Truth: Extra Story

3.3K 295 10
                                    

Kalau sedang hari Minggu, Reka tidak terbiasa ada di rumah. Reka biasanya akan berjalan-jalan ke villa milik Ayah yang terletak di Bogor, ikut jalan-jalan dengan Ibu keluar kota—bertandang ke rumah saudara, mengunjungi teman-teman arisannya, atau bahkan hanya sekadar melancong untuk jajan. Jika Ayah atau Ibu tidak bisa diajak, Reka juga biasa mengunjungi rumah teman-temannya untuk menghabiskan akhir pekan. Namun, karena persiapan ujian kenaikan kelasnya yang pertama kali di bangku sekolah menengah atas, waktu akhir pekan Reka jadi tersita karenanya.

Ah, sial sekali, bukan?

Dan Reka tidak tahu harus melakukan apa di rumah sekarang. Ibu sedang keluar, berkumpul di salah satu rumah temannya untuk mengocok kertas arisan dan menjalankan bisnis perhiasannya. Ayah ada di luar negeri; katanya ada rapat saham atau apalah, Reka tidak begitu mau paham dengan urusan orang yang jarang meluangkan waktu di rumah itu. Pun teman-teman sekolahnya juga sedang tidak mau diganggu. Katanya, mereka tidak mau ujian kali ini nilainya amblas karena mengulang sama sekali memalukan.

Reka sih sudah bosan belajar, masalahnya.

Sudah dua jam berlalu sejak Reka memutuskan untuk menghabiskan waktunya di depan televisi, menonton film tengah hari kurang berbobot yang terpaksa ditengoknya. Perutnya sudah mulai keroncongan. Camilan kripik singkong dan satu kotak besar susu sudah dihabiskannya. Kulkas di dapur pun tidak berisi makanan yang bisa dihangatkan dengan kompor atau microwave. Sarapan nasi goreng porsi jumbo tadi pagi pun rupanya tidak mampu mengganjal perut Reka.

"MAMPUS!"

Jeritan itu membuat Reka terlonjak; menarik Reka yang sedang melamunkan makanan enak dari rumah makan Padang di persimpangan kembali ke dunia nyata . Remote di tangan sampai melompat dan terjatuh menimpa jempol kakinya. Reka menggeram kesal, tanpa perlu melirik dia sudah tahu siapa pelakunya.

"NINO, JANGAN BERISIK!"

Derap kakinya yang heboh menuruni tangga meredam suara Reka. Tiba-tiba saja, adik satu-satunya Reka yang sekarang baru duduk di bangku SMP itu sudah ada di belakangnya, terengah-engah sambil memegang beberapa lembar uang.

"Aku bakal beli makan siang Kak Re secepatnya, serius. Tapi, tolong jangan lapor sama Ibu kalau aku bangun siang!" Belum sempat Reka berkata apa-apa, Nino sudah menyambar duluan. "Kakak mau makan apa?"

Reka berkedip. Nino yang menyerocos begitu sama sekali tidak bisa dimengerto maksud kalimatnya. "Bilang apaan, sih, No?"

"Kakak. Mau. Makan. Apa," Nino mengulang, kata demi kata, sambil memutar matanya. "Cepetan! Aku tahu Kak Re masih dendam soal semalam tapi malam ini jangan bikin aku kena hajar Ibu lagi!"

"Kamu dihajar, 'kan, karena kamu emang nakal, No."

Reka diam-diam melirik kaki Nino, yang memiliki jejak lebam kebiruan akibat pukulan sapu Ibu tepat di atas lututnya, yang mengintip samar-samar dari celana pendeknya. Reka tidak tahu pasti apa penyebabnya. Tetapi, Reka tahu kalau semalam Nino mengacau dengan membuat Ibu kesal karena sudah menjatuhkan salah satu gelas dari koleksi keramiknya yang mahal setelah mengusili Reka dengan menyembunyikan bindernya.

"Besok aku ujian semester, Kak," ujar Nino. Wajahnya tertunduk, supaya Reka tak bisa menatapnya. "Kalau Ibu marah lagi malam ini, aku nggak tahu gimana caranya menyembunyikan luka-lukanya."

"Emangnya kenapa?"

"Aku takut ada yang curiga." Nino menggaruk lengan atasnya kikuk, tepat di bagian di mana luka sobek yang sudah setengah kering berada. "Kemarin, ada kakak kelas di sekolahku yang mukanya selalu bonyok tiap datang ke sekolah, ditanya-tanyain sama guru BK. Dia anaknya baik-baik, tapi orang tuanya sebelas-dua belas sama Ibu." Nino berhenti sebentar kembali melanjutkan. "Aku dengar, orang tuanya di bawa ke polisi."

TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang