Tiga

110K 16.6K 689
                                    

Jangan dihiraukan orang yang nanyain kapan nikah, santai aja.
Ngomong itu mudah, coba sini kita tukar posisi.
-Karamina-


Kara pernah menjalin hubungan yang serius, dulu sekali dengan pria bernama Erwin. Usianya lebih tua dari Kara satu tahun. Erwin bekerja di salah satu perusahaan BUMN saat mereka pacaran. Saat itu Kara masih bekerja sebagai sekretaris. Erwin satu-satunya pacar Kara yang menurut Kara paling potensial untuk diajak berumah tangga, pria itu sudah mapan, punya wajah yang tampan pula.  Harus Kara akui, hari-harinya bersama Erwin adalah saat-saat paling indah. Seperti kebanyakan pasangan lain, mereka memang sering bertengkar, tapi tidak pernah bertengkar hebat. Erwin dewasa, dia selalu mengalah pada Kara yang dulu masih labil, walau sampai sekarang Kara juga masih tetap labil.

Saat itu umur Kara 28 tahun, mereka sudah merencanakan pernikahan. Bahkan Erwin dan Kara sudah memiliki tabungan atas nama mereka berdua. Setiap bulannya, Kara dan Erwin akan menyisihkan dana untuk dimasukkan ke tabungan mereka itu. Untuk biaya pernikahan, syukur-syukur kalau isinya banyak dan bisa mereka gunakan untuk membeli perlengkapan rumah. Saat tabungan mereka sudah cukup, Erwin melamarnya, di sebuah cafe di Braga, menyanyikan lagu Janji Suci yang walau terdengar false tapi sanggup membuat Kara meleleh. Sejak saat itu Kara tidak bisa berpaling lagi dari Erwin, angan-angan kebahagian kehidupan rumah tangga mereka, terlihat jelas di depan mata.

Erwin dan Kara kebetulan sudah punya rumah sendiri. Kalau Kara mendapatkan rumah karena pemberian papanya, maka Erwin membeli sendiri rumah dari hasil keringatnya, walau rumah itu masih harus dicicil lima tahun lagi. Tapi Kara yakin kalau Erwin itu pekerja keras, pria idamannya. Kara memang bukan orang yang menemani langkah Erwin dari awal, tapi dia bertekad untuk menemani Erwin sampai akhir.

Erwin juga bukan orang yang norak seperti kebanyakan cowok lain, dia humoris tapi tidak berlebihan. Kalau diibaratkan artis Indonsia, mungkin sifat Erwin seperti Ringgo Agus Rahman, salah satu artis kesukaan Kara. Lucu tapi tidak norak. Erwin asli Bandung, mereka sama-sama berdarah Sunda. Keluarga mereka sudah saling kenal, karena mereka pacaran cukup lama, lima tahun. Kata orang itu umur yang sama dengan kredit mobil, harusnya di tahun ke lima, pacaran mereka diakhiri dengan menuju ke jenjang yang lebih jelas ikatannya. Ternyata di tahun kelima mereka memang harus mengakhiri hubungan itu, bukan dengan menikah satu sama lain, tapi karena Erwin memilih menikah dengan orang lain.

Kara  bukan perempuan cengeng yang mudah menangis, bahkan dari kecil dia tidak pernah menangis saat jatuh dari sepeda atau jatuh dari pohon mangga depan rumahnya. Kara adalah perempuan yang kuat. Namun kejadian itu membuat hati Kara patah, dia menangis berhari-hari, perasaanya campur aduk saat itu, sedih kecewa dan malu jadi satu. Dia merasa dikhianati, lima tahun yang sia-sia. Kara tidak pernah menyangka kalau dia menyiakan waktunya begitu saja, lima tahun terbuang hanya untuk menyaksikan pria bernama Erwin itu menikah dengan orang lain.

Di hari pernikahan Erwin, Kara ingin datang ke sana, tapi Devina menahannya. Devina tidak akan mau mengambil risiko dengan membiarkan Kara mengacau dipernikahan Erwin. Kalau dipikir-pikir, Kara harus berterima kasih dengan kakaknya, kalau tidak mungkin dia sudah jadi viral di youtube seperti mantan yang mengamuk dengan tag line, "Sabar ini ujian."

Erwin memberikan semua uang tabungan mereka pada Kara, sebagai penebus kesalahan, tapi itu malah membuat Kara semakin marah dan benci pada Erwin. Kara mengambil uang yang menjadi haknya dan mengembalikan sisanya pada Erwin, dia tidak akan mau menggunakan uang pria itu.

