Bendungan tangis Icha akhirnya tumpah. Membanjiri pipinya sembari diiring sesak.
Rara memang tak pernah tau bagaimana rasanya menjadi Icha. Rara bahkan tak tahu bagaimana Icha bisa bertahan selama ini.
Pernah suatu ketika ia datang berkunjung ke kontrakan Icha. Besarnya tidak melebihi luas ruang tamu Rara. Hanya ada kasur yang digelar di atas samak. Tak sengaja, Rara melihat persediaan beras Icha. Kurang dari 1 kg dan itu untuk persediaan seminggu.
Tapi Icha selalu tersenyum. Ia masih rajin mengaji. Orang yang belum mengenalnya pasti tak akan menyangka kehidupan Icha sesungguhnya.
Beruntung Icha mendapat beasiswa di sekolah. Sedikit meringankan biaya. Meski tetap, Icha harus memutar otak agar ia dapat membeli beberapa buku, alat tulis bahkan seragam dan sepatu. Walaupun bekas.
Icha masih memiliki seorang adik berusia lima tahun. Meski pernah diajak ikut dengan ayah, tapi adik Icha tak mau pergi jika Icha tidak ikut.
"Cha... Aku memang gak tau gimana rasanya. Tapi... Aku yakin kamu kuat, Cha. Kamu pasti bisa laluin ini semua. Kan kamu sendiri yang bilang kita itu diuji sesuai kemampuan kita."
Icha menarik dalam nafasnya.
"Cha... Kalau kamu berhenti sekarang, nanti Bilqis gimana? Selama ini kan Bilqis gak bisa pisah sama kamu, kakaknya."
"Ra... Aku dah hampir gak bisa bagi waktu. Pulang sekolah aku harus cari kayu. Belum kalau ada tetangga yang minta nyuci atau nyetrika. Apa... Sebaiknya aku berhenti?"
Mata Rara membelalak tak percaya.
"Jangan bilang kamu mau putus sekolah?!"
"Hhh... Entahlah..."
🍁🍁🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti Titik Jenuh
Short StoryIcha, anak sekolahan dengan segudang masalah. Gamang saat pada akhirnya ia temukan titik jenuh di kehidupannya. Jenuh bertahan, jenuh dg senyum palsu, bahkan... ia hampir jenuh memohon pada Tuhan. Akankah Icha bertahan meniti titik jenuhnya? Atau i...