"Dia tak pernah tahu, jika itu bukanlah awal dari sebuah cerita romansanya, tetapi awal dari kematiannya."
Rasanya Seokjin sudah melihat kutipan itu dimana-mana, dan terkhusus untuk hari ini tulisan itu dibuat besar-besar tepat di sebuah banner yang menjadi backdrop beserta gambar sampul novel yang menjadi sumber kutipan itu. Berulang kali Seokjin mencoba menenangkan dirinya, tangannya yang gemetar masih mencengkeram novel yang menjadi karya terbarunya.
Napasnya terasa sesak dibalik masker hitam yang dikenakannya, tapi dia tak bisa melepasnya. Ini sudah menjadi ciri khasnya sebagai seorang penulis novel misteri. Ia berusaha sebisa mungkin untuk menutupi identitasnya, bahkan ia selalu menolak acara jumpa fans atau bedah buku novelnya karena ia ingin tetap tersembunyi.
"Jean-ssi, sekarang saatnya Anda keluar." Seokjin mengangguk pada seorang wanita yang menjadi penyelenggara acara peluncuran novel terbarunya. Seokjin berdiri dan membetulkan topi dan kacamatanya, sembari menghembuskan napas panjang ia akhirnya berjalan menuju podium yang sudah disediakan untuknya.
Ketika sampai di sebuah podium yang telah disiapkan untuknya, cahaya blitz langsung menghujaninya. Dia tak pernah menyukai ini, cahaya-cahaya itu membuatnya pusing dan perutnya terasa diaduk-aduk. Kamera-kamera yang menyorotinya itu mengingatkannya pada hal-hal yang jika bisa ingin ia hilangkan dari memorinya.
Namun Seokjin harus bertahan, ini untuk yang terakhir kalinya. Maka setelah menarik napas dalam, Seokjin berdeham kecil untuk menarik perhatian wartawan dan duapuluh penggemar novelnya yang beruntung.
"Selamat siang, saya Jean." Cahaya blitz semakin terang ketika beberapa wartawan itu mulai mengambil gambarnya lagi.
"Terima kasih sudah menyempatkan hadir pada peluncuran novel ketujuh saya, dan saya juga ingin menyampaikan rasa terima kasih saya untuk para pembaca novel saya yang selalu antusias dengan karya-karya saya." Ia memandang ke depan setelah menunduk untuk beberapa saat. Keputusannya sudah bulat, dan ia tahu ini untuk kebaikannya dan juga orang banyak.
"Pada hari ini saya ingin mengumumkan, bahwa saya Jean memutuskan untuk berhenti menulis novel." Sontak pernyataannya itu membuat orang-orang dalam ruangan itu mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan padanya. Penyelenggara acaranya pun juga terlihat terkejut akan pernyataannya.
"Terima kasih untuk dukungannya selama ini. Mohon pengertiannya untuk keputusan saya. Sekali lagi, terima kasih." Ia bergeser dari podiumnya, kemudian membungkuk dalam dihadapan wartawan demi menyampaikan permohonan maafnya. Kemudian setelah menyampaikan permohonan maafnya pada penyelenggara acaranya, ia pergi meninggalkan tempat itu.
Pada hari itu Jean telah mati, dan sekarang hanya ada Kim Seokjin yang harus bertahan hidup.
-남진-
"Wah, aku tak menyangka. Sekalinya ia menampakkan diri, dia justru menyatakan berhenti menulis."
"Ya, sebuah perpisahan yang sangat disayangkan." Pria dengan surai ash greynya itu mematikan siaran berita yang baru saja ditontonnya, kemudian perhatiannya kembali tertuju ke lembar-lembar kertas pekerjaannya.
"Padahal aku suka novel-novelnya."
"Ya, Hoseok. Aku tahu bahkan kau rela mengantri untuk mendapatkan novelnya."
"Hei, harusnya kau berterimakasih karena kau tak perlu ikut mengantri untuk mendapatkan novelnya!" Pria yang dipanggil Hoseok itu mencebik kesal pada sahabatnya yang hanya terkekeh menanggapi protesnya.
Well, melihat sahabatnya itu sedikit terlihat santai memunculkan sedikit rasa kelegaan di benaknya. Iya, hanya sedikit. Karena ia tahu, sahabatnya itu masih menyimpan rasa kekhawatiran dan kefrustasiannya sendiri.
"Hei, Namjoon." Hoseok beranjak dari kursinya dan menuju rak buku di dalam kantor Namjoon. Jemarinya menelusuri beberapa judul buku hingga akhirnya ia menemukan apa yang ia cari. Novel-novel karya Jean.
"Ya?"
"Bagaimana kabar Namsoon?"
Namjoon meletakkan berkas-berkasnya, tak tahu lagi harus menjawab pertanyaan itu seperti apa. Andai saja ia bisa melontarkan jawaban yang berbeda atas keadaan adiknya saat ini.
"Masih sama, tak ada perkembangan."
"Tak apa Joon, aku yakin Namsoon pasti akan baik-baik saja. Biar hari ini aku yang menjaganya untukmu." Jemarinya yang lentik itu kini telah menggenggam satu novel yang diinginkannya.
"Hari ini akan ku bacakan, seri novel kesukaannya." Hoseok mulai membuka-buka ke halaman random di novel itu. "Kalian ini kakak-adik yang aneh, seri favorit kalian justru seri paling menyeramkan dari novelnya."
"Hoseok, apa kau mendengar dirimu sendiri? Kau baru saja menghina dirimu sendiri."
"Yah, tapi kan tetap saja aku ketakutan saat membacanya!"
"Ya, dan kau membuat Jungkook kebingungan karena kau memintanya menemanimu tidur."
"Tidak usah dibahas lagi Joon!" Namjoon tergelak ketika sahabatnya itu sudah kalah, betapa mudahnya mengerjai sahabatnya ini.
Hoseok masih memainkan novel di tangannya, kesal pada sahabatnya yang kelihatannya bahagia sekali menertawakannya. Pergerakannya berhenti, ketika ia tak sengaja melihat sesuatu yang sangat familiar. Alisnya terangkat bingung ketika ia rasa ia pernah melihat sesuatu dari novel itu, rasanya ada yang familiar dari sebuah simbol yang merupakan pembatas dari setiap scene dari novel itu. Kedua maniknya melebar ketika ia teringat sesuatu.
"Namjoon-ah, aku tak tahu ini ada hubungannya atau tidak. Tapi lihatlah ini!"
Namjoon menerima nobel yang disodorkan Hoseok, sampai matanya menemukan sebuah simbol yang sangat familiar. Ankh. Egyptian symbol of immortality.
Simbol yang ditinggalkan pelaku penyerangan adiknya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankh [Namjin]
FanfictionSeokjin sudah cukup hidup dalam teror, dan ketika ia ingin meninggalkan segala sumber kegelisahannya, ia harus kembali terjun dalam teror yang mengintainya. Dan Namjoon akan melakukan segalanya untuk mengembalikan adiknya, jika itu berarti menyeret...