Setelah hubungannya dengan Erwin berakhir, Kara sempat dekat dengan beberapa pria, tapi semuanya tidak masuk dalam kriteria idamannya. Tidak ada perasaan berdebar-debar seperti dia menjalani hubungan dengan Erwin dulu, dia menceritakan ini pada Devina, tapi menurut Devina itu karena Kara selalu mengingat Erwin, selalu membandingkan pria-pria itu dengan Erwin. Entahlah, rasanya Kara tidak seperti itu. Hanya dia meyakini kalau pria-pria yang dekat dengannya itu memang hanya cocok dijadikan sebagai teman ketimbang kekasih, apalagi suami.

Kara  menyesap Latte-nya, dia selalu memesan Latte saat sedang ngopi bersama Sirly, walau ada rasa pahit, tapi rasa susunya lebih dominan, masih bisa diterima oleh lidahnnya. Dia malu kalau harus memesan minuman lain sementara Sirly memesan Americano. Sirly menghisap rokok yang terselip manis di jari-jari langsingnya. Kuku-kukunya di cat berwarna marun, menambah kesan seksi perempuan ini.

"Lagi stres ya?" tanya Kara. Dia tahu Sirly sedang mengurangi asupan rokok, Sirly ingin berhenti, tapi terkadang saat stres dia tidak bisa menahan diri.

Sirly mengangkat bahu. "Kalau kamu jadi cowok, terus lamaran kamu ditolak, perasaan kamu kayak apa, Ra?" tanya Sirly.

"Kamu dilamar?" tebak Ara.

Sirly mengeluarkan sebuah kotak bludru dari tasnya. Kara langsung mengambil kotak itu dan membukanya, dia menahan nafas saat melihat cincin dengan berlian yang walaupun kecil tetap saja harganya mahal. "Kamu nolak Reon?" Reon adalah pacar Sirly, seorang pengacara yang lumayan sukses di Jakarta.

"Bukan nolak sih, aku minta waktu sama dia. Buat berpikir."

"Apa sih yang buat kamu mikir, berliannya kurang gede?"

Sirly mendengus. "Bukan masalah itu, tapi aku nggak pernah mikirin pernikahan. Selama ini aku jalanin hubungan kami ya gini aja, aku nggak mikirin jangka panjang."

Kara  menarik nafasnya gusar. Tidak menyangka kalau ada orang di dunia ini yang diberi kepastian malah jadi bingung seperti Sirly ini. "Kamu ada ketakutan akan sesuatu? Makanya sulit bagi kamu untuk buat keputusan untuk nikah sama dia?"

Sirly mengangguk.

"Hah! Kita berdua kerja di tempat yang hampir setiap harinya ketemu sama orang yang mau menikah. kamu udah paham banget masalah ngurus pernikahan, tapi kamu nggak berani nikah?"

"Karena resepsi yang lancar nggak menjamin hubungan pernikahan itu bakal lancar juga, Ra."

Bener juga. Batin Kara.

"Aku sayang sama Reon, tapi aku belum punya keyakinan untuk nikah sama dia. Kayak apa ya, masih belum kebayang gitu buat aku, ngebayangin akan menghabiskan waktu seumur hidup sama dia. Aku masih belum bisa bayangin itu, walaupun udah aku coba."

Kara meringis. "Aku malah kebayang-bayang terus dulu, pasti seru kalau ngabisin waktu sama dia. Tapi malah aku ditinggal nikah."

Sirly diam. Dia sudah pernah mendengar kisah cinta Kara  dari Viola. Makanya mereka diminta untuk menjaga perasaan Kara. Dikejar-kejar deadline nikah di usia yang sudah lewat 30 tahun itu bukan hal yang menyenangkan. Tapi kadang orang dengan tidak punya perasannya menanyakan hal semacam itu tanpa pernah memikirkan perasaan orang yang ditanya. Hanya demi basa-basi yang basi, malah membuat orang merasa tertekan dan malah timbul kebencian.  Ada banyak alasan kenapa orang belum menikah di usia yang seharusnya sudah menikah, bukan hanya serta-merta dia pemilih. Siapa yang tahu kalau dibalik sikap ceria Kara, dia menyimpan kisah pahit yang berusaha untuk ditutupinya.

Sirly menekan puntung rokoknya yang sudah pendek ke asbak. "Sakit ya, ditinggal pas lagi sayang-sayangnya," candanya.

Kara tertawa. " Banget, kayak ditusuk tapi nggak berdarah," lanjut Kara. Dan mereka berdua tertawa kembali.

******

Udahlah aku update tiap hari aja sampai onggokan di draft abis ya. Sembari ngerjain yang lain. Soalnya ga sabar pengin berbagi kisah ini. Maafkan aku yang nggak konsisten wkwkwk

Happy reading.

Di Penghujung 31 (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang