"Sini tasnya!" Aku meraih tas ransel hitamnya yang berisi baju kotor."Ini dulu beresin!" tegurnya, sembari mencopot sepatu futsal serta kaus kaki yang menutupi betis berbulu.
Karena basah, aku menjinjing ujung kaos kakinya. Meletakkan jauh-jauh di teras. Aroma tak sedap begitu menguar. Padahal, baru tadi pagi ambil dari lemari.
"Bikinin teh jahe, dong!"
Baru saja siap membuka resleting ransel ... urung lagi. Demi memenuhi pinta suami tercinta. Buru-buru aku memasak air, menuangkan gula dan kantung teh bundar ke dalam cangkir keramik. Tak lupa, memasukkan jahe yang sudah dipukul ulekkan. Baru, bisa diseduh.
"Tara ... teh sudah siap."
Aku menghirup aroma teh, sembari mengibas-ngibaskan tangan di asapnya. Ala-ala chef di televisi.
Suami tak menghiraukan, masih fokus menyimak pertandingan bola.
Satu gol tercetak. Lewat aksi tendangan bebas Ronaldo. Eksperinya masih datar. Padahal seantero stadion, gegap gempita.
"Ish ... Messy bisa kalah ni," sindirku bermaksud menarik perhatiannya.
"Kalau sudah beres, baru boleh nimbrung!" balasnya ketus. Menyadarkan akan ransel hitam yang tergeletak di sisi pintu.
Setiap malam minggu, jadwal suami main futsal. Setelah seharian penuh mengurusi toko mainan. Mungkin masalah serupa terjadi, hingga wajahnya tertekuk begini. Sebal melayani anak-anak yang tak tentu maunya apa, dan harus berhadapan dengan ibu-ibu penawar separuh harga.
Apalagi, suami memang tak suka dengan pekerjaannya. Toko mainan ini peninggalan ayah. Sebagai keturunan satu-satunya, Mas Hiziblah yang harus melanjutkan. Tak boleh dijual, karena masih ada mama yang memantau.
"Aku aja ya, yang jaga tokonya. Mas cari kerjaan lain ... yang diinginkan," tawarku penuh harap. Lumayan, mengisi waktu luang. Dari pada cuma di rumah. Jenuh.
"Aku lagi capek, udah de ... jangan ngomong yang enggak-enggak!" bentaknya, menganggap angin lalu saja tawaranku.
Bergantian, kini aku dengan muka masam. Membereskan isi dalam ransel hitam. Kausnya yang basah sebab keringat, aku lempar asal ke ember cucian.
"Celananya digantung! Belum ada seminggu tu ...."
Balckberry serta dompetnya, tiba-tiba jatuh ke lantai, dari tanganku yang memegang celana terbalik.
"Buang ... buang aja!" ucapnya sarkastis.
Aku mendelik. Buru-buru menyatukan benda persegi empat yang tercerai menjadi tiga bagian. Akses suami satu-satunya. Meski kadang, tak pernah diisi pulsa, apalagi paket data.
Mas Hizib terkekeh menatapku. Makin sebal saja hati ini. Baru marah-marah, tapi sekarang ... aneh.
"Mangkanya jangan asal nuduh. Biar begini, aku gak mau kamu ikutan kerja," tutur Mas Hizib, sembari menimpuk kepalaku dengan bantal sofa. "Cukup jadi istri sholihah, diam di rumah ... mendoakan suami." Selarik senyum, mengembang dari bibir tebalnya.
Tersipu. Lelaki ini, benar-benar pandai membolak-balikkan perasaanku.
"Ditelfon berkali-kali, tapi gak diangkat. Kenapa?" sergahku, mengalihkan pembicaraan. Padahal, untuk menutupi rona di pipi.
"Cuma misscall."
"Harusnya telefon balik, kan?"
"Gak sempat, kenapa gak SMS?"
"Gak isi pulsa. Makanya, Mas isi paket data dong! Biar bisa BBM-an."
Ini salah satu sebabnya, aku sangat ingin Mas Hizib punya telepon pintar kekinian. Biar tidak ada alasan lagi, untuk mengosongkan kuota. Fitur yang ditawarkan andrioid lebih lengkap. Salut kalau suami masih betah tanpa internet nantinya.
Ciuman hangat mendarat dikening. Cukup membungkam mulutku, yang ingin berbicara lebih panjang lagi. Ah ... suami.
****
Masih pukul empat pagi. Aku terbangun demi mendengar bunyi serak tanpa daya di meja sebelah suami.Alarm! Kenapa, biasanya sangat melengking, walau dibiarkan sampai baterainya habis.
Segera kuraih benda hitam itu. Menekan tombol apa saja, agar bunyi seraknya senyap. Setiap pagi, hape suami tak absen mengganggu. Terlalu memekakkan telinga. Tak bisa pelan, meski pengaturan telepon, senyap. Lalu, aku berjalan gontai ke kamar mandi yang masih satu ruangan.
"Dek, kok hapenya gak mau dihidupin, dimatiin juga?"
"Segan dia!" jawabku asal, terbesit lirik lagu; 'hidup segan mati tak mau'.
"Gara-gara jatuh semalam ni ...." sungut suami.
"Sudah tiba waktunya, Mas," balasku sembari memasang mukena.
Akhirnya, tugas terakhir sudah dijalani hape butut. Saatnya, cari pengganti. Hahaha
"Makanya, beli android aja!"
Mas Hizib hanya mendengus, sebelum beranjak ke kamar mandi.
***
Secepatnya Mas Hizib bakal beli hape baru, untukku. Secara tidak langsung dia akan menukarnya dengan gawai istri tercinta.Selamat tinggal alarm tanpa batas waktu. Selamat tinggal bunyi berisik. Aku akan akan segera bangun dari tidur, tanpa paksaan lengkingan kurang ajar itu. Bagun, atas kesadaran sendiri, bukankah lebih membahagiakan?
"Dek ... dek sini!"
"Apaan sih? Aku lagi masak ni!" sahutku sebal. Membuyarkan imajinasi saja.
"Dek, hapenya udah bisa. Kata si Roni, ini cuma bootlop."
"Apa? Jadi aku gagal dong, punya hape baru lagi!"
Mas Hizib tertawa lepas, mentowel pipiku dengan gemas.
"Tugas hape ini, bangunin kita buat solat subuh. Ya kali make hapemu, baru lima menit, langsung senyap."
"Aku langsung bangun, kok ...."
"Tapi gak langsung ke kamar mandi? Sama aja, kelles!"
Kini, tawa Mas Hizib semakin berderai. Sedangkan aku hanya diam. Oh ... Tuhan, harapan buruk apa yang baru saja terbesit di pikiranku. Mengaharapkan tidur pulas, dan bangun sekenanya. Tanpa mengkhawatirkan kehilangan pahala besar, saat solat subuh.
Kadang masalah kecil, bisa kebablasan. Tertimbun menjadi besar. Beruntung, punya suami yang siap siaga meluruskan cara berfikirku. Terimakasih, Rab.
"Dek, air hangatku mana?!"
"Eh ... bentar."
"Pisang gorengnya sekalian!"
Ah ... suami ada saja tingkah manjanya, yang terkadang menguji kesabaran. Aku terkekeh, menyadari bayi berkumis yang kurawat saat ini.
Semoga, kau dan aku masih bisa bercanda ria di teras jannah Allah. Amin.
Tamat
Situbondo, 21 Januari 2018