Mantan Addiction

25 2 0
                                    

Untunglah jingga di langit sore belum datang sepenuhnya. Aku harus bergegas. Ya, aku sangat harus bergegas sebelum timing yang kurencanakan meleset dan kejutan gagal terlaksana.
Roda mobil telah berhenti di area parkir. Kunci kutarik, cepat langkahku pergi. Kulajukan langkah menyusuri jalan di Taman Mangrove yang tersusun oleh papan-papan kayu. Dada mulai sesak, tapi tak boleh lariku berhenti.
Akhirnya terlihat. Sesosok wanita yang rambutnya panjang terurai dengan mengenakan batik coklat. Ia menyandarkan diri pada pagar kayu di ujung jalan yang juga terbuat dari papan-papan kayu. Wanita itu bernama Keira, kekasihku.
“Keira!” panggilku.
Arah pandangannya yang tadi fokus ke arah laut pun dialihkan. Ia tersenyum. Manis sekali memang kekasih tercintaku ini, apalagi ia menatapku dengan rambut yang dikibar-kibarkan oleh angin.
Ada alasan kenapa aku harus menemuinya sebelum senja datang. Keadaan langit yang memerah itulah yang menjadi saksi terucapnya cintaku pada Keira untuk pertama kali. Dan saat ini, aku ingin mengulangi pengucapan cintaku yang amat mendalam. Ditambah sebuah kejutan tentunya.
“Syahril, kamu baik-baik saja?” tanya Keira. Kalimat itu pasti terlontar karena kedatanganku padanya yang diawali dengan napas tersengal-sengal.
“Aku baik saja, Sayang.” Aku tersenyum.
“Syukurlah. Kalau begitu, aku bisa mengatakan apa tujuan untuk memintamu menemuiku di sini.”
Aku tahu. Ya, aku tahu akan hal yang sebentar lagi dilontarkannya. Oleh karena itu, kumintalah wanita manis ini untuk berbicara dahulu. Aku selalu tak ingin mendahului apa-apa yang ingin diucapkan Keira.
“Syahril, kamu tentu tahu kalau hubungan kita sudah berjalan 6 tahun lebih. Tentu itu sudah sangat lama bagi kita. Dan aku ingin kita ....” Keira meraih tanganku. Ia tersenyum. Ah, manis sekali senyumnya.
Aku tahu, aku tahu. Keira pasti akan memintaku untuk menikahinya. Tenang saja, sayang. Kekasihmu ini akan mengabulkan permintaanmu. Setelah ini, akan kugandeng tangan lembutmu dan kubawa menemui kedua orangtuamu. Pelamaran akan langsung dilaksanakan.
“Aku ingin ... kita putus.”
A-apa? Apa aku tidak salah mendengar? Ini ilusi. Pasti ini ilusi.
“Syahril, maafkan aku. Sudah setahun belakangan aku menjalin hubungan dengan kekasihku yang dulu. Dan 3 bulan yang lalu ia melamarku.”
“Keira, jangan bercanda! Ini tidak lucu!”
“Kamu tahu aku tidak bisa bercanda sama sekali.” Keira melepas tanganku. Ya, benar-benar melepaskannya.
“Aku harus pergi. Alfan sudah menungguku di depan pintu masuk.” Tanpa menunggu respon, Keira pun pergi begitu saja.
“Sial!” teriakku.
Dari saku celana, aku mengambil sebuah kotak berwarna merah. Menatap kotak merah itu. Memaki apa yang ada di dalam sana. Amat sulit dipercaya, seorang wanita yang sangat diperjuangkan begitu keras ternyata mampu pergi semudah ini.
“Wanita kurang ajar!” Kuhempaskan kotak merah berisi cincin berlian itu ke arah senja. Pemandangan syahdu di langit itu kini menjadi sangat kubenci.
--(0)--
Malam menjadi sangat panjang kali ini. Sembari duduk di atas kasur dan menatap ke arah luar jendela, bayangan Keira masih saja ada. Entah kenapa, sudah sampai seminggu ucapan mengerikan itu terdengar, dan hatiku masih saja sakit dibuatnya.
Amat tidak bisa disangka memang. Keira, wanita yang kukagumi sebab sikap lembut dan ketegarannya ternyata bisa pergi. Padahal ia pernah mengatakan kalau aku adalah lelaki hebat yang mau menerima masa lalunya.
Dalam perenungan yang kutak tahu kapan akan berakhir, tangan kananku meraih sebingkai foto di atas meja dekat ranjang. “Keira, kenapa kamu setega ini? Kenapa kamu mau kembali pada si brengsek itu? Bukankah Alfan adalah lelaki yang menodai kamu? Dia bukan yang membuat kamu hampir bunuh diri? Kenapa, Keira? Kenapa? Aku sayang kamu. Aku mau kita menikah. Aku sudah berkorban banyak hal dan berjuang mati-matian agar hubungan kita dapat diresmikan.”
Tanpa mampu dikendalikan, air mata akhirnya mengalir. Rasa sakit di dalam hati agaknya mampu bersuara hingga luar. Tiap kali memikirkan Keira, maka beberapa waktu setelahnya dadaku akan terasa sesak. Menyiksa sekali memang, terlebih di rumah sebesar ini aku hanya sendiri. Pembantu belum ada, kedua orangtua juga sudah meninggal dunia.
“Aku ... aku akan membalas. Ya, aku akan membalas rasa sakit ini. Lihat saja, Keira! Lihat saja!”
Keesokan harinya.
Mentari sudah terbit, waktunya menjemput Keira. Saat pagi buta tadi, aku sudah meminta wanita itu agar mau aku antar menuju tempat kerjanya. Dengan dalih kalau akan menjadi kesempatan terakhir, ia pun menurut. Bodoh memang. Wanita itu tidak tahu kalau ada rencana busuk yang sudah kusiapkan.
“Kok kita belok ke kanan? Kantorku itu belok kiri, kamu lupa?”
Di belakang kemudi, aku diam saja. Dari kaca kecil yang tergantung di atas, terlihat wajah Keira yang mulai merengut. Sebal ia karena aku tak menjawab protesnya.
“Syahril, jawab a ....”
Sigap aku mengambil sebuah saputangan di sampingku yang sudah dilumuri minyak kayu putih. Belum Keira selesai dengan kalimatnya, aku langsung memutar tubuh dan membekap mulut wanita itu. Ia meronta, tapi aku tetap melakukannya hingga hilanglah kesadarannya.
Di depan sebuah bangunan kosong yang terletak di pinggiran kota, aku menghentikan mobilku di sana. Suasananya sepi di sana. Langsung aku tarik keluar tubuh Keira yang tak sadarkan diri. Sesampainya di bangunan kosong nan tak terawat itu, kududukkan ia di atas kursi kayu. Mengikat tangannya dan juga menutupi kedua matanya dengan sebuah kain hitam.
“Apa-apaan kamu, Syahril?! Kamu mau ngapain?!” Keira yang tersadar langsung berteriak. Aku mengembalikan kesadarannya dengan menyiramkan seember air.
Ember kosong yang ada di tangan kiri pun dilemparkan. Kudekati wanita yang terus meronta mencoba melepaskan ikatan di tangannya.
“Aku ingin membalas sakit hatiku,” bisikku.
“Jangan, Syahril! Lepaskan aku!” Tenaga untuk meronta makin besar, tapi tentu itu percuma. Ia hanya akan terlepas kecuali lengannya terpotong.
Sudah cukup bicaranya. Rencana balas dendam harus dimulai. Dari saku celana bagian kanan, kuraih sebuah silet yang masih terbungkus.
Aku menyentuh pundak kanannya, dan mencengkeramnya erat. Kemudian salah satu ujung silet kuletakkan di bagian lengan kanan Keira. Penyiksaan dimulai. Kutekanlah ujung silet itu hingga mulai mengalirkan darah. Setelahnya, kutarik silet itu ke bawah mendekati pergelangan tangan.
“Syahril, ini sakit! Hentikan!”
Teriakkan wanita tak berdaya di depanku pun meredam. Tangan kiriku melepaskan cengkeraman, lalu menampar pipinya dengan kencang.
Aku ingin menciptakan keseimbangan. Silet yang masih ada di genggaman kubawa naik menuju pipi kiri Keira. Penekanan kembali dibuat. Kutarik ujung benda yang terletak di dekat telinga itu hingga menyentuh bibirnya.
“Aku mohon, hentikan ini,” pinta Keira.
Keadaan wanita kurang ajar itu memang menyedihkan sekarang. Pipi kiri mengalirkan darah hingga membasahi baju, sementara cairan merah di lengan kanan menghujani lantai. Namun, aku bangga menciptakan pemandangan itu. Aku bangga membuat bibirnya meringis seperti itu.
“Jangan memintaku berhenti, wanita tak tahu diri! Ini salahmu yang meninggalkanku tanpa alasan yang jelas.”
“Bukankah sudah sangat jelas kalau aku kembali bersama Alfan?”
“Aku tak dapat menerima itu! Kamu tak pernah menjelaskan apa pun tentang kedekatanmu kembali dengan lelaki brengsek itu! Lagipula ini lucu. Alfan pernah menodaimu dan mencampakkan kamu begitu saja setelahnya. Aku yang cinta dan tak tega melihat kondisi kamu mencoba untuk sedikit menghibur. Aku mau kamu percaya kalau masih ada laki-laki baik buat kamu, tapi kamu malah pergi dan kembali bersama lelaki sialan itu!”
”Aku minta maaf, Syahril. Aku minta maaf. Tolong jangan seperti ini. Tolong.” Tangis Keira pecah. Ia kini tersedu-sedu.
“Tangisan buaya! Munafik! Kamu menangis karena aku siksa seperti ini! Apa kamu nggak berpikir kalau aku sudah seminggu ini menangis setiap malam?! Apa kamu iba?! Apa kamu berusaha untuk menanyakan kondisiku?! Tidak, ‘kan?!” Kuakhiri makian dengan sebuah tamparan.
Penyiksaan dilanjutkan. Dengan tangan kosong, kuhantamkan tamparan dan tinju menuju wajah cantiknya beberapa kali. Sial! Keira tahan dengan penyiksaan ini. Meski wajahnya telah membiru dan banyak darah terlihat mengalir, aku masih bisa mendengar ia tersedu-sedu.
“Aku mencintaimu.” Kuambil sebilah pisau yang tersembunyi di balik kemeja. Dengan perlahan tapi penuh penekanan, kuhujamkan benda tajam itu tepat pada ulu hatinya. Tangis sudah tak terdengar, bibir yang meringis pun mendiam. Misi balas dendam sukses dilaksanakan.
--(0)--
Di sinilah aku berada sekarang. Mengenakan kaos biru berbahan panas, duduk di balik jeruji besi, dan tidak bisa makan semauku. Pasca menghabisi Keira dan mengubur jasadnya, aku memutuskan untuk menyerahkan diri kepada polisi. Ini terjadi karena kupikir tak ada gunanya kabur dari hukum. Sekelompok teroris yang bersembunyi rapi pun dapat ditemukan, apalagi Syahril ini yang tidak berbakat melakukannya.
“Pak Syahril, ada yang menjenguk Anda.” Seorang sipir mendatangiku.
Tanpa tanya, tanpa satu pun basa-basi, aku berjalan melalui pintu penjara yang dibuka oleh sipir itu. Di ruang tunggu, hadirlah sesosok lelaki berkemeja putih yang tak terduga. Lelaki yang amat kubenci.
Langkahku belum sampai di depan kursi yang diduduki lelaki itu, tapi ia langsung berdiri dan berjalan mendekatiku.
“Syahril, ada yang harus kamu tahu.”
Amarah sejatinya langsung meluap-luap di kepala begitu lelaki itu hadir di depanku. Namun, kuputuskan untuk tenang dan mendengarkan apa yang akan diucapkannya.
“Keira meninggalkan kamu bukan karena masih mencintaiku.”
Aku seketika tertegun mendengar ucapan itu. Amarah berubah menjadi sebuah pertanyaan, “Apa yang terjadi sebenarnya antara Keira dan Alfan?”
Alfan melanjutkan, “Hampir 4 bulan lalu, ada acara pesta ulang tahun teman sekelasku dan Keira. Pesta yang tergolong mewah itu menyajikan puluhan botol miras, dan tentunya aku bersama beberapa teman meminumnya. Setelah beberapa botol kutenggak, aku pun pergi ke WC, dan di sanalah itu terjadi. Dalam keadaan mabuk, aku bertemu Keira di dekat WC dan memerkosanya. Ia memutuskan hubungan denganmu karena tak ingin kamu menanggung beban benih atas perbuatanku. Kamu terlalu baik untuknya.”
Setelah ucapan maaf menjadi penutup pertemuan, Alfan pun pergi. Tubuhku limbung. Aku terduduk menekuk lutut. Tangisku pun pecah seraya meneriakkan nama Keira berulang kali. Tiba-tiba beberapa sipir mengerumuniku. Menanyakan apa yang terjadi padaku.
“Aku harus, aku harus menebus kesalahanku.”
Kuhempaskan semua tangan sipir yang menyentuhku. Langsung aku berlari memburu menuju dapur. Sampai di sana, kusebarkan pandangan ke segala arah untuk mencari sesuatu.
“Aku akan menebus kesalahanku, Keira. Sebentar lagi aku akan menyusulmu.”
Kuambil dua bilah pisau yang tergantung di dekat wastafel. Kemudian, kuletakkan bagian tajamnya pada leherku. Sama seperti saat penyiksaan memakai silet di atas kulit putih Keira. Kedua ujung pisau ditekan pada kulit, lalu kutarik ke depan. Sekilas kulihat darah langsung tumpah ruah memerahi lantai dapur. Tubuh limbung dengan cepat. Wajahku mengarah pada pintu dapur yang terbuka.
Pandangan mulai rabun. Mata perlahan tertutup. Detik terakhir terbuka, sampailah seorang sipir yang langsung meraih tubuhku. Biarlah aku mati, tapi setidaknya aku pasti bertemu dengan Keira.

S E L E S A I

PernahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang