5. Seperti Langit Piha, Kelam Tapi Ceria

1.1K 183 14
                                    

Entah berapa lama lagi musim dingin melanda.

Zarn tidak mengerti tanggal dan bulan. Dia tidak bisa menghitung sudah berapa lama dia ditinggalkan di Piha. Keadaan Ravel memburuk. Tapi Zarn berusaha tetap ceria dan tenang. Meski sesungguhnya, keceriaan Zarn adalah refleksi dari sebuah kepasrahan dan rasa menyerah.

Jika Jenny dan yang lainnya bertanya di mana Ravel, Zarn akan menjawab bahwa Ravel sedang tidur di rumah. Masih sakit, tapi sudah tidak apa-apa.

Jenny dan Ben masih suka memberi Zarn makanan. Zarn menerimanya, tapi dia sendiri juga kehilangan selera makan. Tenggorokannya sakit ketika diajak untuk menelan.

Akhir-akhir ini tubuhnya juga memberontak. Ada sesuatu yang menyakitkan yang menggerogotinya sedikit demi sedikit. Hanya saja, demam sejak malam dia menemukan Ravel collapse di lantai, hingga sekarang belum juga turun.

Zarn paham tubuhnya sedang dalam kondisi tidak baik. Suhu tubuhnya meningkat, dadanya juga terasa sakit.

Pagi ini, jika Ravel tidak menyentuhnya, mungkin Zarn tidak akan terbangun. "Halo, Rav. Kau sudah bangun?"

Ravel terdiam. Tidak mampu lagi menjawab.

"Tidak, aku tidak akan bermain ke pantai lagi atau pergi bersama anak-anak Piha. Aku akan berada di sini bersamamu," katanya sambil mengeratkan pelukan terhadap Ravel. Bulu-bulu Ravel mulai rontok sekarang. Jadi tidak terlihat tebal lagi. Tapi di mata Zarn, Ravel masih yang terbaik.

"Aku juga tidak mau makan. Kau saja tidak mau makan."

Ravel melenguh. Zarn keras kepala. Padahal, dia juga tidak mau sakit. Ini sudah takdir. Ravel ingin Zarn melanjutkan hidup, bermain seperti biasa meski tanpa dirinya.

"Kau ingin buat snowman lagi?" Zarn tersenyum, bibir pucatnya melengkung indah. Zarn memang indah. Parasnya rupawan, hanya mentalnya saja yang kurang berkembang. Tapi, dia tidak idiot. Dia juga tidak gila.

Pemuda itu sekuat tenaga bangkit. Meski akhirnya, terjatuh, dan berbaring lagi. "Rav, aku ingin mandi."

Tapi badannya lemas luar biasa. "Aku ingin terlihat tampan kalau ayah datang."

Ravel mengangguk. Dia juga menginginkan hal yang sama.

Kemudian, Zarn mencoba bangkit sekali lagi. Meski susah payah, tapi dia berhasil hingga duduk di pinggir ranjang. Dengan langkah terseok dan napas memberat, Zarn berjalan, menuruni tangga. Sebelum dia sendiri yang mandi, Zarn memutuskan untuk membersihkan kamar. Tak peduli dengan luka yang memarah di telapak tangan kirinya.

"Kita akan baik-baik saja, Rav. Percayalah," kata Zarn saat dengan sekuat tenaga mengangkat tubuh Ravel, memindahkannya ke sofa kecil di sudut ruangan. Meski limbung dan nyaris jatuh berkali-kali, pada akhirnya Zarn berhasil membersihkan kamarnya.

Bau pipis dan muntahan Ravel sudah dia bersihkan. Lantainya ia pel dengan benar-benar. Begitu juga dengan selimut dan seprai lusuh yang menemani mereka tidur selama di Piha, Zarn singkirkan ke kamar mandi.

"Nah, Rav. Kasur kita sudah bersih dan wangi sekarang. Kau bisa tidur dengan nyaman sekarang." Zarn tersenyum sambil menghampiri Ravel di sofa.

Hanya saja, mata Ravel sudah tidak balas menatapnya. Ravel terpejam.

"Hei, Ravel. Bangun, Rav. Kau harus balas menatapku kalau aku sedang bicara."

Tangan Zarn menjulur, mengusap dada Ravel dan tersenyum ketika masih mendapati ada denyutan pelan di sana. "Hei, aku tidak pernah marah kepadamu. Tapi sekarang aku akan marah kalau kau tidak mau bangun juga."

Semenit, dua menit, lima menit, hingga sepuluh menit. Zarn duduk bertumpu lutut di depan sofa. Menatap Ravel dengan penuh pengharapan.

Lama-lama Zarn mencoba untuk tersenyum. Lalu mengusap air matanya sambil mencoba bangkit dengan susah payah. "Aku akan memindahkanmu ke kasur, Rav. Aku mau mandi sebentar, setelah itu kita tidur sama-sama."

Zarn mengembuskan napas. Mengurut dadanya sendiri yang ikutan berdenyut sakit luar biasa. Namun, semangatnya tak lantas luruh agar bisa memberi yang terbaik untuk Ravel.

Pemuda itu berdiri, kembali mengangkat tubuh Ravel meski sukar. Lalu tersungkur di samping ranjang begitu Ravel berhasil dibaringkan dengan nyaman. Napas Zarn memburu tak karuan. Ingin rasanya ia kembali berbaring. Tapi firasatnya berkata bahwa dia harus mandi. Sewaktu-waktu jika ayah, ibu, dan kakaknya datang, mereka akan mendapati dirinya yang bersih. Tidak kotor dan bau.

Zarn terjatuh di anak tangga terbawah. Rintihan kesakitannya semakin terdengar jelas. Tidak bersambut selain angin. Tidak dijawab selain udara. Tangannya mengepal. Matanya yang sayu dan kulitnya yang memutih seolah menusuk hawa rumah itu.

Lima belas menit dilalui dengan begitu berat. Zarn dengan bodohnya mengguyur tubuh tanpa menyalakan water heater. Meski menggigil, nyatanya pemuda itu malah tersenyum.

Perjuangan selanjutnya adalah ketika dia harus meniti satu persatu anak tangga. Lalu mencapai kamarnya sambil tersenyum bahagia.

"Hai, Rav. Aku kembali."

Zarn menghela napas, lalu menempatkan diri untuk berbaring di samping Ravel. Anjing itu akhirnya membuka mata meski separuh.

"Wah, matamu indah sekali. Seperti langit Piha. Kelam, tapi ceria."

Ravel melenguh, pelan ... pelan sekali.

"Berapa umurmu sebenarnya, Rav? Maafkan aku yang tidak pandai menghitung dan mengingat. Aku jadi tidak bisa mencari cara bagaimana agar aku bisa mengingat tanggal ulang tahunmu."

Tidak masalah, ulang tahun bukan segalanya. Ada bersama Zarn, adalah berkah hidup yang indah untuk Ravel.

"Apakah kau benar-benar sudah lelah?"

Ravel mengiyakan. Tanpa gonggongan, tanpa anggukan. Matanya mengerjap lemah. Lalu terpejam kemudian.

"Aku juga sudah lelah, Rav." Zarn mencoba untuk tersenyum. Tangan lemasnya bergerak menyeberangi tubuh Ravel, memeluk sahabatnya dengan erat.

"Aku juga ingin tidur. Aku tidak suka Queenstown, aku tidak suka Piha, aku juga tidak suka dunia ini. Kalau kau tak ada, aku tidak suka di mana-mana."

Zarn mengembuskan napas beratnya berkali-kali. Bersamaan dengan salju yang berhenti menggila, Zarn menutup mata. Memeluk Ravel dalam bahagia, tidur bersama-sama.

BE STILL, WINTER! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang