PROLOG

4.4K 351 55
                                    


Malam itu, Jakarta kembali menawarkan kehidupan malam yang gemerlap dan seolah tak pernah tidur. Ratusan kelab malam tersebar di suluruh penjuru ibukota dan siap menyajikan surga fana dunia tepat ketika orang-orang mulai akan terlelap.

Kelab-kelam malam dipenuhi oleh suara musik yang menghentak, tubuh-tubuh yang bergerak erotis dan saling menggesek di lantai dansa dan sudut-sudut gelap ruangan yang disinggahi oleh pasangan semalam yang saling menjamah.

Julian ada di sana malam itu. Seperti malam-malam sebelumnya ia mengunjungi Faltos, salah satu dari sekian kelab yang ia biasa kunjungi setiap malamnya.

Tapi malam ini wajah lelaki itu agak suram. Bibirnya terlihat ditekuk sepanjang waktu. Kerutan di dahinya hampir disangka sebagai kerutan yang permanen karena tak kunjung lenyap. Biasanya tak butuh waktu lama baginya untuk segera ikut membaurkan diri di lantai dansa dalam keadaan setengah mabuk, tapi kali ini ia hanya duduk diam dan merengut di depan konter bar dengan beberapa gelas alkohol yang tak juga membuatnya mabuk sepenuhnya.

Hari ini sudah dicap sebagai hari yang buruk bagi Julian. Perasaannya sedang kacau beberapa hari terakhir karena belakangan ini ia kembali diingatkan dengan orang-orang yang semestinya telah ia depak jauh-jauh dari ingatannya. Jika biasanya ia datang ke kelab untuk bersenang-senang, kali ini ia datang ke kelab berharap dapat mencari pengalihan pikiran.

"Di sini lo rupanya. Gue cariin dari tadi pantes gak ketemu. Nggak goyang lo malam ini?" Julian seketika menoleh ketika merasakan sebuah tepukan di bahunya dan menemukan seorang teman yang sudah teramat ia kenal. Namanya Vandy, seorang gay sama seperti Julian. Mereka berteman dengan cepat karena merasa satu 'jenis' dan karena meski dengan gaya fashion-nya yang mencolok dan membuat sakit mata, Vandy adalah pribadi yang dewasa dan pendengar yang baik.

Apa yang ada di antara ia dan Vandy tak pernah melebihi batas pertemanan. Pernah suatu ketika mereka mencoba sesuatu yang panas di antara mereka, keduanya segera berhenti tepat pada saat semuanya baru akan dimulai. Karena nyatanya keduanya lebih senang menjadi pihak yang didominasi, bukan yang mendominasi. Sejak saat itu mereka putuskan status sahabat adalah yang paling tepat untuk mereka.

"Lagi malas gerak. Nggak tau nih, kaki gue berat banget rasanya." Julian menjawab acuh dengan sebuah gedikan bahu. Rengutan di wajahnya tak lagi separah tadi, meski tak sepenuhnya menghilang.

Mereka sama-sama diam sesaat. Suara musik masih terdengar menghentak-hentak.

"Hmm... Ada ikan salmon. Ikan salmon yang lagi nyasar ke kubangan lele."

Julian kembali menoleh saat mendengar Vandy berbicara lagi. Jika saja ia belum terbiasa dengan kalimat-kalimat antik dan ekslusif yang biasa Vandy keluarkan mungkin Julian sudah tertawa dengan perumpamaan yang dibuat Vandy.

"Siapa?" Julian bertanya, meski tanpa menunggu Vandy menjawab ia langsung mengikuti ke mana arah Vandy memandang.

"Hm," Julian bergumam acuh setelah menemukan siapa orang yang Vandy maksud.

"Lo kenal?"

Julian masih ikut menatap orang yang sama. Pakaian mahalnya terlihat mencolok. Gaya dan pembawaannya yang terkesan high class jelas mempertegas kalau dia tak sepatutnya berada di kelab murahan seperti Faltos. Ia mestinya jadi member kelab-kelab yang lebih ekslusif.

"Andre. I guess, he is a personal assistant of a president director in a big-big-big company, or something." Julian menjawab asal. Meski ia mengenal Andre lebih dari itu, ia tak berniat menjelaskan.

Meski tak pernah mengenal Andre secara lebih personal, Julian tahu bahwa lelaki itu adalah sepupu Jagad. Kedua lelaki itu sangat dekat, seperti saudara kandung. Saat ia masih berkuliah di London, sebelum ia keluar karena drop out, Andre sering menemukan lelaki itu ada di dorm mereka untuk mengunjungi Jagad. Dan tahun lalu ia terlibat sebuah pekerjaan dengan Winanta Group. Andre sempat mengenalinya sebagai teman sekamar Jagad, namun pembicaraan mereka ketika itu tidak pernah diperpanjang.*

"Macho, ya? Coba aja kalau dia gay, udah gue embat tuh. Kayaknya enak benget tuh digenjot sama batangan kelas atas." Vandy menyeletuk, lidahnya menjilati bibir bawahnya dan pandangannya menatap Andre penuh napsu.

"Lele kucel mau mimpi main sama ikan salmon," Julian mencibir.

Vandy tergelak. "Tumben lo nggak minat, Ian? Biasanya lo suka banget hunting cowok straight?"

Satu hal tentang Julian, dari dulu ia memang kerap bermain api dengan lebih memilih berburu lelaki-lelaki straight untuk ia dekati. Meski acap kali kelakuan liarnya kerap berujung petaka bagi dirinya sendiri. Saat di London dulu, seringkali ia berakhir dengan babak belur dan sejumlah makian karena mencoba menggoda lelaki straight yang ia temukan. Di penghujung malam, petugas bar akan menelepon ke dorm, meminta siapapun untuk segera tubuh babak belur Julian dari bar mereka. Jagad sebagai satu-satunya teman se-dorm Julian, tentu saja orang yang menjadi orang yang harus turun tangan. Tak jarang ia harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menggangi kerugian bar. Julian berhutang budi banyak pada lelaki dingin satu itu.

Julian tampak tak peduli. Jika ini hari yang biasanya, mungkin Julian sudah melakukan sesuatu untuk mencari kesempatan menggoda Andre. Terlepas ia adalah sepupunya Jagad atau bukan. Tapi suasana hati Julian begitu buruk hari ini, ia seolah kehilangan semua minat.

Beberapa lama, dia dan Vandy duduk saling diam  sambil sesekali mengangguk-anggukkan kepala menikmati tempo musik yang menghentak. Mata Julian beberapa kali tertumbuk pada Andre yang masih duduk di sofa sudut yang sama dengan seorang gadis yang duduk di pangkuannya. Mereka tampak begitu bersenang-senang dengan cumbuan mereka.

Julian menyadari memang ada perbedaan yang kontras antara Jagad dan Andre. Jagad adalah lelaki yang ambisius, dingin dan begitu serius. Jarang sekali ia melihat Jagad pergi bersenang-senang meski saat mereka masih kuliah dulu. Jagad adalah tipikal lelaki yang berambisi untuk menaklukkan dunia. Hal itu yang dulu membuat Julian tak pernah benar-benar mencoba menggoda Jagad, meski niat itu sempat terlintas. Ia akan menjadi lelaki yang suatu ketika akan menikahi seorang putri konglomerat kaya hanya untuk mengamankan posisinya sebagai penguasa. Lelaki seperti Jagad hanya akan membuatnya sakit kepala. Tapi lucu sekali ketika akhirnya dia tahu bahwa Jagad akan berakhir menjadi seorang gay yang bertekuk lutut di depan seorang gay cengeng seperti Lilan.

Sedangkan Andre, lelaki itu jauh lebih fleksibel dibanding Jagad. Ia tidak kaku. Saat bekerja ia adalah lelaki yang serius, tapi melihat keberadaannya di sini malam ini, sepertinya ia juga mengerti tentang arti bersenang-senang.

Perempuan di pangkuan Andre semakin merapat. Atasan gaunnya yang berbentuk tube nyaris memuntahkan payudaranya keluar dan ia dengan sengaja menggesek-gesekkannya ke dada Andre. Jemari-jemarinya dengan nakal mengusap-ngusap pangkal tengkuk Andre mengetahui titik tersebut adalah salah satu titik sensitif seorang lelaki yang bisa dengan cepat membuat mereka terangsang.

Julian tidak mengerti kenapa ia tertarik untuk menonton adegan erotis hetero seperti itu, tetapi sesuatu dalam dirinya seolah terpicu. Ia punya gelar tersendiri, little devil, orang-orang biasanya menyebutnya begitu. Julian punya segudang kelakuan nakal dan jahil yang bisa membuat orang geram padanya. Melihat perempuan itu begitu berusaha keras untuk mengajak Andre berakhir di ranjang malam ini, niat bejat Julian mendadak muncul. Meski tadi awalnya ia tak berminat, tapi pastilah lucu sekali jika ia berhasil menggoda Julian setelah perempuan itu berusaha keras merayu Andre. Lumayan, untuk hiburannya di hari yang buruk.

Maka ketika Andre terlihat bangkit dari tempat duduknya seperti hendak ke toilet, Julian buru-buru melompat turun dari kursi tinggi bar dan menyusul. Ia bertukar pandang sesaat dengan Vandy dan lelaki itu segera menyeringai menyadari apa yang Julian hendak lakukan.

Sebelum Julian benar-benar menjauh, Vandy menjulurkan tangannya untuk menepuk pantat Julian dengan keras. "Ntar cerita gimana rasanya digenjot batangan kelas atas. Gue tendang lo kalo sampe gagal." Vandy tertawa.

Julian dengan sengaja berjalan lebih sensual, "Nggak ada yang bisa nolak servis gue, Van. Just see." Ia menyeringai lebar.

-

a/n :

*Ini maksudnya pas Andre ketemu Julian buat pertama kali di Chapter 21 The Wedding Affair.

THE HIDDEN AFFAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang