Empat

5 0 0
                                    

"Bilaaa jatuhh, gajah lain membantu.."

Lagu yang diputar di toko ini senada denganku, semuanya terasa membahagiakan. Terlebih, aku berhasil mendapatkan buku yang kucari.

Akupun berniat menuju kasir, namun setelah melihat rak alat tulis, aku jadi tertarik membeli beberapa spidol permanent.

Melihat spidol dengan puluhan jenis dan warna seperti melihat pelangi yang jatuh di atas tempat tidurku. Sangat membahagiakan.

"Kalau seperti ini aku akan sangat bingung memilih spidol mana yang harus aku beli" gumamku.

"Coba kau ingat warna apa saja yang belum kau punya dirumah, lebih baik jika hanya membeli apa yang kita butuhkan" sebuah suara halus khas seorang remaja perempuan muncul tiba-tiba.

Aku yang masih terhipnotis pada spidol-spidol ini tak terlalu menghiraukannya, walaupun saran darinya tercerna oleh pikiranku.

"Sayangnya aku sudah punya semua warna yang tersedia disini." Ucapku sekenanya tanpa menoleh sedikitpun.

"Mungkin kau bisa membawaku pulang, siapa tau aku bisa memberimu warna yang belum pernah kau punya selama ini. Hihi"

"Maksudmu??" Aku cukup kaget dengan kata katanya, dan spontan langsung menoleh kearahnya.
"Kamu yang tadi di kereta?" Tanyaku lagi setelah tambah kaget dengan apa yang kulihat.

"Ya, aku Salma sastra, dan ucapanku yang tadi hanya bercanda. Tolong jangan kau masukkan kedalam hati ya." Katanya dengan penuh percaya diri sembari mengulurkan tangan mungilnya ke arahku.

"Oh... aku Ibnu Abikabsyah" ucapku dan langsung menyambut uluran tangannya.

"Kesan pertama bertemu denganmu sangat mengesankan, kalo gitu aku akan panggil kamu Abi, supaya lebih memorable"

"Oke, tapi setelah ku pikir-pikir, apa yang kau katakan tentang warna yang tak kupunya ada benarnya, karena selama ini aku tak punya satu hal yang membuat seluruh hidupku kehilangan satu warna"

"Apa itu?" Tanyanya dengan sangat antusias.

"Teman" jawabku sambil menoleh kearahnya dan kembali menatap langit-langit gedung ini.

"Apakah kau punya waktu untuk mengobrol hari ini? Di tempat yang lebih nyaman tentunya" tanyanya.

"Sebetulnya jika sedang sendiri, tempat inilah yang paling nyaman buatku. Tapi karena ada orang lain yang mengajakku, mungkin rasanya akan berbeda"

"Kuanggap itu sebagai penerimaan atas tawaranku. Kalau begitu ayo" katanya lagi sambil melangkah ke arah pintu keluar.

"Hmmm, kalau begitu kau tunggu di depan pintu, aku akan membayar apa yang kubeli dulu"

"Oke"

~~~~~~~**

"Kita pergi kemana?" Tanyaku padanya saat kita sudah beranjak dari gedung toko buku.

"Di dekat sini ada tempat yang cukup nyaman untuk ngobrol" sahutnya.

"Kita jalan kaki atau?" Tanyaku lagi.

"Kalo kamu gak kuat jalan kaki kita naik taksi juga boleh.. hehe"

"Okeee... kita jalan.. kaki" ucapku dengan nada dibuat se-meyakinkan mungkin.

"Siapa takut" ucapnya sembari membusungkan dada dan mendahuluiku dua langkah.

~~~~~**

Kita berdua pun sampai di sebuah cafe kecil di tepi jalan. Cafe bergaya klasik yang langsung membuatku memberikan label "nyaman" terhadap segala hal tentang cafe ini. Dekorasi khas rumah-rumah jaman dulu seperti Topi petani, guci tanah liat di ujung ruangan, teko-teko tanah liat beserta gelas kecil disetiap mejanya menambah rasa nyaman siapapun yang datang kesini.

" sangat nyaman! Kamu sering kesini?"

"Tentu, hampir setiap pulang sekolah aku mampir kesini, sorenya baru aku pulang kerumah"

"Kenapa sampai setiap hari?"

"Karena cafe ini milik ibuku" jawab ia dengan senyum lebar yang membuat jejeran gigi putihnya terpampang jelas.

"Jadii.. cafe ini milik.." belum selesai aku berucap, datang seorang wanita paruh baya yang ku taksir sekitar empat puluh sampai empat puluh lima tahun umurnya.

"Salma.. udah beli bukunya?" Sapa wanita itu saat kita masuk ke cafenya.

"Gaada ma, udah abis" jawab salma dengan nada merendah.

"Oalaah, lho ini siapa? Baru juga sekali keluar sendiri udah bawa cowo aja" ucap wanita itu sambil menunjuk ke arah ku.

"Ih mama apasih, ini temen aku ma.. namanya abi.." jelas salma padaa mamanya sembari mengisyaratkanku memperkenalkan diri.

"Eh, anu.. saya abi tante" ucapku memperkenalkan diri.

"Saya fina, mamanya salma, santai aja gausah gugup, duduk dulu gih."

"Sini bi, kita duduk disini" salma pun langsung menuju tempat duduk yang letaknya paling dekat dengan meja kasir, diikuti olehku dan juga tante fina.

"Salma itu orangnya manja dan jarang keluar rumah sendiri, tante kira dia gapunya temen, ternyata ada juga, cowo pula" kata tante fina tiba-tiba.

"Eh iya tan, keliatan sih anak rumahan banget si salma" jawabku asal.

"Yaudah sana duduk, biar tante buatin minum, kamu mau minum apa?"

"Apa aja deh tante, hehe"

"Kamu duduk dulu aja bi"
"Biar aku aja mah yang buatin minum, mama istirahat aja"

~~~~~~*

Tak lama kemudian dua gelas minuman warna-warni datang bersama dengan salma dan juga sepiring kentang goreng.

"Ini minuman spesial, hasil eksperimenku, kamu harus jadi orang pertama yang merasakannya" ucapnya dengan wajah sok seram yang sama sekali tak membuatku takut.

Salma pun duduk di sampingku dan meletakkan apa yang dia bawa di meja.

"Hmmm... enak kok minuman buatanmu, kamu buat dari apa?"

"Entah, aku masukkan saja apa yang menurutku menarik, aku tidak pernah diizinkan membantu di cafe ini, jadi aku tak tau nama-nama dan kegunaan bahan-bahan disana"

"Oke oke" ucapku sambil menjauhkan gelasku dengan sangat pelan dan hati-hati.
"Ngomong-ngomong, kamu tadi kehabisan buku? Memangnya kamu cari buku apa?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Novel, judulnya Lihat Aku." Jawabnya datar.

"Maksudmu buku ini?" Tanyaku sambil menunjukkan padanya buku yang ku beli.

"Huaaa... iya buku ituu, kenapa kamu bisa dapat..?" Teriak dia dan sukses membuat semua orang di cafe ini menoleh kearah kami.

Dan aku hanya menepuk dahiku.

-~

Tolong kritik dan sarannya yaaaa...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 18, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

But you can'tTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang