3. Hereditas

154 11 134
                                    

"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," merupakan pepatah yang berarti seorang anak tak akan jauh berbeda dengan orangtuanya, dalam segi fisik, sifat, bakat, dan lainnya, walaupun mereka terpisah lama. Itulah hereditas yang kupelajari kemarin.

Terkadang, benakku bertanya, "Mengapa aku berbeda? Dari mana keanehanku berasal?" Faktanya, diriku sangatlah mirip dengan ayah kandungku. Bagi manusia, kami adalah makhluk jahat seperti iblis. Mereka menyebutnya, Lucifer.

~ ~ ~

Bau busuk tumpukan sampah menusuk pernafasanku. Tiga jam lamanya, aku bertahan di tempat pembuangan akhir. Kini, harum melati mulai terhirup kembali. Aku dapat beranjak kembali.

Mengering sudah air mataku. Telah kuatur perasaanku dengan baik. Satu hal pertanyaanku saat ini, Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Langkahku goyah tanpa tujuan. Entah bagaimana, aku melanjutkan hidup tanpa uang.

Pesta Valentine itu ... aku tidak tertarik, tetapi ... bagaimana dengan Xander? Aku khawatir bila nanti sore ia menjemputku, ayah menjelaskan alasanku menghilang, lantas berita viral akan beredar. Ah, tidak! Jangan membayangkannya, Luzy!

Xander ... ya, Xander! Hanya dia kuncinya sekarang ini! Dia harus menemukanku sebelum bertemu ayah! Sejujurnya, aku suka memerhatikannya setiap ia menatapku dari belakang.

Kurogoh ponselku di saku. Notifikasi pesan singkat baru kusadari.

Ayah :
Maaf, Luz... Ini yg terbaik u/ km.
Jaga dirimu baik2!
Jgn takut, ayah kandungmu pasti bisa menemukanmu dmn pun km berada & mengajakmu pulang.
Selamat tinggal, Luzy...

Terbaik untuk ayah, bukan untukku! Setelah membalas pesan ayah, aku menghubungi Xander agar ia menjemputku di tempat lain. Aku juga perlu mencari gaun yang cocok di toko terdekat.

~ ~ ~

Hentakan musik pop semakin kencang di telingaku sejak Xander memarkirkan mobilnya. Earphone siap kupasang sebelum turun, tetapi tangannya menahanku.

"Bisa enggak, kali ini, jangan menutup telingamu lagi?" pintanya lembut.

Sepertinya, ia tidak ingin musik menghalangi kami. Radio mobilnya saja tidak dinyalakan.

"Maaf, aku enggak--"

Lidahku terhenti melihatnya memasang earphone-ku pada telinganya. Gawat! Ia mendengarkan laguku yang sangat pelan. Senyumnya pudar menatapku.

"Luzy ..., mau pindah ke tempat lain saja?" tawarnya serius. Apakah dia mengerti? Apakah dia mau menerima keanehanku?

"Enggak apa-apa, aku cukup pakai ini," tolakku seraya merebutnya kembali.

"Kalau kamu enggak nyaman, enggak usah dipaksakan! Kita ke tempat yang sepi saja, ya?"

Aku mengangguk. Tabuhan drum dari ballroom pesta berhenti, berganti alunan ballad romantis diiringi piano. Mesin mobil kembali dinyalakan, tangannya siap memegang setir. Tunggu! Aku menggapai lengan Xander. Lagunya, aku ingin mendengarnya sebentar.

"If there were no words,
no way to speak,
I would still hear you.
If there were no tears,
no way to feel inside,
I'd still feel for you ..."

Terhanyut, jemariku naik ke pundaknya. Kurasa, aku benar-benar jatuh cinta padanya. Wajahnya mendekat perlahan sembari mulai merangkulku. Harum mawar memperindah suasana, ketika bibir kami bersentuhan.

LuzaphireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang