Aku Mila, Bukan Milea (2)

149 1 0
                                    

~Kini berpisah sayang, semoga kita bahagia~

Dilan 1991 sedang tayang di bioskop. Sudah seminggu lebih. Tapi kau tidak seperti dulu. Kau diam kali ini. Aku tahu ada yang berbeda diantara kita. Pada canda, tawa dan bahasa mata yang dulu bisa kita terjemahkan menjadi endorphine. Desember 2018 kita bertemu lagi setelah perpisahan menjelang senja setahun yang lalu. Aku tahu, kita sudah terbiasa dengan jarak. Ratusan bahkan ribuan kilometer jarak yang selalu memisahkan kita sejak pertemuan tidak sengaja kita sekian tahun lalu.

Tahun ini, tentu kita masih terpisah jarak ratusan kilometer. Kau tetap di rantaumu, dan kini akupun sudah meninggalkan kampung halaman kita. Tapi, takdir tidak menjadikan rantau kita satu. Desember 2018 kau datang ke rantauku. Aku bahagia, walaupun aku tahu kedatanganmu bukan semata untuk mengunjungiku. Tapi apa pengtingnya itu semua? yang penting kau datang.

Kita bertemu di sebuah pusat perbelanjaan, tak jauh dari tempat tinggalku. Satu tahun ternyata tidak membuat sikapku berubah kepadamu. Dua jam sebelum bertemu, badan mulai terasa tidak seperti biasa. Sebuah campuran antara bahagianya sebuah pertemuan langka sekaligus juga potensi kesedihan karena perpisahan yang membuntutinya.

"aku jalan dari hotel ke mall" kubaca chat nya dengan degub jantung layaknya atlet setelah bertanding.

"oke, aku pesan gojek dulu" aku tersenyum syukur karena pesan chat tidak menampilkan mataku yang berbinar saat memalas pesannya.

Hanya perlu sepuluh menit perjalanan dari tempat tinggalku ke pusat perbelanjaan dekat salah satu stasiun kota terbesar ke dua di Indonesia ini. Kami janji bertemu di food court lantai 4. Dari tangga berjalan, aku dengan mudah mengenalinya dari belakang. Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, ia memakai pakaian casualnya, celana jeans, kaos bertema adventure, topi warna abu-abu dan sandal gunung hitam.

"Hey, belum lama kan?" aku menyapa setelah beberapa menit menatap punggungnya.

"eh, udah lama lah" ia tertawa, lebar seperti biasanya. Tapi, aku melihat mata yang berbeda. Matanya, tidak tertawa, kali ini. Senja, apakah kau tetap Senja yang kutemui setahun lalu?

Aku duduk di depannya. Kami mulai berbicara, bercerita tentang kabar masing-masing, dan tertawa tentang berbagai hal. Kali ini dia lebih banyak bicara, menceritakan tentang pengalamannya dengan ibu menteri, tentang rekan kerjanya yang hebat dan kolega-kolega perempuannya yang merupakan alpha women. Aku tersenyum melihat matanya yang berbinar setiap satu kata yang muncul. Ia terlihat bangga. Aku melihat semangat dan mimpi yang berkobar. Mimpi mimpi dan pencapaian kami yang berbeda, entah apakah bisa diarahkan agar lebih dekat jalannya. Aku merasa ada sepotong tema percakapan yang hilang. Ada canda tentang hal remeh yang tak lagi kudengar. Tak ada lagi percakapan tentang rasa seperti percakapan kita sebelumnya. Dan aku yakin, kami sama-sama merasakannya, walaupun tak terucapkan oleh kata.

Hanya dua jam. Perpisahan setahun hanya dibalas dengan pertemuan dua jam saja. Sekali lagi, pertemuanku dengan Senja dipisahkan oleh datangnya senja. Kami berjalan menuju main entrance, tempat kami memesan ojek online.

"Keretaku jam 7, sebelum itu aku harus ketemu Dewi sebentar, LO IMF Summit yang aku cerita tadi"

"Oh. Ok. Ketemu dimana?"

"Di stasiun"

"Oh. Ok. Aku tunggu sampai driver ojol nya datang" aku berusaha menunda perpisahan.

"Kenapa gitu? kamu pesan juga aja sekarang" timpalnya

"Gak apa apa. Nanti aja. Kita tak tahu kan kapan bertemu lagi" aku berusaha keras menyembunyikan emosi kesedihan.

"Kita akan bertemu lagi" dia tersenyum tapi matanya menunjukkan kesedihan. Mataku menangkap itu dengan sedikit harapan sekaligus pertanyaan: apakah dia juga sesedih aku?

"Di belahan bumi yang lain?" tanyaku

"Tanah kelahiran kita juga merupakan belahan bumi yang berbeda dari yang kita pijak saat ini."

Aku hanya tersenyum dan sedikit mengangguk.

"Cepat kamu pesan ojol nya. Aku udah dapat nih, semenit lagi nyampe" tambahnya.

"Kamu duluan aja" kataku

"Udah cepetan! Tadi kan kamu bilang mau ngerjain laporan? Cepet pulang gih!" Dia memaksa tapi aku bergeming. Beberapa saat kulihat sebuah mobil menjemputnya.

"mas Senja?" kata driver ojol yang dijawabnya dengan mengangguk, kemudian menatapku dengan pandangan yang sama sekali tidak bisa aku interpretasikan.

"Laporan dan kerjaanku selalu datang setiap saat, tapi kamu enggak. Aku ingin melihat sampai kau menghilang di keramaian" aku berkata lirih tapi aku yakin cukup bisa terdengar olehnya yang menatap lekat.

"Hati-hati!" dia berkata tanpa senyum, melangkah naik ke mobil dan menutup pintunya. Mobil ojek online melaju keluar dari halaman mall dan menghilang di keramaian jalanan ibu kota sebuah propinsi di pulau Jawa.

Begitulah perpisahan itu terjadi, lagi. Dengancepat dan tetap meninggalkan banyak tanya. Seberapapun sedikitnya aku berharapkepada manusia, perpisahan ternyata tetap mampu membuat hati retak walaupuntelah berulang kali terjadi. Begitulah hidup, begitulah alam semesta. Senja takselalu indah, terkadang jingganya tertutup mendung kelabu yangmenenggelamkannya pada gelap malam. Senjaku kali ini berawan abu tipis,gerimis. Pertemuan kali ini tidak ada percakapan tentang Dilan dan Milea. Toh,apa bedanya? Dilan dan Milea putus di film Dilan 1991. Dilan dan Milea juga bersedih.Dari sepanjang perjalanan cinta mereka, Dilan dan Milea tentu layak bersedihketika berpisah. Lalu bagaimana dengan kami? Aku? Aku Mila, bukan Milea.Bolehkah aku merasa kehilangan ketika aku tidak pernah sedikitpun memilikinya?

Aku Mila, Bukan MileaWhere stories live. Discover now