17

660 121 19
                                    

"Maaf, aku gak bisa, Kak."

Keadaan kembali hening setelah Gracia memberi tahukan jawabannya. Viny memejamkan matanya menahan rasa sakit yang menyelimuti dadanya. Viny menghela nafasnya berkali-kali mencoba mengatur nafasnya yang mulai memburu.

"Maafin aku." Gracia menunduk. Merasakan penyesalan teramat dalam karena telah menyakiti Viny.

Viny mengangguk pelan, mencoba menahan air mata yang ingin ke luar dari sudut kedua matanya.

"A-Aku gak mau menyakiti Sinka lebih dari ini. Aku tau dia mutusin Kak Viny karena aku. Tapi, aku gak bisa, Kak." Gracia melirik Viny sekilas. "Hubungan ini terlalu cepat dan aku gak mau merasakan kebahagian sementara Sinka merasakan sakit karena merelakan Kakak buat aku."

Viny membuka matanya perlahan, merasakan kepedihan yang tersirat dari kedua mata Gracia.

"Sinka dan aku baru saling mengenal, sama kayak kita. Dan dia mengorbankan perasaannya demi aku. Rasanya gak pantes. Aku gak tau apa yang membuatnya merelakan kamu, Kak. Merelakan sampai membiarkan kamu mengejar aku. Tapi, apapun alasannya, kita jahat, Kak. Kalau Sinka gak bisa sama kamu. Lebih baik kamu juga gak sama aku."

Viny kembali menunduk, tak kuasa lagi menatap Gracia.

"Lebih baik kita juga gak bersama. Dan tetap seperti ini. Ini jauh lebih adil."

Viny mengangguk dan tersenyum tipis sambil menatap Gracia. Wajahnya terlihat menyedihkan, Gracia dapat melihatnya. Ia pun merasakan kepedihan yang sama seperti Viny. Cinta pertama yang harus direlakannya pergi karena Gracia jelas memilih persahabatannya.

"Kak Viny ngerti. Kalau gitu, Kak Viny pamit."

Gracia mengangguk sebagai tanda mengiyakan, membiarkan Viny bangkit dan berjalan ke luar rumahnya. Viny melangkah dengan gontai, rasa sakit jelas begitu menyelimutinya. Jantungnya masih berdetak cepat dan tak karuan.

"Kak Viny."

Viny menoleh, menatap Gracia yang mengantarnya hingga ke depan rumah.

"Iya?"

"Makasih, dan maafin aku sekali lagi."

Viny terdiam saat melihat Gracia mendekatkan wajahnya, memberikan kecupan hangat di pipinya yang mulai tirus. Viny tersenyum saat Gracia menyudahi ciumannya. Ia pun pamit setelah melambaikan tangannya pada Gracia.

***

Viny hanya melamun selama menjalankan motornya. Pikirannya terus melayang pada kejadian saat Gracia menolaknya. Cinta pertama sekaligus cinta terakhirnya yang lenyap begitu saja. Hilang begitu cepat bagai angin yang berhembus menerpa tubuh kurusnya.

Viny berhenti saat motonya melewati lapangan basket tempat kompetisi basket jalanan yang pernah diikutinya. Memarkirkan motornya di pinggir lapangan dan memperhatikan lapangan tersebut. Tempat pertama yang mempertemukannya dengan Gracia. Gadis pecinta warna Ungu yang menurutnya sangat ahli mengabadikan potret dirinya.

Viny memicingkan matanya saat melihat bola basket di sudut lapangan yang kosong, ia pun berjalan mengambilnya dan mulai memainkannya seorang diri.

Langit semakin gelap saat keringat mulai membanjiri tubuh Viny, matahari tak lagi terlihat, awan semakin menghitam dan yang berikutnya terjadi adalah hujan turun menetes membasahi muka bumi. Viny mendongak menatap gelapnya langit. Ia tertawa pelan, hujan turun bersamaan dengan air matanya yang akhirnya tak terbendung lagi.

"Ayah... Viny kangen... Maafin Viny."

Viny menunduk, mencoba mengusap air matanya yang sepertinya percuma. Nampaknya bumi ikut menangisi kisah cintanya yang menyedihkan.

Time LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang