Janji

459 10 2
                                    

Sabtu, 19 Agustus 2000. Semburat senja mulai menyapa. Pertanda bahwa sang Raja Siang akan segera tidur dan singgasana langit akan dijaga sang Dewi Malam. Lampu-lampu mercusuar taman mulai dinyalakan, membentuk formasi berkilauan melingkari taman. Belaian angin yang lembut terasa menusuk-nusuk sukma. Sesak rasanya. Aku mendongkak menatap lembayung memesona sore ini. Deretan mobil kijang dan karimun serta dokar memenuhi jalan. Riuh. Seolah tak pernah sadar bahwa lazuardi memancarkan cahaya yang menenangkan saat dipandang. Biarlah, itu hidup mereka bukan? Aku terduduk di bangku panjang taman. Menyandarkan segala keluh kesah. Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, berharap segala beban akan ikut terhembuskan. Mataku melirik arloji yang melingkari tanganku. Pukul 5 lebih 47 menit. Sedetik setelah itu, adzan berkumandang dari masjid sebrang. Pria-pria paruh baya berjalan ringkih memasuki masjid. Dengan setelan baju koko kumal, sarung yang kusam dan kopiah yang sudar luntur dimakan usia. Sebagian lagi pendatang masjid merupakan para pegawai kantor yang singgah. Lebih baik sembahyang pada Tuhan dibanding berdiam di kemacetan bukan?

Aku merogok ponsel poliponik dari dalam tas di pangkuan. Menekan beberapa tombol setelah menyadari ada sebuah pesan dari orang yang kutunggu sejak pukul 4 sore.

'Aku sholat dulu di masjid sebrang taman, tunggu sebentar' begitulah isi pesannya. Aku tidak membalasnya karena di sebrang sana kudapati sorotan dua bola mata yang mengirim pesan ini, matanya memicing menahan silauan lembayung, senyumnya menggurat wajahnya yang kelelahan. Aku menyunggingkan bibir, tersenyum. Lalu mengangguk untuk menyegerakan ia pergi ke dalam masjid. Dia pun pergi, aku menunggu.

Menunggu? Haha. Itu hanyalah lelucon bagi pengecut. Karena menunggu bukanlah sekedar tentang menghamburkan waktu demi mendapat sesuatu. Namun, dibalik itu semua juga terdapat perasaan yang dibuat mengambang. Antara pasti dan tak pasti. Antara berjalan di atas duri atau berhenti menyakiti diri. Tak sedikit orang yang memutuskan pasrah lalu merelakan semuanya. Walau itu, berat. Karena ibarat membiarkan diri merintih tertusuk duri, lebih baik mati, bukan? Namun sayang, aku tak seperti itu. Aku justru memilih berjalan di atas duri setiap hari, membiarkan diri sekarat. Karena kupecaya, janji-janji kehidupan itu akan datang. Walau entah, kapan datangnya. Yang mesti kau tahu, aku bersumpah atas diriku, bahwa aku akan menunggu. Sesulit apapun itu, sesakit apapun itu.

"Din." sesosok pria berawakan tegap, berkulit putih bersih dan berbiji mata cokelat madu perpaduan ras melanosoid dan kaukasoid, menghampiriku. Menyadarkan aku yang tengah tersesat dalam hutan lamunan. Aku mendongkak bertemu dengan mata eksotisnya. Aku tersenyum, disusul bulir air mata yang tak diundang.

Pria itu jongkok agar lebih dekat denganku. Kini bagiannya yang mendongkak dan aku yang menunduk. Semakinku memnunduk butiran air mata dari pelupuk mataku semakin banyak berjatuhan, bagai benteng yang runtuh akibat derasnya air yang tak dapat terbendung lagi. Tangan pria itu menarik jemariku perlahan lalu menciuminya dengan lembut.

"Jangan menangis, percayalah bahwa ini bukan akhir."katanya, nada bicaranya berat namun halus sangat hangat didengar. Aku hanya mengangguk tak sanggup berkata-kata. Walaupun aku sedikit ragu apakah akhir kisah ini membahagiakan.

"Kalau kau hanya menangis malam ini maka takkan ada kenangan yang mengesankan bukan?" gumamnya mencoba membujuk.

"Bukankan sudah banyak kenangan antara kita? Apakah itu kurang mengesankan bagimu?" jawabku lirih.

"Bukan begitu, tapi tak bisakah kau mengukir hari terakhir kita dengan hal yang indah Din?" bujuknya lagi.

"Krisna, aku mencintaimu. Aku tak ingin kehilanganmu. Tak bisakah kau mengerti itu?" aku menarik tanganku yang sejak tadi didekap Krisna dan menggunakannya untuk menutupi wajahku. Bagai badai, air deras menghujani tebing wajahku. Iya, pria di hadapanku itu bernama Krisna. Krisna lalu berpindah dan duduk di sampingku. Lantas, lengannya mendekap bahuku dan menarik kepalaku untuk bersandar di dadanya.

JanjiWhere stories live. Discover now