Aku benci harus mengakui bahwa apapun yang kulakukan adalah kemunafikkan. Tapi setidaknya aku bukan orang yang seperti Vika –membicarakan Sarsa dibelakang lalu foto bareng saat acara kartini.
Yang kumaksud adalah keinginan untuk mencaci maki seseorang tapi malah tersenyum. Ya, begitulah. Tapi itu bisa juga bukan munafik. Tentu maksudnya bukan namanya. Tapi dosanya yang kumaksud, jauh~ lebih sedikit dari yang dilakukan Vika.
Duhai malam yang menunjukan hamparannya di luar jendela. Ah, aku amat sangat banyak pikiran. Itu selalu kulakukan jika banyak pikiran. Berpuisi dan berakhir dimeja belajar seakan akan murid yang amat rajin belajar ditengah malam.
Aku menengok melihat meja. Aku melihat penghapus yang lupa aku masukan dalam tempat pensil. Karena malas, aku hanya menatap penghapusku dan berkonsentrasi. Lalu, penghapus itu melayang kearah tempat pensil unguku.
Yap, Sungguh sebuah kemampuan yang luar biasa bukan? Ah, aku sudah memberitahu orang dirumahku, kok. Yaitu, seorang bocah berusia enam tahun yang ku besarkan seorang diri.***
Namaku adalah Sarah Ilfalna. Dan panggilanku adalah Shinee. Ini sama sekali tidak lucu bagiku. Apalagi saat anak anak berbasa- basi diperkenalan–
Yang lebih bodohnya adalah aku yang tidak mengganti nama panggilan itu. Setelah kedua orang tuaku meninggal. Haha.
Ehem. Kalian pernah mendengar telekinesis bukan? Sebuah nama umum –Imiah— Yang dapat menjelaskan keadaan dimana seorang manusia dapat menggerakan benda tanpa menyentuhnya.
Ini sebuah kemampuan yang hebat. Aku juga baru mengetahuinya di saat yang tidak sengaja.
Bukan tidak sengaja; karena aku sudah membaca di google. Bahwa telekinesis dapat aktif saat kita mengalami penekanan emosi. Seperti saat itu aku sedang merasa terancam oleh kakak ku. Dia menodongku dengan pisau ditangan. Dia tersenyum sambil membujukku bunuh diri. Dia bilang aku harus ikut dirinya, agar dia dapat tenang. Walau saat itu aku baru berumur 10 tahun. Aku tahu betul. Aku harus menolaknya. Aku menolaknya dengan tegas. Tentu tidak dengan sangat tegas seperti berteriak dengan lantang.
Aku menolaknya sambil menangis dan berusaha tidak menatap matanya. Matanya, yang mengerikan.
Yang aku lihat hanyalah ujung lampu kristal yang mengerucut. Dan dengan perasaan takut aku mencoba fokus pada titik itu. Hanya khayalan anak kecil. Tapi aku sangat berharap agar lampu itu copot. Dan benar saja. Aku berteriak sekuat tenaga sampai-sampai kakak mengendorkan pegangannya di leherku—karena oktaf teriakanku—Untung aku berhasil menyeret tubuhku keatas dan bernapas, walau, itupun tersengal.
Tapi saat itu aku amat pusing. Aku merasakan cipratan di kakiku –yang hanya menggunakan celana rumah selutut-
Bahkan, aku masih mengingat perasaan saat itu. Aku serasa berkunang dan bergetar di area pelipis ku. Kelopak mataku seakan berat sedangkan bola mataku menengok ingin tahu. Tapi tentu –sebagai penutup bola mata yang ingin tahu. Aku akhirnya merasakan gelap dan berhenti merasakan apapun—Seperti sehabis mendaki gunung –diacara sekolah tahun lalu. Aku tertidur saat kepalaku menyentuh bantal setelah seharian kelelahan.
Itu sungguh bukan cerita yang menyenangkan untuk diingat. Munkin kalian akan merasa beban dengan masa lalu seperti itu. Tapi aku tidak mau mengakhiri hidup dengan pikiran sempit seperti itu. Karena aku percaya bahwa hidupku terkoneksi dengan yang lain. Dan aku tidak pernah merasa bahwa hidupku paling rumit atau tidak dipahami umum – Atau apalah itu, karena bagiku tetap hidup lebih banyak positif(nya) dari pada mengakhiri hidup.
***
Aku hari ini bangun sangat pagi untuk menyiapkan bekal dan keperluan adikku. Aku sangat bersyukur memiliki adik yang penurut dan tidak suka membuat kerusuhan disekolah.
"haruskah kau membentuk bekalku seperti itu, kak?" tanya adikku, Fath, dengan malas. "kurasa seperti itu." Setelah itu aku mencoba membicarakan apa saja kejadian-kejadian disekolahnya.
Aku sangat berusaha menjadi orang tua yang baik bagi Fath. Walau kurasa tidak ada orang tua yang bertanya –Apakah anak laki lakinya yang berusia 6 tahun sudah jatuh cinta. Tapi aku sungguh khuatir pada Fath kecil yang duduk di semester 2 sekolah dasar. Entah mengapa aku merasa dia sangat pendiam dibanding denganku saat seumuran dengannya.
Tapi ya sudahlah. Semoga tuhan memberiku berkah Fath baik –terlepas dari caraku mendidiknya—haha.
Setelah menghabiskan sarapan, aku dan Fath bergegas memakai sepatu sekolah. Dan berjalan kaki menyusuri jalanan dingin dengan larian kecil –jogging. Aku melalukan ini agar Fath terbiasa berolahraga.
Sebelum sampai disekolah Fath, aku mencoba memberi teka teki aneh.
"Fath, Makanan apa yang sudah matang, tapi dimasak lagi?"
"Apa ini sejenis tebak-tebakkan jebakan?"Tanyanya penasaran.
"Haha, itu nasi goreng bodoh!"—'Apakah,tidak pernah berpikir kenapa nasi matang digoreng untuk sarapanmu?"
"Kau benar juga. Hem. Apa kau memiliki pesan moral tersirat?"—"Didalam tebakan-mu itu?" Tanyanya dengan raut seseorang paling penasaran hanya untuk mengetahui pelajaran moral.
"Ehem."—"Tentu saja, bukan, tentu ada. Tapi aku ingin, kau mencari tahu sendiri. Dari kejadian di sekolah mu Fath.."
Fath menggigit bibirnya. Dia memandang sekeliling sambil berjalan santai. Dan sampai tiba disekolahnya, dia berkata akan menjawab pertanyaan itu langsung sepulang sekolah. Aku pun hanya tersenyum kecil melihatnya yang berusaha tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The dream
Teen FictionTahu lukisan The dream karya pablo picasso? lukisan seorang wanita 24 tahun yang tertidur di sofa. lukisan itu amat terkenal ,dan Lukisan yang unik Tahu tidak? Aku bercita cita menjadi menjadi seseorang yang dilukis.