Hitam dan Putih

140 12 8
                                    

Kelopak mata pria berseragam petugas keamanan itu perlahan terbuka. Dalam kurun waktu yang tak terlalu lama, kesadarannya pulih, segera setelah ia terusik aroma yang menusuk indra penciumannya. Ia pun langsung bereaksi ketika secarik kain tiba-tiba membekap mulut dan hidungnya. Sadar tengah berada dalam situasi yang sangat serius, ia pun berupaya meronta, meski hasilnya sia-sia belaka. Sebelum ia sempat mengerahkan seluruh tenaganya untuk berontak, sebilah belati tiba-tiba menembus kulit lehernya, melesap, dan menikam telak urat tenggorokannya. Bersamaan dengan itu, terdengar suara pekik yang tertahan dari mulutnya.

Dalam hitungan detik, tubuh sang petugas keamanan terjerembap. Sementara, belati yang menghancurkan pita suaranya tak ikut tersungkur bersama tubuhnya. Kuatnya cengkraman tangan yang menggenggam gagang belati itu sudah cukup mampu meloloskan bagian ujungnya yang tajam. Tatkala sang petugas keamanan ambruk meregang nyawa, tampaklah sesosok pria berbadan jangkung nan kekar yang sejak awal memang sudah berdiri di belakangnya.

Si pria jangkung menatap dingin tubuh sang petugas keamanan yang telah menemui ajal. Sembari mengelap ujung belati yang kini telah berada dalam genggamannya, ia mengamati keadaan sekitar. Sejauh netranya memandang, yang nampak adalah dinding-dinding ruangan dengan tata interior modern, mewah, nan berkelas. Sementara, pemandangan yang kontras justru terjadi di lantai ruangan itu. Batu-batu keramik yang sejatinya berwarna cerah telah dibanjiri cairan merah pekat. Di sekitarnya, tak kurang enam jasad manusia berseragam keamanan terbujur kaku dengan luka tusuk di bagian leher mereka. Sejurus kemudian, si pria jangkung mendengus sinis, sebelum mengalihkan pandangan ke arah sudut ruangan.

Di sudut ruangan itu, berdiri sesosok gadis. Dari gestur tubuhnya yang gemetaran, sangat kentara ia sedang dilanda ketakutan. Jari-jari lentik yang sibuk menutupi wajah dan lensa kacamatanya bergetar tak karuan. Menyaksikan pemandangan mengerikan yang baru saja berlangsung di depan matanya, gadis manapun takkan merasa nyaman. Meski demikian, tak perlu waktu lama baginya untuk menghimpun secercah keberanian. Jemari yang menghalangi pandangannya pun turun perlahan. Maka, terlihatlah parasnya yang anggun dan rupawan. Namun, seketika itu pula, kulit mukanya yang putih bersih langsung memucat.

"Toilet! Aku mau ke toilet!" tuturnya, seraya membekap mulutnya, seakan berupaya menahan sesuatu yang hendak merangsek keluar dari kerongkongannya. Dengan langkah yang tergesa-gesa, ia menghambur menuju kamar mandi.

"Menurutmu, berapa lama lagi orang-orang kebersihan suruhan Jingga akan tiba di tempat ini?" Si pria jangkung melengkingkan suara demi menembus dinding penyekat kamar mandi.

"Tidak tahu. Itu bukan urusanku." Dari dalam kamar mandi, si gadis menjeda ucapannya dengan suara muntahan. "Itu tugas kalian, para pria. Tugasku hanya mengacaukan sistem keamanan di apartemen ini."

Sejenak si pria jangkung mengatur napasnya. Dengan ekspresi lesu, ia meninggalkan ruangan yang disesaki jasad-jasad manusia, beralih menuju sepetak kamar tidur yang berada di ujung ruangan. Diakhiri dengan dengus lepas, ia merebahkan tulang ekornya di atas ranjang. Sebilah belati yang semula digenggamnya erat kemudian ditaruhnya di atas meja kecil di samping ranjang. Tangannya lalu bergerak tenang mengambil seperangkat walkie-talkie dari dalam laci meja itu.

"Situasi aman terkendali. Segera masuk dan jemput target sekarang juga." Si jangkung berbicara melalui perangkat walkie-talkie.

"Copied!" balas suara dari ujung walkie-talkie, singkat.

Dengan gerakan yang setenang aliran air, si pria jangkung segera memutus sambungan komunikasi. Serta merta, ia melepaskan genggamannya pada walkie-talkie sehingga perangkat komunikasi itu jatuh berserakan di permukaan lantai. Tak berhenti sampai di situ, si pria jangkung langsung mengarahkan pijakan kakinya untuk menghancurkan benda itu. Setelah memastikan perangkat walkie-talkie tak lagi berfungsi, ia segera membereskan pecahan-pecahan benda itu dan melemparkannya ke luar jendela. Sempat termangu sejenak di sisi jendela, si pria jangkung tersadar bahwa si gadis yang telah selesai mengatasi rasa mual tahu-tahu sudah berdiri di depan pintu kamar, menatapnya dengan senyum tipis di separuh bibirnya.

"Kenapa harus ada korban jiwa?" Suara sang gadis mengalun lembut.

Diawali dengan senyum simpul, si pria jangkung berujar, "Korban jiwa? Dalam misi seperti ini?" Ia mengisi jeda perkataannya dengan dengusan sinis, sementara pandangannya beralih ke arah luar jendela. "Kau tahu berapa banyak orang yang mati karena misi kemanusiaan sekalipun? Berapa banyak yang mati dalam setiap aksi penangkapan teroris? Kalau misi mulia yang mengatasnamakan negara saja bisa menelan korban jiwa, apa yang kau harapkan pada misi ini, Putih?"

Gadis yang disapa dengan panggilan 'Putih' sempat tertegun sebelum kemudian melangkah pelan menghampiri si pria jangkung. Dengan lembut, ia menaruh telapak tangannya di atas pundak pria itu. Sementara si jangkung justru memilih untuk tak merespons sentuhan sang gadis. Merasa tak ditanggapi dengan semestinya, si gadis pun menyusupkan kedua lengannya pada liang ketiak si jangkung, lalu mendekap tubuh kekar pria itu dari arah belakang. Kepalanya bersandar manja pada punggung si jangkung yang bidang.

"Hitam, aku mengerti keadaanmu. Tidak mudah melepaskan diri dari masa lalu yang kelam. Tapi, tidak ada salahnya membuka lembaran baru, bukan?"

Si jangkung yang dipanggil dengan nama 'Hitam' hanya melirik sejenak. Selepas itu, pandangannya kembali menerawang kegelapan melalui jendela kamar. Garis wajahnya yang keras dan cenderung angkuh itu tak lantas memudar. Namun, siapa yang sanggup bertahan menghadapi sentuhan lembut seorang wanita? Bagaimanapun juga, si jangkung tak akan menampik, dadanya diam-diam bergejolak dahsyat. Gejolak itu pulalah yang perlahan mengikis harga dirinya sebagai seorang pria. Senyum sinis yang beberapa saat lalu disunggingnya dengan bangga, dalam sekejap, sudah berganti menjadi senyuman tulus yang sarat makna.

"Setelah semua ini selesai, apakah ada kemungkinan kita akan bertemu lagi?"

Di balik punggung, Putih tersenyum manja. "Tanyakan saja pada dirimu sendiri. Kira-kira apa kamu masih mau bertemu denganku lagi?"

"Menurutmu?" timpal Hitam, seraya melirik Putih yang kian mengencangkan lilitan lengan di punggungnya.

"Aku takut kamu tidak mau menerimaku begitu kamu tahu identitasku yang sebenarnya. Kamu perlu tahu, bukan cuma kamu saja yang pernah mengalami masa lalu yang kelam."

"Baiklah, kalau begitu. Anggap saja kita bernasib sama di masa lalu...."

"Dan ditakdirkan untuk hidup bersama?" sahut Putih, sebelum Hitam benar-benar menuntaskan kalimatnya.

Seketika, gejolak di dada Hitam menjadi semakin tak menentu. Ada rasa nyaman yang bersenyawa dengan segelintir keraguan, juga setitik kecurigaan. Seorang gadis yang usianya masih tergolong muda, dan cantik pula, umumnya lebih mengutamakan faktor ketampanan dan kemapanan untuk persoalan menentukan pasangan. Sementara Hitam merasa tidak memiliki kedua faktor itu, sehingga bukan tanpa alasan apabila ia bersikukuh menaruh kewaspadaan terhadap gadis yang saat ini tengah asyik menggelayuti punggungnya.

"Nasib macam apa yang menimpamu di masa lalu, sehingga membuatmu hilang akal dan mengutarakan pertanyaan itu pada laki-laki semacamku?"

"Kamu akan segera tahu nanti," pungkas Putih, seraya mempererat dekapannya. "Segera setelah semua ini berakhir."

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 10, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SekapWhere stories live. Discover now