2

8K 525 41
                                    

Sudah satu bulan sejak kejadian yang akhirnya membuat Meg tahu tentang perjanjian antara Gideon dan iblis di rumah yang mereka tinggali. Dan sudah satu bulan pula Meg tak pernah bisa tidur dengan tenang. Pasalnya hampir tiap malam Gideon menyelinap ke dalam kamarnya dan naik ke ranjangnya, mendekap dirinya dan mencoba melakukan sesuatu yang tentu tidak ingin Meg bayangkan.

"Tak ada cara lain. Kau harus pergi, Meg!" ucap Gideon saat Meg meletakkan sepiring bacon di meja makan.

Meg mendengus dan duduk di kursinya. "Sudah kubilang aku tidak akan meninggalkanmu."

"Semalam hampir saja ... aku bahkan sudah melucuti kemejamu," ucap Gideon. Matanya mengamati Meg yang sibuk menambahkan telur dan bacon ke piring lalu menyodorkannya ke arahnya.

"Bukan kau yang melakukan itu," balas Meg.

"Apa bedanya?" ucap Gideon putus asa.

"Gideon, pasti ada jalan keluarnya. Katakan padaku! Apa tepatnya yang kau janjikan padanya?" Meg bertanya dengan suara pelan.

Dan dalam hatinya Meg tahu apa yang mungkin diinginkan iblis itu. Dia selalu mengatakannya dari mulut Gideon tiap ia mencoba bersetubuh dengan Meg. Satu kata yang selalu sama.

'Aku menginginkan jiwa yang tak memiliki cinta.'

Meg tahu persis apa yang dimaksud kalimat itu. Dialah jiwa itu. Dialah jiwa yang tak memiliki cinta.

Sejak kecil Meg tak pernah merasakan cinta. Dia dibesarkan di sebuah panti asuhan karena orangtuanya membuangnya. Hal itu membuatnya menjalani hidup dengan kepercayaan bahwa tak pernah ada yang menginginkannya. Dan seiring berjalannya waktu ia mulai membentuk dirinya agar tak pernah menginginkan siapa pun, tak pernah mempercayai atau membiarkan kata cinta muncul di dalam hatinya. Bahkan saat benar-benar ada seseorang yang peduli padanya ia memilih menjauh dari orang itu. Ia meninggalkan Gideon, saat pria itu menyatakan perasaannya padanya. Dia pikir semua itu hanya ilusi sesaat yang pada akhirnya akan memudar. Karena dia percaya tak pernah ada yang menginginkannya.

"Sungguh Meg, aku hanya menjanjikan berbagi raga dengannya. Aku tak pernah sekali pun menyebut dirimu dalam perjanjian sialan ini." Gideon mengusap wajahnya kasar dan hanya menatap makanan di piringnya.

"Apa kau benar-benar mencintaiku, Gideon?" tanya Meg pelan.

Perlahan Gideon mengangkat wajahnya. Pender keemasan di matanya menghilang, memperlihatkan warna coklat hangat yang sudah lama dikenal Meg. "Ini lebih dari cinta, Meg. Aku menginginkanmu dalam setiap tarikan napasku."

Kata-kata itu merasuk ke dalam diri Meg, menghangatkan setiap sel saraf yang ada di tubuhnya, membuat otaknya berkabut dan berputar hingga membuatnya mulai tak dapat mengendalikan reaksi tubuhnya. Matanya memanas dan detik berikutnya ia merasakan air mata membelah pipinya.

"Meg?" Gideon bertanya, terlihat khawatir atas reaksi yang diberikan Meg.

Tapi Meg malah tersenyum. "Terima kasih, Gideon."

***

Malam ini Meg berbaring di ranjangnya dan sengaja tak mengunci pintunya. Ia tahu apa yang harus dia lakukan. Ia tahu cara membuat iblis itu pergi dari tubuh Gideon.

Dia hanya perlu menyerahkan dirinya, melepaskan dirinya.

