan panglima kerajaan Trior yang kekuatannya masih belum berkurang sedikitpun. Sementara Raja Assidik melawan Raja Trior yang sudah terkenal dengan kekejamannya. Satu sayatan panjang di lengan kanan Raja Assidik.

Ada yang aneh dari perang kali ini. Darimana orang-orang itu datang? Pikiran Raja Assidik sudah terpecah. Ia sempat memperhatikan orang-orang yang muncul entah darimana. Membatu menumpas pada prajurit Trior. Selanjutnya saat pedang Raha Trior hendak menghunus di dadanya. Seseorang telah lebih dulu mematahkan pedang itu dengan kekuatan penuh. Jelas ini bukan prajurit dari kerajaannya. Tapi topeng dan perlengkapan yang ada di badannya menunjukkan dia dari kerajaannya. Sekarang Raja Trior sudah di ambil alih oleh dua orang yang menyamar sebagai prajuritnya.

"Bawa Yang Mulia dari sini!" Tegas salah satu dari mereka. Raja Assidik sudah kehilangan seperempat tenaganya. Tapi ia tak bisa mundur sekarang.
"Tidak. Aku baik-baik saja!" Ia kembali bangkit dengan semangat membara. Jadilah ketiga orang itu melawan Raja Trior, yang mulai menunjukkan gelagat lemah.

Putra Mahkota sudah berhasil menumbangkan panglima dari kerajaan Trior. Ia melihat sekeliling. Aneh. Ia hanya bergeming dalam hati. Siapa yang sudah membantu mereka? Darimana datangnya mereka? Pertanyaan itu muncul seiring dengan tumbangnya para prajurit Trior setelah berhasil menumbangkan sebagian besar prajurit dari kerajaan Assidik.

Ia melihat ke arah ayahnya dan, "Alhamdulillah. Allahu Akbar!" Ujarnya setelah melihat Raja kejam itu menghembuskan nafas terakhirnya seiring dengan tarikan pedang oleh salah satu prajurit mereka.

Raja Assidik memeluk putranya, bagaimana mungkin ia bisa melepas putrinya dengan laki-laki kejam dan tua bangka. Ia bahkan tak pernah berpikir untuk hal itu.

"Tunggu, Nak." Raja Assidik berujar saat melihat orang yang memakai pakaian prajurit kerajaan hendak pergi.

Langkahnya pun terhenti, ia tak berbalik sama sekali.

"Siapa kamu sebenarnya?" Tanya Putra Mahkota Haikal. Ia berdiri dihadapan laki-laki itu.
"Siapapun aku itu tidak penting. Kalian sekarang mempunyai tugas lebih besar untuk mengambil alih Kerajaan Trior." Ia menengok tangan Putra Mahkota yang hendak membuka topengnya.

Aku pernah mendengar suaranya. Tapi dimana? Putra Mahkota terus mencari siapa pemilik suara dingin dan mengintimidasi seperti ini. Tatapan matanya sangat tajam seperti hendak membunuh. Laki-laki itu kembali melanjutkan langkahnya.

"Raja Elhaq," dan sekarang semuanya terungkap. Langkah itu terhenti. "Jika kau lupa satu hal, maka akan kuingatkan. Entah ini kelebihan atau kekurangan aku memiliki ingatan melebihi ingatan orang pada umumnya." Inilah putra Mahkota. Ia tak ingin menyombongkan diri dengan kemampuan yang ia miliki. Satu yang ia takutkan dan kebanyakan orang salah mengartikan menganggap kemampuan yang mereka punya adalah sebuah kelebihan. "Pedangmu, bicaramu, tak ada orang yang pernah bernada dingin bicara kepadaku."

"Akhirnya kau menggunakan kemampuanmu dengan baik, Putra Mahkota." Entah itu ejekan atau pujian.

"Mampirlah ke tempat kami. Kami akan berterima kasih untuk yang kau lakukan."

"...."

"Jangan menolak, kalau kau menolak itu berarti kau tidak menghargai. Dan kerajaan kami tidak bisa menerima orang yang tidak bisa menghargai." Putra Mahkota tahu akan ada penolakan dari Raja Elhaq dari kerajaan Malik tersebut.

"Kau salah, aku baru saja akan menerima tawaranmu. Sudah lama juga aku tidak berkunjung."

"Kau bisanya mengelak saja." Cibir Putra Mahkota.

"Kalian bereskan semua mayat mereka dengan semestinya. Mereka adalah pahlawan kerajaan. Tulis nama mereka dan biarkan orang mengenang mereka sebagai pahlawan sejati kerajaan Assidik. Bagikan kepada anak istri mereka harta yang cukup sampai anak-anak mereka tumbuh dewasa." Titah Raja adalah undang-undang. Raja yang sangat bijaksana adalah Raja Assidik. Wajar jika ia memiliki prajurit dan rakyat yang setia kepadanya.

Dalam perjalanan pulang Putra Mahkota Haikal terus mengajak bicara Raja Elhaq, bukan sengaja. Hanya saja selain Panglima Zayd, orang yang paling nyaman diajak bicara adalah Raja Elhaq meskipun hanya beberapa kali mereka bertemu. Pembicaraan mulai merembes ke politik dan juga romansa.

Sementara itu di belakang mereka Panglima Zayd dan Panglima Zayn seberti dua saudara kembar. Mereka sangat akrab baik sekarang ataupun dulu.

[ ]

Raja Elhaq & Ratu FatimahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang