Aku Mila, Bukan Milea

794 6 1
                                    

Januari 2018. Kami duduk berhadapan, di kafe kosong di pinggiran kota kecil bagian selatan Propinsi Jawa Timur. Hanya kami dan beberapa pelayan yang mondar mandir. Sudah tiga jam, tapi bersamanya tak terasa ada jeda. Tak ada spasi hening hanya detik yang berlalu dengan tawa. Sesekali para pelayan memberi kode bahwa kami sudah duduk terlalu lama. Kami duduk di meja besar, ada enam kursi di sana, empat lainnya kosong. Tapi apa masalahnya? toh kafe itu sepi. Empat jam sejak senyum pertama terkembang siang tadi, kami beranjak. Bukan karena diusir pelayan kafe, tapi karena sudah maghrib. Waktunya mengakhiri tawa, yang entah apakah akan dimulai lagi. Namanya Senja. Saat ini takdir membawa kami untuk saling sendiri, di jarak geografis hampir seribu kilometer yang tak ingin kami salahkan.
Parkiran ada di belakang kafe, kami berjalan beriringan. Senja menyodorkan sesuatu. Sebuah novel, warna biru, bergambar anak laki-laki berseragam SMA dan sepeda motor tua. Dilan 1990. Saat ini, siapa yang tak tahu novel itu? ketika semua media, penulis konten dan social influencer lainnya secara kompak mengutip gombalan tokoh fiksi SMA yang legendaris itu. Aku tak begitu yakin mengapa ia memberikanku novel cinta remaja 90an ini. Yang aku tahu, bersamanya memang telah membuatku merasakan energi masa muda. Masa ketika pada umumnya, hati para remaja berbunga-bunga dengan cinta wajar yang sederhana.Januari 2007. Kami dekat secara geografis, bersekolah di area yang sama tapi kami berseragam beda. Ia berseragam hijau dan aku berseragam merah marun. Di sekolahku tak ada Dilan, setidaknya tak pernah ada tokoh yang mendekati karakter Dilan. Tapi banyak Milea, setidaknya mendekati karakter Milea. Terutama di kelasku. Kelasku, paling sedikit muridnya diantara semua kelas di sekolah itu. 30 orang, perempuan semua. 80 persen berambut lurus, hasil rebonding salon. 90% berwajah putih entah dengan krim apa tapi terlihat cantik dan segar. Tidak beda jauh dengan warna kulit bagian tubuh lainnya. Kelas lain menyebut kelasku adalah kumpulan perempuan cantik populer. Tak hanya di seantero sekolah yang sama, tapi juga terkenal di sekolah lain di satu kawasan itu.
Ukuran popularitas di sini cukup sederhana. Contohnya, terpilih menjadi pasukan pawai hari kemerdekaan, atau lomba baris kreasi, atau lomba sepeda hias, atau pasukan pengibar bendera merah putih di upacara bendera yang dihadiri Bapak Bupati, tampil menyanyi di acara kolaborasi sekolah, atau menjadi Ketua OSIS, atau pacaran dengan guru, atau sekedar memiliki paras cantik. Mereka yang cantik dan populer sering disebutkan namanya di radio kesayangan, dengan salam beraneka gombalan dan kata mutiara dari orang yang namanya disamarkan, kemudian dikirimi lagu romantis yang sedang hits. Mendapat kejutan di hari ulangtahunnya oleh segerombol pemuda pemudi, dan wajahnya dihafal oleh pelayan kafe tempat nongkrong remaja atau penyiar radio yang sering dititipi kertas formulir "atensi" dari pendengar yang menjadi penggemarnya. Tapi jangan salah, walaupun persentasenya sangat kecil, sekitar enam persen dari total penghuni kelas, ada golongan gadis culun, berwajah gelap mengkilat dan rambut bergelombang alami. Mereka juga cukup dikenal, walaupun tak setenar golongan pertama. Namanya beberapa kali disebutkan di upacara bendera hari Senin, sebagai pemenang lomba keahlian jurusan, bersama dengan beberapa orang dengan tipikal sama culunnya. Tapi popularitas golongan ke dua ini hanya sampai di sini, nama mereka akan dilupakan ketika upacara bendera hari Senin telah berakhir. Semoga tidak terjadi lagi saat ini, tapi polarisasi tipe popularitas memang sangat terlihat saat itu.Sekolahku bukan sekolah unggulan di Kabupaten kecil ini. Pun tidak terlalu besar secara fisik. Gerbangnya menghadap utara, ke arah pemukiman warga. Depan gerbang hanyalah jalan kecil yang dilewati beberapa angkutan pedesaan. Seberang jalan ada toko kelontong yang juga menyediakan jasa fotokopi dan wartel, serta warung makanan. Warung makanan itu memiliki pagar setinggi satu meter, pagar tembok pendek. Pas untuk tempat duduk-duduk anak-anak sepulang sekolah, atau saat bolos sekalipun. Di sana, tak pernah sepi dengan para siswa berseragam aneka rupa. Duduk berjajar rapat sepanjang pagar dari barat ke timur, penuh. Sebagian yang tak mendapat posisi strategis ini duduk di teras warung makan yang masih kuingat warna lantainya. Hijau botol. Posisi ini sesungguhnya kurang diminati. Bagaikan rak display dagangan toko yang terlalu belakang dan tinggi melebihi 2 meter. Tak mendapatkan kesempatan ekspos yang cukup untuk dilihat calon pembeli. Apadaya, siapa cepat, ia dapat posisi strategis. Beberapa yang sepeda motornya bagus, terutama merek Ninja yang sedang digandrungi, lengkap dengan aksesoris helm KYT full face memarkir motornya di depan pagar, persis di pinggir jalan, mendudukinya dengan lagak pose Valentino Rossi di iklan oli, dengan helm ditenteng di bawah ketiak. Merekalah barisan para Grandong, begitu guru BK kami menyebutnya. Anak STM orang-orang dulu menyebutnya, anak SMK kelompok Teknik. Kalau kamu tak ingat, biar kuingatkan. Tahun 2005 an ada sinetron kolosal berjudul "Misteri Gunung Merapi" dengan tokoh utama karakter nenek sakti antagonis "Mak Lampir". Grandong adalah cucu Mak Lampir yang tidak kalah sakti dan brutal. Begitu mereka disebut. Golongan siswa SMK Teknik pengendara motor yang hobi bolos sekolah, tawuran dan melanggar aturan, namun memiliki banyak penggemar. Mungkin beberapa diantaranya berotak cerdas dan unik juga, seperti Dilan. Dan benar, mereka menunggu para "Milea" keluar dari gerbang sekolahnya dengan ekspresi cuek-manja-malu-kesal-senang. Para siswi sekolahku. Aku sekolah di SMK kelompok Bisnis Manajemen, orang jaman dulu menyebutnya SMEA.
Tapi diantara para Grandong itu tak ada yang berseragam hijau. Grandong berseragam beraneka warna: abu-abu putih seperti umumnya, biru tua, biru muda, batik cokelat, batik biru, pramuka, warna oranye atau kotak-kotak. Tapi tak pernah ada seragam seperti seragamnya. Padahal jarak sekolah kami hanya beberapa ratus meter, semua sekolah itu berada di satu lokasi serumpun. Senja sekolah di SMA. SMA negeri unggulan nomor satu di kabupaten kecil kami. Tempat bersekolahnya anak-anak kelas atas. Sekolah kami berbeda kasta, setidaknya untuk pemikiran orang-orang di sini, pada masa itu.
Sekali jam pulang berbunyi, para Grandong bersiap diri, entah menampilkan penampilan terganteng, ter-cool atau semacamnya. Memasang konsentrasi penuh ke gerbang di seberang mereka mangkal. Menunggu barisan siswi SMK bermotor bebek dengan helm KYT standar yang entah baru diseleksi seketika itu, atau sudah diincar berminggu-minggu sebelumnya. Terkadang, kaca helm siswi-siswi ini diganti dengan kaca film pelangi, menutupi wajahnya untuk menampakkan kesan misterius. Memperlihatkan ujung rambut panjang rebonding yang lurus tanpa cela. Memakai jaket Billabong warna-warni atau blazer dengan kantong berdetail rumbai atau lipit-lipit kecil. Entah pengetahuan fashionku yang sempit atau terlalu proletar, tapi memang saat itu yang aku ingat, orang lebih mengenal Billabong seakan-akan jenis desain jaket tertentu, bukan merek produk fashion.
Seketika para Grandong ikut menstarter motornya, membuntuti target seperti saat Dilan meramal akan bertemu Milea di kantin. Di sini scene nya agak berbeda. Cewek-cewek incaran juga bersepeda motor, cuek dan kadang ngebut. Kebanyakan seperti itu ekspresi awalnya. Entah punya firasat kalau si Grandong itu berwajah jelek -karena tertutup helm full face- atau hanya siasat agar dikejar.
Dulu, saat itu, aku tak pernah menyangka jarak tiga ratus meter dari situ, ada anak berseragam hijau yang hari ini bisa membuatku tak berhenti tertawa berjam jam hanya dengan lelucon yang bahkan sering garing. Aku tak tahu, bagaimana dulu ia di sana. Di sekolah yang dekat itu. Apakah ia dulu selucu ini? Apakah ia dulu memperjuangkan seseorang sedemikian kukuh seperti Dilan memperjuangkan Milea?Tahun selanjutnya kami terpisah jarak. Kami sama-sama meninggalkan kota kelahiran kami. Dia di bagian barat pulau Jawa, dan aku masih di daerah timur, agak ke utara. Tapi toh apa bedanya? Kami tidak pernah saling mengenal. Kami tumbuh dengan minat yang cukup berbeda, yang tentu baru akhir-akhir ini aku ketahui. Entah di sana dia bertemu siapa, jatuh cinta dengan siapa, bagaimana kisahnya, aku tidak tahu. Seperti dia juga dulu tidak tahu kisahku bersama Fajar. Laki-laki yang ternyata tak jauh dari dia. Fajar, pacar pertamaku adalah alumni SMK Teknik yang kemudian satu kampus denganku. Yang baru aku tahu ternyata Fajar adalah kakak kelas Senja saat SMP. Dunia sempit. Tapi bukan itu pelajaran yang kuambil. Toh, aku juga masih belum mengenal Senja, hingga Tuhan menuliskan kisah bahwa pacar pertamaku bukanlah jodohku. Aku dan Fajar tak tertakdir bersama. Aku tak menyebut ini penyesalan karena aku memang sama sekali tidak menyesal dengan takdir. Tapi hadirnya Senja membuatku belajar. Belajar menjadi dewasa. Tidak melabeli gaya pacaran Dilan Milea sebagai aksi remaja kekanakan yang klise dan remeh. Pelajaran yang membuatku melihat perjuangan tulus Fajar sebagai hal yang patut diapresiasi. Dulu, aku menganggap segala pertolongan Fajar saat aku menjadi mahasiswa baru adalah hal biasa. Aku menerima bunga krisan yang selalu dia antar di depan pintu kos dengan tatapan "ha? apaan sih ini? picisan banget". Memperlakukan lelucon gombalnya dengan ekspresi "gombal banget ih" tanpa senyum. Dan sebisa mungkin menghindari ajakan dia untuk makan bersama jika hanya berdua. Dulu bagiku, tidak jatuh cinta sama dengan menghindarkan diri dari patah hati yang tidak perlu. Berani mencintai, berarti berani menghadapi perihnya patah hati. Saat itu aku memang egois dan penakut. Aku tidak berani patah hati, maka aku juga tak berani jatuh cinta, walaupun aku terima Fajar sebagai pacar pertamaku. Dulu pikirku, aku hanya butuh satu pengalaman pacaran, untuk sekedar merasakan "pernah pacaran" tanpa menikmati perasaan gembiranya jatuh cinta. Sekarang, baru-baru ini, setelah aku bertemu Senja, aku baru tersadar, bahwa perempuan sepertikupun ternyata pernah diperjuangkan dengan tulus, layaknya Milea yang cantik itu.Aku Mila, bukan Milea. Salah satu dari golongan minoritas 6% di kelas para gadis cantik populer. Mila yang tak memiliki helm KYT, tak pernah membawa sepeda motor sendiri ke sekolah, tak memiliki wajah putih berseri dan memiliki rambut klimis bergelombang alami, tak direbonding. Seorang culun yang canggung, yang namanya beberapa kali disebut di upacara bendera sebagai pemenang lomba kompetensi SMK, yang tak pernah pacaran saat berseragam abu-abu putih karena menganggap hal itu tak penting dan tak pernah keluar sekedar hang out bersama teman sekolah. Tak pernah dilirik, dikenal, apalagi didekati para Grandong pangkalan. Dan tentunya tak pernah nongkrong gaul di kafe kebanggaan remaja lokal atau sekedar bersepeda motor menyambangi markas radio favorit.Dan Senja bukanlah Dilan. Dia tidak nakal, tidak terkenal, tidak ikut cerdas cermat dan tidak pandai menggombal. Dia laki-laki biasa saja, yang taat aturan dan tidak menonjol. Ia selalu memakai helm saat mengendarai motornya. Dan mungkin kau perlu tahu, sepeda motornya skuter matic, bukan sepeda motor gagah seperti milik Dilan. Tapi dia lucu. Setidaknya untuk aku, yang tak pernah berhenti tertawa saat kami bertemu. Senja mampu membuatku melakukan hal yang sebenarnya juga biasa saja, namun tak biasa kulakukan sebelumnya. Ia membuatku naik sepeda motor sendiri ke kota. Menemuinya di toko swalayan lokal, menerima ajakan dia untuk nonton film di bioskop satu-satunya di kota kecil ini. Mau ditraktir makan di restoran franchise Amerika yang baru dibuka belum lama ini. Semua itu, hanya berdua saja. Gaya anak SMA. Tahun 2018 ini, tentu kami bukan lagi remaja, tapi ternyata hal-hal kecil anak SMA ini bisa membuat hatiku hangat. Tertawa lepas, bercerita panjang berjam jam sampai maghrib tiba.

Mungkin ini maksud Senja memberiku buku bernuansa anak SMA dengan alur cerita cinta sederhana yang manis, namun tak berakhir bersama. Dia berhasil membuatku bahagia. Membuatku melakukan hal yang berbeda dan asing untukku di masa lalu. Bagaimana jadinya seandainya aku bertemu dengannya jauh sebelum hari ini. Saat kami masih seusia Dilan tahun 1990. Saat kami masih bersekolah di area sekolah yang sama, di kota kelahiran kami. Mungkin aku akan lebih terbuka dari dulu. Tidak canggung, dingin, kaku dan cuek. Tapi kupikir beginilah pelajaran terbaik dari alam. Senja datang setelah sejuknya fajar berlalu begitu lama. Ia datang seperti senja jingga di langit merah muda di musim hujan. Indah, namun sekejap. Setelah langit gelap, tak ada lagi yang bisa menjamin apakah ia akan datang lagi di kemudian hari. Tapi hari ini, aku berani menikmati indahnya senja. Aku tak takut ia akan hilang sebentar lagi. Karena aku telah memiliki keberanian untuk menghadapi fajar keesokan harinya. Aku berani tersenyum, sore ini, dengan bahagia. Bahwa perpisahan dan cinta tak harus dimaknai sama dengan patah hati. Terimakasih, Senja! Kau adalah senyum terindah sepanjang hariku. Sampai kita bertemu lagi, semoga kau baik-baik saja.

Aku Mila, Bukan MileaWhere stories live. Discover now