Sabtu pertama di bulan mei. Kemarau pertama di bulan lima ...
Matahari pagi tersenyum jumawah. Akhirnya ia menemukan sebuah hari untuk menunjukan sebagian aksinya. Panas menyengat yang sering kali ia tujukan kepada kepala-kepala manusia yang berada di bawahnya. Tepat.
Tanah basah akibat tari-tarian penghuni kerajaan hujan perlahan mengering. Tak ada lagi tanah becek. Rumput basah. Bahkan udara lembab akibat pamitnya penghangat alam. Semua kembali ke sediakala. Seperti sebelumnya.
Tak adakah pelangi penyambut pagi?
Padahal hujan telah berhenti.
Berilah sedikit warna agar langit tak begitu sendu.
Ayolah, manusia menanti hingga sore ini.
Capung kebun bersorak, melintas mengarungi bersama arus angin pagi. Bertatap pandang dengan burung-burung pipit yang tengah sibuk membangun kembali sarangnya. Hancur terkena sapuan angin dan jarum cair tajam. Kepakan sayapnya beradu dengan deru suara truk sampah yang melintas sekejap. Paruh kecilnya menggigit rumput layu. Mati karena terlalu banyak guyuran banyu. Seakan berlomba dengan waktu, ia terus membangun puing-puing sarangnya yang terlanjur porak poranda. Sebelum senja datang menyambut malam.
Sepasang kupu-kupu ikut serta. Menyemarakan pagi dengan kehadiran mereka mencuri madu dari bunga-bunga yang terlanjur berbunga. Menyembul di antara kelopak-kelopak bunga berwarna bersama deretan awan yang berarak perlahan. Atap baru pagi ini. Awal kemarau. Penghuni baru setelah penghujan selesai bertugas.
Aku berdiri di depan cermin. Sebuah benda tegak lurus yang memantulkan bayanganku. Menangkap bayangan tubuh dan suasana hatiku yang tengah berwarna warni. Merah, kuning, jingga, merah muda, bahkan biru laut dan langit. Semua ada. Lengkap. Nyaris tak ada warna gelap yang menyelimuti ladang bunga sakura yang tengah bermekaran bebas di ruang kosong hatiku.
Tubuhku masih polos, tanpa sehelai benang yang membungkus tubuh. Telanjang. Tentu saja tak semuanya. Bentangan handuk putih aku lilitkan ke bagian alat vitalku. Menutupnya agar tak kabur kemana. Akan sangat sulit untuk menangkapnya. Kepakan sayap tanpa bulunya akan membuat semuata mata terbelalak ketika menyadari benda tabu yang terbang dengan jantannya. Berteriak. Meronta. Memekik atau bahkan meludah. Kau bahkan mampu membayangkan ekspresi tiap bola mata yang nyari keluar dari wadahnya.
Dada bidangku tercetak jelas. Otot-otot hasil latihan di tempat kebugaran beberapa bulan terakhir menyembul keluar. Khas laki-laki. Badanku tak lagi kurus kering seperti duduk di bangku sekolah menengah atas beberapa tahun lalu. Alat-alat di sana memang ajaib. Hanya beberapa bulan saja, tubuhku sudah berlekuk membentuk seperti ini.
Aku melemparkan pandanganku ke sebelah kananku. Tumpukan baju tergeletak berantakan menutupi sebagian ranjang tempat tidurku. Sesekali, gergumam sendiri. Menepuk jidat. Jongkok. Lalu kembali menuju ke arah lemari baju. Kembali memburu baju-baju yang terlipat rapi di antara tumpukan-tumpukan yang nyaris tak tersentuh. Tak juga menemukan sesuatu yang cocok dengan tema hari ini. Sesuatu yang cerah. Sesuatu yang ceria. Sesuatu yang berwarna. Aku masih saja mengaduk baju-baju yang terlempar dari tumpukan baju di lemari cokelat pojok kamarku. Menemukan yang aku maksud, meski tak sesuai dengan harapanku.
***
Sepeda fixie putih terparkir di sebuah halaman sempit di sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Pagi yang bersahabat sekali. Tak lagi ada awan kelabu yang berarak menguasai langit biru. Semua pergi. Berliburlah. Bergantilah cerah.
"Here we go." Teriakku menyumpalkan earphone dan kacamata hitam penangkal silau. Ku kayuh sepedaku. Tak begitu cepat. Hanya sebatas kecepatan tanggung. Aku menikmati pagi ini. Menikmati senyum sapa para pejalan kaki khas kota kecil yang berada di timur pulau jawa. Kota yang membesarkanku dengan ajaran-ajaran jawa yang begitu taat. Dia mengajarkanku arti senyum. Arti toleransi dalam masyarakat, dalam beragama dan juga dalam berbicara. Mengajarkan bahasa lokal yang kini mulai sedikit terkikis oleh bahasa nasional.
Aku masih mengayuh sepedaku. Belum ada lelah terpancar dari sorot mataku. Atau mungkin tertutup kacamata hitam yang menghalangi bola mataku?
"Niki pinten, bu?" Ucapku setelah menepikan sepedaku pada sebuah tembok berlumut tak jauh dari tempat si mbok bakul kembang berjualan. Si mbok tersenyum dengan gigi-giginya yang telah tanggal. Entah tinggal berapa yang masih tersisa. Aku tak menghitungnya. Yang aku lihat beberapa sudah hilang. Mungkin seperti burung kakak tua. Gigi nenek tinggal dua.
"Gangsal doso mawon mas" si mbok memberiku bunga mawar putih sekitar sepuluh tangkai yang hanya dibungkus dengan kertas Koran bekas.
"Lah, niki katah sanget bu. Napa mboten rugi?" Si mbok hanya tertawa. Tawanya tulus. Ada segurat beban di matanya. Guratan-guratan yang hampir sama dengan punyaku. Ada tanda yang sama juga di mataku. Tahun lalu. Tapi seiring waktu, hilang bersama tumpukan-tumpukan cerita baru yang membuatku sedikit terlupakan dengan sedih di masa lampau.
"Badhe kepanggih pacare nggih?" Suara tua itu kembali terdengar. Kali ini hanya aku yang tertawa tanpa mampu menjawab. Aku malu. Wajah merah jambu hadir bersama pagi. Si mbok ikut tertawa kecil menyembunyikan senyum kosongnya
***
Aku telah sampai di tempat kita janjian. Tempat biasa aku dan dia bertemu. Tempat terindah menurutmu. Menurut mereka. Dan menurut sebuah kalimat di dalam buku yang pernah aku baca. Hangat pagi perlahan menjadi panas yang sedikit terik. Menyengat. Mencubit cubit cubit permukaan kulit putih menjadi sedikit memerah.
Keringat sebiji jagung perlahan merobek pori-pori kulit. Mengalir menetes lembut melalui kerutan-kerutan wajah yang menahan silau. Kacamata iniseakan enggan berfungsi. Masih saja silau. Begitu juga topi hitam yang menempel di kepala. Tak mampu meredam terik. Masih saja aku merasa kepayahan. Tapi tak apa. Asal hanya dengan dia, aku rela menghitamkan kulitku ini. Kota ini memang tekenal sangat panas. Tak seperti dulu yang sejuk. Pemanasan global bahkan menyerang kota ini cepat.
Payah. Bumi murka.
Aku memandang dia tertahan. Ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan. Ada banyak keluhan yang ingin aku ungkapkan. Ada banyak sekali kerinduan yang memucuk tanpa tahu kemana dan kepada siapa harus berbagi. Aku rindu. Aku ingin menumpahkan kapada pagi.
"Kamu diam. Kenapa kamu diam? Aku tahu kau suka mawar putih. Aku membelikanmu sepuluh tangkai mawar putih yang aku beli di pinggir jalan tadi. Mawar ini masih segar. Sepertinya baru dipetik subuh tadi. Kelopak-kelopaknya masih segar. Belum layu seperti mawar-mawar yang di masukan kedalam ruangan berpendingin. Daun-daunnya juga masih segar. Kalau di hitung, mungkin baru 3 jam tadi di petik oleh si mbok penjual kembang tak jauh dari sini." Ujarku sambil membenarkan mawar putih yang sedari tadi aku pegang. "Kalau kamu suka, setiap kali aku bertemu kamu, akan aku belikan lebih banyak. Dua atau tiga kali lipat dari bunga yang aku bawa sekarang. Tapi kalau kamu tak suka dan lebih memilih bunga-bunga yang di jual di toko bunga yang sudah punya nama dan bukan di jual di emperan pinggir jalan, aku mungkin tak bisa berjanji akan membelikan tiga kali lipatnya. Agak sedikit mahal. Tapi kalau kau memaksa, tak apalah."
Aku mendekatinya. Memandangnya lekat. Tak bersuara. Diam. Tak bergerak.
Aku tersenyum tipis. Aku tahu. Aku mengerti apa yang sedang ia rasakan. Mungkin dia masih nyaman dengan tempatnya yang baru. Bersandar pada tempat sandar barunya. Dengan wanginya yang sangat khas. Wangi yang juga aku suka. Sedikit wangi sisa basah. Meski matahari sedang berusaha keras kembali mengeringkan semua permukaan basah. Membelainya di antara siang. Memberikan mawar putih yang tak lagi berbungkus Koran lusuh. Hanya untaian-untaian mawar utuh.Ku kecup pelahan. Hangat merambat melalui bibir keringku. Menyebar merambat dan kemudian berlarut bersama aliran darah yang menghantarkan ke seluruh bagian tubuhku.
"Selamat ulang tahun ibu. Di sini sedang kemarau. Baru kemarau pertama. Favoritmu. Dan bagaimana surga? Apakah kemarau juga di sana? "
***