Derit pintu yang terbuka, membuat Meg membuka matanya yang tadi terpejam. Dia menoleh dan melihat Gideon sudah berdiri di sana, matanya bersinar keemasan di dalam kegelapan. Gideon melangkah masuk, perlahan dan menghampiri ranjang Meg dan duduk di tepinya. Jarinya membelai wajah Meg, tapi kali ini Meg hanya diam, membiarkan jemari dingin itu menelusuri tulang pipinya.

"Aku menginginkan jiwa yang tak memiliki cinta," ucap suara serak dari mulut Gideon.

Meg bangkit dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Matanya balas menatap bola mata keemasan itu dan ia mulai bicara, "Siapa namamu?"

"Nama?" Gideon terlihat berpikir begitu keras hingga dahinya menciptakan kerutan yang begitu dalam.

"Kau pasti pernah punya nama," ucap Meg. Dia menyentuh bahu Gideon.

"Ya. Aku punya, William ... William Carter."

"Jadi Will, kau menginginkan jiwa yang tak memiliki cinta? Maka ambillah!" ucap Meg.

William melihat Meg melalui mata Gideon. Ada sorot tak percaya dan ragu di dalam matanya. "Kau tak tahu apa yang kau lakukan!"

"Aku tahu." Meg bergeser, mendekat ke arah Gideon. "Aku ingin kau mengambilnya, karena sekarang aku hanya akan memiliki jiwa yang dipenuhi cinta."

Mereka berdua beradu tatapan beberapa detik kemudian Gideon mulai menangkup wajah Meg. Membawa bibir Meg ke bibirnya. Meg merasakan sesuatu yang kelam terangkat dari dalam dirinya. Kemudian perlahan ia melihat bagaimana bayangan keluar dari tubuh Gideon. Terlihat seperti siluet sesosok pria jangkung. Bayangan itu berdiri menjulang, hitam, kelam, dengan mata yang bersinar keemasan.

Sementara itu tubuh Gideon melemas, ambruk ke dalam pelukan Meg. Napasnya teratur seperti orang yang sedang tertidur. Dan Meg mengecup puncak kepalanya. Lalu kembali melihat siluet bayangan itu. "Kuharap kini kau bisa menemukan jalanmu, William Carter."

Perlahan bayangan itu memudar, menguap seperti asap dan lenyap tak bersisa.

Gideon mulai mengerjapkan matanya dan ketika matanya benar-benar terbuka, hal pertama yang ia lihat adalah sebuah senyuman manis dari Meg. Senyuman yang membuat pikirannya menjadi kacau. Dia menyentuh wajah Meg seolah ingin memastikan bahwa Meg yang ada di depannya saat ini benar-benar nyata.

"Meg," Gideon mengucapkan nama itu seperti mantra, seperti doa, seperti melodi yang mengalun dan membuai Megan.

"Gideon," balas Meg sambil menelusupkan jemarinya ke balik rambut pirang terang Gideon.

"Apa aku melakukannya lagi?" Gideon mulai terlihat khawatir sekarang. Matanya menelusuri tiap jengkal tubuh Meg, dan ia baru dapat menarik napas lega saat melihat pakaian Meg masih utuh pada tempatnya.

"Dia sudah pergi," ucap Meg. Dan ia menarik Gideon ke dalam satu ciuman panjang dan lambat. Merasakan dan mencurahkan setiap perasaan yang sekarang mengembang di dalam hatinya. Ia ingin mengingat semua ini. Setiap rasa, setiap tekstur, setiap aroma yang dia dapat saat menarik napas. Ia ingin semua ini tersimpan dengan baik di otaknya. Dan saat akhirnya bibir mereka kembali berpisah, Meg membawa pandangannya ke mata Gideon yang kini berwarna coklat meneduhkan. "Aku mencintaimu, Gideon Mark."

Hanya satu kalimat itu dan Gideon menarik Meg ke dalam rengkuhan hangatnya. Memeluk wanita yang selama ini terus ia dambakan. Membenamkan wajahnya ke rambut beraroma manis yang memabukan lalu bibirnya mulai kembali bicara, "Aku mencintaimu, Megan Trammell. Dan aku tak akan pernah melepaskanmu."

Contract With the Devil [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang