Bab1: Bara

178 16 21
                                    

Semilir angin lembut menyelinap melalui celah pendingin ruangan, membelai mesra pori-pori kulit seorang pria berpenampilan rapi dengan jas dan kemeja berdasi. Pria itu tengah duduk santai di meja kerjanya. Bara Rahmadia, seorang pebisnis top yang namanya terpandang di kalangan pengusaha ibukota, siang ini memilih menghabiskan jeda makan siang di ruangan kantornya yang megah dan dipenuhi sederet perabot berkelas.

Bara tengah asyik duduk malas di singgasana kebesarannya di sudut tenggara ruangan ketika enam guci raksasa bercorak gambar dewa-dewi kahyangan dari Tiongkok berjajar tegak di beberapa sudut lainnya. Dewa-dewi itu serupa makhluk penjaga yang mengawasi seluruh penjuru ruangan. Enam pasang mata sang dewa bak menatap curiga pada sepasang sofa mewah yang saling berhadap-hadapan di dinding timur ruangan, tak peduli sofa itu dalam kondisi kosong atau terisi oleh manusia.

Sementara itu, sebentuk lukisan raksasa bermotif Tembok Cina terpampang di dinding sebelah utara, nyaris tepat di hadapan singgasana sang Sri Baginda Bara Rahmadia. Dalam beberapa kesempatan di depan klien maupun rekanan bisnisnya, Bara memang kerap menyinggung makna filosofis dari lukisan tersebut. Konon, selain pengoleksi benda-benda seni bernapas Tiongkok, ia juga pengagum berat falsafah hidup orang-orang negeri tirai bambu, utamanya para pengusahanya yang tersohor memiliki etos kerja jempolan.

Bara sendiri saat ini memilih untuk melewatkan waktu istirahat makan siang. Bukan lantaran tak selera makan atau malas bepergian ke restoran, pria yang usianya telah merambah paruh baya itu sesungguhnya tengah menantikan kehadiran seseorang. Setengah jam yang lalu, salah seorang asisten pribadinya menelpon untuk mengonfirmasi kedatangan. Inti pembicaraan itu singkat. Sang asisten akan tiba dengan membawa informasi penting yang ingin disampaikannya secara langsung. Bara pun tak perlu sibuk menerka-nerka. Ia sudah cukup memahami informasi macam apa yang akan didengarnya dari mulut sang asisten.

Oleh sebab itulah, ketika perangkat telpon berdering, Bara tak perlu menanyakan kepada sekretarisnya perihal identitas sosok yang bakal menjadi tamu di ruangan kantornya.

"Suruh dia masuk," perintahnya pada sekretarisnya melalui ujung gagang telpon sebelum sang sekretaris sempat berbicara lebih banyak.

Tak lama usai merapatkan gagang telpon, Bara memindahkan pantatnya dari singgasana ke kursi sofa. Cara seperti ini biasa dilakukannya untuk membuat dirinya merasa rileks. Kendatipun tamu yang bakal disambutnya kali ini bukan tergolong tamu agung, laiknya pejabat kementerian ataupun anggota dewan, ia tetap merasa perlu membawa diri agar tak terlihat tegang di hadapan orang lain.

Dua ketukan halus yang terdengar dari arah luar pintu masuk disambut Bara dengan instruksi khasnya. "Masuk."

Saat pintu ruangan menganga perlahan, tampak sosok pemuda berkemeja cerah dan bercelana bahan warna hitam melangkah ringan memasuki ruangan. Meski terbalut pakaian resmi yang tergolong cukup rapi, pemuda itu membiarkan rambutnya yang berombak terombang-ambing oleh setiap getaran langkahnya. Sang tamu yang dinanti-nantikan, yang tak lain asisten pribadinya, akhirnya tiba.

"Ah, Rayan. Duduklah," Bara berucap sambil menyilangkan kaki. "Semuanya baik-baik saja?"

Sang asisten yang dipanggil dengan nama Rayan membenamkan punggungnya tepat di hadapan tuan besarnya. "Sangat baik, Pak. Semuanya berjalan sesuai rencana."

"Kamu sudah menemui mereka? Apa ada yang menolak?" Tangan sang tuan besar sibuk menelanjangi sebutir permen jahe sebelum melemparkan benda itu masuk ke dalam rongga mulutnya.

"Seperti yang saya bilang tadi. Semuanya sudah ada dalam kendali kita, Pak."

Diawali dengan suara deham, Bara kembali menginterogasi Rayan, asistennya. "Jadi, kapan saya bisa menemui mereka?"

"Kalau Pak Bara ada waktu besok, saya akan atur jadwalnya. Mereka sudah mengutarakan kesiapan kapanpun dibutuhkan."

"Baiklah. Atur segera pertemuan saya dengan mereka. Tidak di kantor ini. Kita butuh tempat lain."

Sang asisten mengangguk. "Baik, Pak."

"Itu saja?"

"Sebenarnya ada satu lagi yang perlu saya informasikan."

Sepintas Rayan tampak berupaya menjeda ucapannya selama beberapa detik. Akibatnya, raut tampang atasannya pun dibuat berkerut penasaran karenanya.

"Lalu? Tunggu apa lagi?" desak Bara dengan mimik muka tidak sabar.

"Mmmm... ini tentang target kita, Pak."

"Ada apa dengan anak itu?"

"Sejujurnya saya belum menemukan lokasi yang cocok untuk menyembunyikan target nantinya. Saya mohon maaf atas kinerja saya yang lambat, Pak. Saya sedang berusaha mencari lokasi dengan letak sejauh mungkin dari ibukota. Saya belum punya pandangan soal itu. Maaf, Pak, saya mohon maaf."

Rayan mendadak gugup. Kepalanya tertunduk usai menuntaskan ucapannya. Ada raut penyesalan yang menggelayuti keningnya. Barangkali lantaran ia merasa tidak bekerja secara maksimal. Barangkali pula ia sekadar merasa takut bakal menjadi sasaran amarah sang tuan besar.

Tetapi, selang beberapa detik selepas mendengar penjelasan dari asistennya, apa yang terjadi justru berbanding terbalik. Bara yang diprediksi bakal murka malah terkikik riang. Rayan yang keheranan mendapati reaksi tak terduga dari sang tuan besar pun terdiam dengan mulut menganga.

"Itu persoalan mudah, Rayan. Kamu tidak perlu memikirkan hal itu. Urus saja jagoan-jagoanmu itu. Soal lokasi, saya sudah punya gambaran."

Masih dipayungi rasa gugup, Rayan mencoba merespons sekenanya. "Oohh, begitu ya, Pak? Saya pikir...."

Belum sempat Rayan mengatasi kegugupannya, tawa sang tuan besar buru-buru meledak tak tertahankan. Suara tawa itu menggema selama beberapa saat di seantero ruangan seolah-olah sang empunya suara sedang asyik menonton pagelaran komedi.

"Maaf, Pak. Kalau saya boleh tahu, di mana lokasi itu?"

Sembari membereskan sisa-sisa tawanya, Bara coba menanggapi rasa penasaran asistennya. "Tempatnya tidak jauh dari perbatasan ibukota. Saya punya sebuah rumah villa yang letaknya jauh dari pusat keramaian."

"Mohon maaf sebelumnya, Pak. Tapi, walaupun jauh dari keramaian, kalau letaknya masih bisa dijangkau dari ibukota dalam waktu yang singkat, apa itu tidak beresiko, Pak?"

"Saya belum selesai bercerita, Nak." Rayan yang tadinya gusar pun akhirnya berusaha menyimak takzim. Ia paham benar, sebagai pelaku bisnis, tuan besarnya itu selalu punya sederet rencana yang tak terduga. "Villa itu saya beli 10 tahun yang lalu dari seorang jenderal purnawirawan. Di bawah bangunan villa itu, ada fasilitas persembunyian yang cukup memadai."

"Semacam bunker?"

Sang tuan tak menanggapi dengan lisan, melainkan cukup dengan isyarat senyum dan gerakan mengangguk. Sementara Rayan kembali tercenung dengan nganga mulut yang kian melebar, hanyut di antara perasaan takjub dan penasaran. Dua pria yang saling bercakap itu lalu menggelar keheningan di bawah pengawasan enam sosok dewa-dewi Tiongkok yang mengitari penjuru ruangan. Tatapan dewa-dewi kahyangan itu tetap tak berubah, senantiasa menaruh curiga dan waspada.

***




SekapWhere stories live. Discover now