1
Ruangan 6 X 4 itu begitu hening. Mungkin jika jam di dinding bukan jam digital, hanya itu yang berdetak memecah keheningan. Tiap sudut ruangan juga rapih. Itu sangat menggambarkan sifat pemiliknya. Apik, girly, bersih yang sangat menonjol saat memasuki ruangan itu.
Dinding-dinding dalam ruangan itu begitu polos, hanya ada beberapa kertas yang tertempel pada dinding dekat meja belajar, dan itu hanya secarik kertas yang berisikan mata pelajaran dan note kecil yang sengaja ditulis untuk pengingat, tak lebih. Dilihat lagi sisi lain di ruangan itu, terdapat rak buku yang menjulang hingga pelapon, puluhan, atau mungkin ratusan buku tersusun di sana. Mulai dari cerita dongeng anak, hingga buku yang mengandung ilmu berat, seperti filsafat atau apalah itu yang terlihat sangat tebal dan berat yang tersusun di rak teratas. Di hadapan rak itu, terdapat karpet dengan berbagai boneka berukuran besar. Tempat yang sangat nyaman untuk menikmati buku.
Sisanya, hanya ada kasur di pojok ruangan lengkap dengan bed cover yang cantik, boneka hewan yang juga tersusun rapi di atasnya dan ada beberapan buku novel yang berserakan di sana, satu di antaranya masih terbuka begitu saja. Dengan jendela serta pintu yang besar yang langsung menghubungkan dengan balkon yang melukiskan hiruk-pikuk pinggiran kota.
Kreekkk. Decit pintu kayu yang usang namun masih kokoh itu berbunyi saat siapapun membukanya. Gadis itu baru saja menginjak kelas dua belas. Ya, dialah sang pemilik istana ini. Garis wajahnya sama sekali tidak dapat dibaca, entah apa yang sedang ia rasakan. Gadis itu menaruh tas sembarang tempat, lalu menghempaskan tubuhnya pada kasur tanpa peduli novel yang masih berserakan itu tertimpa olehnya. Beberapa kali ia menghela nafas dengan panjang dan terdengar sangat berat.
Ada apa?
Jakarta. Ibu kota Indonesia. Pusat segalanya. Pemerintahan, bisnis, pemasaran, perkantoran, dan apalah itu yang mungkin jika disebutkan semua tak akan habis satu halaman. Macet? Iya. Sangat! Padat, sesak sudah menjadi rutinitas yang dirasakan seluruh warganya. Jalan raya seolah menjadi sirkuit bagi pada pembalap yang ingin segera sampai pada tujuannya. Deru kendaraan serta klakson seolah simponi yang harus didengar tiap waktu.
Cuaca cerah, bahkan sama seperti dongeng-dongeng yang pernah dibaca saat masa kecil, burung yang bernyanyi riang menyambut cerahnya hari, ditambah dengan daun yang berguguran tertiup angin sepoi manggambarkan kedamaian.
"Kemarin sampai di rumah jam berapa?" tanya seorang siswi tanpa mengalihkan pandangannya dari papan tulis.
"Jam tujuhan." Jawabnya datar. "Kenapa?"
"Gak apa-apa. Nanya aja."
"Gue gak mau lagi naik motor."
"Why?"
"Hampir ditabrak. Gak mau lagi."
"Iya?" kaget perempuan berkacamata itu.
"Susann..." panggil sang guru yang sedang menjelaskan di depan.
"Iya bu, maaf."
Kemudian kegiatan belajar menajar kembli normal. Kelas kembali hening, hanya ada suara sang guru yang sedang mengajar. Wanita muda berhijab dengan penggaris pajang kayu di tangan kanannya, papan tulis dipenuhi oleh angka maupun rumus, tatapannyapun sudah mulai mematikan ditambah lagi dengan kacamata yang sudah berada di ujung hidungnya.
"Assalammualaikum, selamat pagi Ibu Ratna, maaf mengangganggu waktunya sebentar." Suara itu mengalihkan sang guru.
"Iya Pak Ahmad, ada apa?" tanya beliau setelah menaikan kembali kacamata ke tempat semula, di batang hidungnya. Duapuluh tiga pasang mata tertuju pada orang asing yang berdiri di belakang guru berpeci hitam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ekin
Teen FictionIni adalah sebuah kisah di masa putih abu-abu. Dimana masa itu merupakan masa untuk mencari siapa jati diri kita sesungguhnya. Kalau diceritakan, kisah ini bermula dari datangnya murid baru di pertengahan semester kelas 3. Namanya Eksa. Dalam waktu...