Dalam kesyahduan mendengar lantunan Quran sepanjang perjalanan pulang, pikiranku kembali melayang memikirkan hal tadi siang. Keterkejutan atas vonis kanker yang kuderita belumlah hilang. Keinginan untuk menceritakan hal mengerikan ini pada orang lain pun harus diurungkan. Aku tak punya teman dekat barang seorang pun. Saudara juga tak ada, karena aku anak tunggal. Harapan terakhir hanyalah kedua orangtuaku.
Aku ingin sekali menceritakan hal yang kuderita pada mereka, namun kurasa hanya akan menambah masalah nantinya. Kanker adalah penyakit mahal, hal itu sama saja seperti menambah topik untuk pertengkaran. Berdoa, mungkin itulah jalan satu-satunya. Tak ada bantuan lain yang dapat kuharapkan, selain dari Allah SWT.
Langkahku sudah menginjak teras rumah. Rumahku memang terlihat cukup besar dari luar dengan 2 lantai, namun pemandangan itu tidak mencerminkan keadaan pemilik rumah.
“Aku nggak ada uang! Salah sendiri kamu foya-foya terus tiap malam!”
Baru saja ingin kukerahkan tangan untuk mengetuk pintu, namun dari dalam terdengar suara teriakkan ibu.
“Kamu ini istri, jadi harus pintar mengelola keuangan dong!” balas ayah dengan suara yang sama kencang.
“Kelola uang bagaimana?! Uangnya saja tidak ada!”
Tak jadi mengetuk pintu. Aku langsung memutar gagangnya dan mendorong ke dalam. Benar saja, kedua orangtuaku lagi-lagi bertengkar hebat. Tak ada yang kukatakan. Tak ada yang kuperlihatkan. Dengan menundukkan kepala, kuangsurkan langkah menuju kamarku di lantai 2.
Tibalah aku di atas kasur empuk yang biasa kugunakan untuk tidur. Tak hanya tidur, di sana juga menjadi tempatku memikirkan segala masalah. Dengan membentangkan tangan dan menatap ke arah langit-langit, persis yang kulakukan sekarang.
Uang, hal yang sedang dipertengkarkan oleh kedua orangtuaku itu terdengar hingga kamarku. Entah sudah berapa kali kulalui malam dengan hal seperti ini. Entah sampai berapa kali lagi mereka menjadi akur atau yang aku yang terbiasa. Mungkin ke depannya, kasur yang tengah kunaiki ini akan dijual untuk biaya makan keluarga. Jika itu terjadi, tentu aku akan rela asalkan mereka tidak lagi bertengkar. Jika rumah besar ini dijual demi ketentraman bersama, maka aku akan sangat rela. Aku hanya berharap dapat hidup damai seperti sedia kala.
«»
“Selvi, kamu dipanggil kepala sekolah,” ucap Pak Rio. Beliau salah staf TU di SMA-ku ini.
“Ah, ada apa sih?” keluhku lirih sambil mencoba untuk berdiri. Sebentar lagi jam pelajaran habis dan aku akan pulang, tapi entah kenapa kepala sekolah memanggilku. Menyebalkan sekali.
“Assalamualaikum,” salamku seraya mengetuk pintu. Jujur, aku malas melakukan ini. Kepala sekolah suka sekali bicara panjang lebar. Hal itu akan berakibat terlambat kerja nantinya dan Pak Yuda pasti akan menyemprotku lagi.
“Waalaikumsalam. Silakan masuk.”
Kepala Sekolahku bernama Bu Indira. Beliau belum lama ini menjadi kepala sekolah ini selepas beberapa prestasi mentereng yang didapatkannya selama setahun belakangan.
“Selvi, mari duduk,” ucap Bu Indira dengan tersenyum.
Sebuah bangku berwarna hitam lengkap dengan sandaran kepala yang cukup empuk, aku duduk di sana di hadapan Bu Indira. Tak ada basa-basi. Tak ada kiasan tentang cuaca yang biasa beliau utarakan sebelum memulai pembicaraan. Sebuah surat langsung disodorkan padaku.
“Bagaimana tentang pelajaran tambahan dari sekolah, Selvi? Kamu bisa mengikutinya?”
“Alhamdulillah, Bu,” jawabku sembari meraih surat yang disodorkan Bu Indira.
“Syukurlah. Ya sudah, kamu kembali ke kelas saja.”
“Iya, Bu.” Sambil memikirkan sikap Bu Indira yang tak biasa, aku pun beranjak dari kursi yang kududuki ini dan langsung berjalan keluar.
“Sebentar Selvi. Ibu mau mengingatkan satu hal.”
Mendengar hal itu, seketika kuhentikan langkah dan memutar tubuh ke belakang.
“UN tinggal 3 bulan lagi,” lanjut Bu Indira.
“Iya, Bu. Saya mengerti.”
Sesampainya di luar ruangan kepala sekolah, aku tak langsung berjalan ke kelas. Kusandarkan punggung ke tembok di sisi kanan pintu yang barusan kulewati. Aku menunduk, aku termenung. Ternyata kebiasaan Bu Indira menggunakan kiasan tidaklah hilang. Peringatan mengenai UN yang tinggal 3 bulan lagi, itu artinya aku harus melunasi biaya yang tenggat waktunya sebentar lagi.
Masalah bertambah. Belum berhasil aku menjelaskan mengenai kanker yang baru saja kuidap, sekarang masalah biaya UN bermunculan. Uang dan uang lagi, mereka pasti bertengkar nanti.
Tok! Tok! Tok!
“Assalamualaikum. Bu, aku pulang.”
“Masuk saja!” jawab ibu dari dalam rumah.
Kulangkahkan kakiku menuju dapur. Ibu biasanya di sana jika aku baru saja pulang sekolah. Dugaan tepat, ibu sedang sibuk memotong sesuatu di atas talenan di samping wastafel. Aku mendekat. Sesekali kulihat ibu menyeka keringat di dahinya.
Tak lain dan tak bukan, tujuanku mendekati ibu adalah memberikan surat dari kepala sekolah. Aku tahu apa yang akan kudengar pasca ibu melihat isi dari surat, namun tak ada pilihan lain. Mereka berdua harus tahu tentang itu.
Ibu tidak meraih surat itu, ia memintaku untuk meletakkannya di atas meja di dekat rak piring saja. “Kamu ganti baju dan setelah itu makan siang. Sudah ada lauk di meja makan.”
“Ok.”
«»
“Aduuuh. Biaya lagi, biaya lagi,” keluh ibuku.
Kami berdua sedang santap siang bersama. Aku tahu apa sebab ibu berkata seperti itu. Mungkin sebentar lagi akan terdengar berbagai umpatan mengerikan. Itu yang biasanya terjadi.
Tak sampai semenit, apa yang kupikirkan terjadi. Di depan makanan. Di depan anaknya yang tak pantas mendengar kata-kata kasar. Ibu lagi-lagi bicara soal kebiasaan buruk ayah. Mabuk-mabukan, judi, dan sebagainya.
“Hartini! Kenapa kau bicara seperti itu pada Selvi?!”
Tak ada ketukan pintu. Tak ada salam. Ayah tiba-tiba saja muncul dengan bentakkan. Di rumah ini, hal seperti itu tidaklah asing. Sialnya, perasaanku tak bisa terbiasa. Ada perih dan air mata yang siap keluar jika mendengarnya.
“Memang itu kenyataannya, ‘kan?!” Ibu tak mau kalah.
Menunduk, hanya itu yang kubisa lakukan. Kulepaskan sendok dan garpu yang tergenggam. Kukenyah pelan makanan yang terlanjur berada di dalam mulut. Di sana bersama ketidakberdayaan. Bersama sikap pasrah yang membuatku memaki diriku sendiri. Ayah dan ibu mulai bertengkar, lagi.
Saling caci, saling maki. Mulut keduanya kasar sekali. Tak sadar mereka jika si anak tunggal ada di dekat mereka. Tak peduli mereka si anak perempuan ini sedang menangisi penyakit yang diidap. Acuh tak acuh memikirkan cara melunasi biaya yang ditanggung untuk UN sang anaknya nanti.
“Kurang ajar kamu!!” bentak ayah yang lalu tiba-tiba keributan di sana sirna seketika oleh sebuah hentakkan. Ayah menggampar pipi ibu dan berhasil membungkam mulutnya.
Tak tahan. Sungguh tak tahan akan semua ini. Aku harus menyudahi kegilaan ini.
“Kenapa Ayah bisa sekejam ini pada ibu?! Ayah kenapa, hah?!” bentakku. Kurasakan mataku melotot tajam pada ayahku yang memang kurang ajar itu.
“Ibumu Selvi! Ibumu! Dia kurang ajar pada ayah yang kepala rumah tangga ini!”
“Ayahlah yang kurang ajar! Tiap malam bermain judi dan mabuk-mabukkan. Dimana tanggung jawab seorang lelaki, hah?!” Aku tak mau kalah.
“Selvi benar, kamu memang ... “
“Ibu juga! Tidak bisakah Ibu bersikap dewasa dan mencoba berbicara baik-baik dengan ayah?!” Kualihkan sorot mata pada ibuku yang telah kembali menegakkan kepalanya.
“Kalian berdua egois! Aku hanya ingin hidup tentram di rumah ini! Kalian tahu? Apa kalian tahu apa yang kuderita? Aku divonis kanker oleh dokter baru-baru ini, apakah kalian tahu itu?!”
Masih dengan amarah yang bergelora, kulihat ayah dan ibuku serta merta memasang wajah memelas. Emosiku langsung jatuh setelah meledak-ledak tadi. Tanpa dapat kutahan, air mata mulai mengalir.
“Selvi ... “
Kalimat itu belum selesai, aku langsung lari dengan menutupi wajah menuju kamarku di lantai 2. Langkahku sampai, kubanting pintu dan menguncinya.
“Ah!! Ini tidak adil. Orang tua tidak tahu diri, sekolah mahal, kanker, terus nanti apa lagi?!”
Mati. Aku rasa itulah caranya. Itulah yang bisa membuatku menyudahi semua. Kuseka air mata dan berlari menuju lemari. Apa yang kucari pun berhasil ditemukan. Kumatikan kipas angin yang sedari tadi berputar kencang. Kuletakkan sebuah kursi tepat di bawahnya.
“Selvi, buka pintunya!!” ayah menggedor-gedor pintu kamarku.
Kunaikkan kedua kakiku di atas kursi itu. Aku membawa sebuah sarung yang telah digulung di sana. Dengan menjaga keseimbangan, aku jinjitkan kedua kaki untuk membuat sebuah ikatan pada badan kipas. Ujung yang lain pula kubuat sebuah ikatan yang mengelilingi leherku. Kutarik pusat ikatan itu ke atas, membuat kekuatan mencengkeram menguat. Leherku tercekik. Kedua kaki pun berayun menjatuhkan kursi yang menjadi tempat berpijak.
Tinggallah aku di sana tergantung sendirian. Nafas tersendat, dadaku merasakan panas yang amat menggeliat. Tak bisa bicara, tak bisa bersuara. Sekejap kemudian, tengkuk merasakan nyeri yang keterlaluan, mataku pun perih tak terkira. Dalam siksaan itu, sayup-sayup kudengar ayahku masih sibuk dengan usahanya menggedor pintu.
Menyesal, itu yang kurasa, namun semua sudah terlambat. Perut dan dadaku terasa kejang. Sakit, amat sakit. Tubuh berayun-ayun dan tanganku berusaha melepas ikatan yang menjerat, tapi tak mampu. Maafkan aku, Tuhan, aku menyesal melakukan ini. Ini sungguh menyakitkan.
Dalam pandangan yang mulai kabur, kulihat ayah dan ibuku yang berhasil menerobos masuk. Aku bahagia, amat bahagia di sana, tapi rasanya ajal sudah hampir tiba. Aku tak akan bisa melihat senyum mereka nanti.
“Ayah, ibu, aku sayang kalian. Semoga kalian bisa memelukku setelah ini. Maafkan aku.”S E L E S A I
Tinggalkan komen dan bintang, ya, guys. Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah
General FictionApa yang kalian baca adalah kumpulan cerita pendek hasil dari ketikan gue tentunya. Selamat membaca guys