Unperfected Light

1.2K 142 68
                                    

Kembali ke kota kecil ini tak pernah menjadi pilihanku. Namun di sinilah aku, bernapas lamat-lamat di antara udara dingin dan bau apak dari air rembesan salju di dinding dan atap rumah masa kecilku.

Hell tidak berubah sejak aku meninggalkannya beberapa tahun silam. Perjalanan kereta selama delapan jam dari Oslo, merupakan satu-satunya akses untuk mencapai neraka yang beku ini. Semuanya sama, tak ubahnya dengan tulisan di papan stasiun yang legendaris itu, "Hell- God's Expedition".

Rasanya, Tuhan salah mengirimkan sesuatu ke kota kecil ini.

Angels, answer me,
Are you near if rain should fall?

Lagu pengantar tidur kakek. Tertidur sendirian di ruangannya dulu. Ini membuatku terbang ke masa kecilku.

Seperti mencocokkan dengan namanya, tak ada gereja di Hell. Kurasa Tuhan tak terlalu mengingat pernah menciptakan tempat terpencil ini. Namun kakek adalah jemaat gereja yang taat meski itu berarti dia harus melakukan perjalanan jauh ke kota sebelah untuk misa sabtu atau minggu, atau di hari raya lainnya.

Am I to believe
You will rise to calm the storm?
For so great a treasure words will never do.

Mungkin karena itu... Dia tinggal?

Ponselku menunjukkan suhu empat derajat saat ini, dan aku ragu angkanya akan bertambah naik barang satu derajat.

Ruangan pertama yang kukunjungi setelah memasuki rumah di mana aku tumbuh dewasa dulu, bukanlah kamarku atau kamar orang tuaku, namun ruangan ini. Bagian atap rumah yang disulap menjadi ruangan kecil dengan sebuah jendela di salah satu sisi, menghadap ke jalan raya kecil di depan rumah kami.

Surely, if this is,
Promises are mine to give you.

Perasaan hangat yang menyelimutiku ini, wangi aroma yang tak kukenali -tak di manapun selain di sini, di saat seperti ini, dan suara ajaib seperti nyanyian salju yang bercinta dengan tanah.

Mine to give.

Tak salah lagi.

"Hai. Kau datang."

Here, all too soon the day!
Wish the moon to fall and alter tomorrow.

"Kau juga."

Suara itu! Jantungku berdegup cepat dan rasanya membuat dadaku sesak. Aku hampir melompat dari ranjang kakek di mana aku merebahkan diri, melepas lelah setelah perjalanan panjangku untuk sampai kemari.

I should know
Heaven has her way
Each one given memories to own.

Aku masih menutup mata meresapi lirik lagu yang mengalun lembut dari ponselku. Tiba-tiba, seakan udara disekitarku berhenti bergerak, aku merasakan angin yang berkibas tepat ke arahku. Udara hangat di Hell, tak ada yang bisa mendatangkannya selain Tuhan. Dan dia.

"Bolehkah aku membuka mata dan menatapmu?"

Aku merindukanmu. Sangat amat.

Sebuah tangan yang dingin, seakan itu hanya tumpukan angin tebal yang berkutat di depan wajahku saja, menutup mataku. Tetap di sana selama beberapa detik.

"Tidak boleh? Apa aku akan dikutuk jika aku mengataimu pelit?"

"Dia terlalu menyayangimu untuk itu, Eve."

Angels, all could be
Should you move both earth and sea?

Suaranya indah, seakan ia sedang bernyanyi saat mengatakannya. Seakan angin dingin tunduk memberi hormat atas kedatangannya.

RetrouvaillesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang