4

1.1K 133 31
                                    

Dengan bantuan Lidya dan Beby yang memapahnya, Viny akhirnya bisa kembali duduk di pinggir lapangan.

“Minum, Vin. Minum lo abis, kan?” Tawar Beby menyodorkan botol minumnya.

“Gampang, Beb. Lo aja. Lo juga perlu minum.”

“Gak ada yang mau nawarin gue nih?” Tanya Lidya. Namun tak ada yang meresponnya. “Ya udah gue minta orang aja.”

Lidya pun berjalan ke pagar pembatas yang membatasi lapangan dengan tempat para penonton.

“Hoii, ada yang punya minum, gak? Minuman gue sama temen-temen gue abis, nih.”

Beby yang melihat Lidya meminta minum pada penonton langsung menunduk malu. Sementara itu Viny nampaknya tak mempedulikannya. Beberapa penonton nampak mencarikan minuman karena minuman yang mereka bawa sudah habis. Lidya terus menunggu sampai seorang gadis menyodorkan plastik berisikan tiga buah air mineral.

“Buat Kakak-kakak.”

Lidya tersenyum girang dan mengambilnya. “Bener, nih?” Gadis itu mengangguk. “Wah, makasih. Namanya siapa? Anak mana?”

Gadis itu menggeleng lalu pergi, mengabaikan teriakan Lidya. Ia hanya tersenyum, karena baginya tak perlu Lidya, Beby apalagi Viny tahu tentang dirinya. Bagi gadis itu, asal ketiganya melakukan permainan terbaik mereka untuknya itu cukup. Lebih tepatnya untuk dokumentasinya.

Lidya mengerutkan keningnya, heran melihat kepergian gadis tersebut. Biasanya jika ditanya seperti itu, rata-rata dari mereka akan mengenalkan diri, beberapa diantaranya malah dengan pedenya memberikan nomer handphone. Lidya mengangkat bahunya, memilih tidak ambil pusing lalu kembali pada kedua sahabatnya.

“Lo ngapain dah, Lid? Malu-maluin amat.”

“Tapi, lihat deh. Kita jadi dapet minum, kan. Dari seorang gadis manis yang gak mau memperkenalkan dirinya.”

“Mungkin dia takut kali sama suara lo yang kaya Om-om itu. Takut diculik. Hahahahaha!!” Tawa Beby begitu girang.

“Tawa lo! Tawa! Dasar jenong sial!”

Plak!

Lidya memukul jidat Beby dengan botol air mineral yang masih penuh. “Aduh, anjer! Sakit Bencong.”

“Mampus.” Lidya lalu menyodorkan satu botol pada Viny. “Minum, Vin.”

Thanks, Lid.”

“Oh iya, lo bisa pulang sendiri? Atau mau gue telponin Viddy?”

Viny mengangguk sambil meneguk minumnya. “Gue gak bisa pulang sendiri. Tolong ya, Lid.”

“Gampang.”

***

Viny akhirnya tiba di rumahnya bersama Viddy. Hanya senyuman tipis yang ditunjukkan Viny pada sang Bunda yang menatapnya khawatir. Viny langsung melangkahkan kakinya menaiki tangga rumahnya tanpa berbicara pada sang Bunda ataupun Viddy.

“Kakak kamu kenapa? Kakak gak apa-apa kan, Dek?”

Viddy melempar sembarang kunci motor Viny lalu duduk menatap lurus pada layar televisi yang tak menyala sama sekali.

Time LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang