Bayi yang baru lahir bagaikan selembar kanvas putih yang belum dilukisi. Suci, masih polos, tanpa dosa. Belum terpancar aura negatif yang mewarnainya. Tiada sisi buruk bawaan sejak lahir. Hanya putih, bersih.
Namun, seorang bayi mematahkan paham itu. Nila gelap telah mewarnai kanvasnya sejak dalam kandungan. Bakatnya untuk menghancurkan kebahagiaan di dunia dimulai sejak keluar dari rahim sang ibu. Enam menit lewat dari pergantian hari keempat belas di bulan Februari pada tahun 2000, tepatnya. Bayi itu adalah aku, Luzaphire.
~ ~ ~
"Hai, Luzy!" sapa seorang laki-laki berseragam putih--abu-abu berambut fringe.
Dengan gaya sok keren, ia menghampiriku. Memuakkan! Dia teman sekelasku yang cukup populer karena ketampanan dan kekayaannya. Semua mata di kantin ini menoleh sinis, sungguh tidak nyaman.
Sepotong kentang rebus bersaus kacang pedas kutusuk dengan garpu tanpa mengacuhkannya. Putra konglomerat itu duduk di hadapanku, memerhatikan caraku melahap sepiring siomay Bandung yang lebih banyak kentangnya daripada siomay ikannya. Jangan tertawa! Ini makanan favoritku.
Lagu rock 90-an mengalun kencang dari earphone yang menyumbat telingaku. Ini terdengar lebih baik daripada suara gaduh semua orang yang pasti sedang membicarakanku. Tak sopan, laki-laki ini mencabutnya dari kedua telingaku. Dengungan langsung menggangguku.
"Luzy," mulainya setelah memastikan aku dapat mendengarnya. "Besok, aku jemput jam enam, ya?"
Aku menatapnya dingin tanpa berkata-kata. Berani sekali dia?
"Prom night," jelasnya. "Besok 'kan perayaan Valentine's day. Lupa?"
Aku tahu! Hanya saja ..., aku tidak tertarik pada keramaian pesta sekolah seperti itu. Lagipula, ada hal penting yang kulakukan besok.
"Kamu harus datang sama aku! Jangan sama yang lain!" perintahnya otoriter. "Aku sudah siapkan kado ultah spesial buat kamu!"
Sial! Dia tahu, besok ulang tahunku?
Selama tujuh belas kali aku berulang tahun, tak pernah ada perayaan maupun hadiah. Ucapan selamat pun tiada. Mereka lebih peduli dengan kebiasaan berbagi cokelat dan bunga di hari kasih sayang.
Sedangkan bagi keluargaku, 14 Februari adalah peringatan meninggalnya ibuku. Ya, ibuku tak dapat bertahan hidup setelah melahirkanku. Secara tidak langsung, akulah pembunuhnya. 'Si anak setan' yang keluargaku tuduhkan sejak aku baru datang ke dunia ini.
Tiada seorang pun yang mengharapkan kehadiranku, terutama ayahku. Namun, aku harus bertahan agar tidak bersedih. Sedikit pun, tidak boleh bersedih!
"Dandan yang cantik ya, Calon Istri Xander!" ucapnya sebelum beranjak meninggalkanku.
Apa? Seenaknya menyebutku sebagai calon istrinya? Dasar, manusia gila!
"Kamu akan menyesal!" desisku akhirnya.
Laki-laki bernama Xander itu menoleh kembali, lantas tersenyum lebar. Penuh semangat, ia menyahut, "Enggak masalah!"
~ ~ ~
"Hereditas adalah penurunan sifat genetik orangtua atau induk kepada anaknya ...."
"Gue curiga, dia pakai susuk!"
Diam!
Sepanjang pelajaran hari ini, para siswi di kelas melirikku sambil berbisik dengan teman sebangkunya. Sudah tertebak, 'kan, topiknya? Kasihan guru Biologi kami, bapak Yono, tidak diperhatikan ketika menerangkan tentang hereditas.
Tak hanya hari ini, mereka membicarakan hal buruk tentangku, sebenarnya, hampir setiap hari. Mereka pikir, aku tidak tahu, karena aku selalu duduk sendiri di paling depan, pojok kiri, tepat di depan meja guru. Aku tak pernah menoleh ke kanan dan belakang, memang tidak perlu, bagiku.
Penglihatanku lebih luas daripada manusia pada umumnya, dapat memandang 360 derajat tanpa memutar pupil. Pendengaranku juga sangat tajam. Itu sebabnya, aku suka menyumbat telingaku dengan earphone, terutama jika harus berada di tempat ramai. Volume lagu yang bagi manusia normal terdengar sangat pelan, menjadi sangat kencang di telingaku.
Aneh? memang! Mungkin bagimu, ini adalah kekuatan super yang hebat. Namun bagiku, ini laknat.
Sudah beberapa kali, aku berkonsultasi pada berbagai dokter dan psikiater. Semuanya tak dapat menyimpulkan kejanggalan pada diriku. Tiada gen dari keluargaku---hingga garis keturunan terjauh---yang mengalami hal serupa.
Aku ingin menjadi seperti manusia normal. Banyak hal yang tak ingin kudengar dan kulihat, tetapi tak dapat kuhindari sepenuhnya.
Ketika Xander kembali ke meja teman-temannya di kantin tadi, ia mengungkapkan pengalamannya mencabut earphone-ku, "Gue berhasil nyentuh lehernya! Mulus banget! Wangi lagi!"
Sangat menjijikkan! Setelah itu, kubuat dia terjatuh dari kursi, sehingga mereka menertawakannya. Bukan kujatuhkan. Aku hanya membayangkannya, kemudian terjadi begitu saja.
Tak hanya Xander, banyak laki-laki yang berpikiran kotor seperti dia. Entah mengapa, mereka tampak menginginkanku, tepatnya tubuhku. Padahal, keindahan tubuhku sudah kututupi dengan jaket. Rambut sebahuku juga sengaja kugerai untuk menutupi leherku. Tetap saja, ucapan melecehkan semacam itu terdengar. Balasannya, mereka pasti akan celaka seperti yang kubayangkan.
Oya, satu lagi, aku tidak pernah memakai parfum. Wangi melati ini melekat pada tubuhku sejak lahir, dan dapat berubah-ubah sesuai emosiku.
~ ~ ~
Sebutir telur mentah melayang cepat dari atasku ketika aku sedang menuruni tangga. Secepat kilat, aku menghindar agar tidak mengenai kepalaku. Kemudian, lagi ..., lagi ..., dan lagi ....
Fiuh ... hampir saja! Tiada satu pun dari keempat butir telur itu berhasil mengotoriku. Dengan selamat, aku telah berada di lantai dasar.
"Dasar, Jalang!" umpat seorang siswi dari atas. Suara cemprengnya memekakan telingaku. "Xander punya gue!"
Dengan murka, ia menuruni tangga, mengejarku yang terus melangkah. Pahanya terlihat dari bawah karena seragamnya sengaja dikecilkannya, tidak sopan! Rambutnya dicat pirang, melanggar peraturan sekolah. Sepatunya juga, ia memakai wedges yang menyerupai sneakers.
Andai, ia terpeleset jatuh ke bawah hingga tulangnya patah, agar tidak bisa menyerangku lagi. Aku mengutuknya bukan karena dia menginginkan Xander, tetapi karena dia telah melempariku telur. Dialah yang lebih pantas disebut 'jalang'.
"Waaak!"
Benar terjadi! Pecahan telur-telurnya sendiri membuatnya terpeleset. Ngeri, aku menyaksikan tubuhnya berguling-guling menuruni anak tangga di belakangku. Terkapar tubuhnya di lantai dasar, tak sadarkan diri. Darah bercucuran dari kaki, tangan, dan kepalanya.
Langkahku terhenti sejenak. Kakiku gemetar. Berbondong-bondong, para murid berkerumun, termasuk Xander. Ia menghampiri perempuan itu, lantas menggendongnya ke UKS. Mereka pun menatapku seolah menuduhku.
Bukan aku yang melakukannya! Aku tidak salah! Dia terpeleset karena ulahnya sendiri, batinku menenangkan jantungku yang berdegup kencang.
Penuh rasa bersalah, aku mempercepat langkahku, menjauh dari tatapan orang-orang yang mencurigaiku. Meskipun bukan pertama kalinya, aku mencelakai orang lain dengan cara membayangkannya, ketakutan tetap menyelimutiku.
Ini bukan pertanda musibah yang dapat kulihat, tetapi memang akulah yang menginginkannya. Aku memang pelakunya! Dan mungkin, aku memang pembunuh ibu kandungku!
~ BERSAMBUNG ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Luzaphire
ParanormalSiswa populer yang diinginkan banyak siswi di sekolahku, tiba-tiba saja, mendekatiku yang dianggap 'freak' ini. Memang bukan pertama kalinya, aku mendengar bisikan para siswa yang menyukaiku, tetapi hanya dia yang berani melakukannya. Aku pun terkad...