Alice melangkahkan kakinya keluar dari hotel tempat dia bekerja. Pekerjaannya sudah rampung. Untuk ukurannya, pekerjaan ini terhitung sangat melelahkan. Apalagi pekerjaannya sebagai seorang waitress harus ikut berkecimpung dengan urusan dapur.
Ini semua gara-gara Daniel, aku harus pulang selarut ini. Gerutu Alice dalam hati. Si kepala koki itu memang sangat merepotkan, selalu memerintah bawahannya seenaknya saja. Telepon Alice tiba-tiba berdering. Louis ternyata. Senyumnya mulai merekah. Alice merindukannya. Sangat.
"Hallo sayang", Suara Louis menyapa dari seberang sana. Sudah lama Alice tidak bertemu dengannya.
"Aku merindukanmu... ", jawab Alice seraya menepis air mata di pelupuk matanya. "Aku sudah tidak kuat menunggu seminggu lagi untuk bertemu denganmu!", rengeknya seperti anak kecil. Pikirannya seolah melayang kembali ke masa kecil Alice. Masa yang penuh kebahagiaan. Kembali ke masa kecil adalah saat yang paling diinginkan. Kita tidak dituntut untuk saling merindukan dan juga melepaskan. Sebaliknya, saat dewasa kita dituntut untuk keduanya.
Louis terkekeh mendengarnya. "Aku juga merindukanmu sayang. Aku minta maaf sudah membuatmu khawatir. Ini semua demi persiapan pernikahan kita. Dua bulan lagi Alice. Aku harus mempersiapkannya sesempurna mungkin."
Alice terenyuh. Dia tidak mungkin terlalu banyak menuntut. Asalkan Louis memenuhi janji untuk tetap bersamanya. Itu sudah cukup. Cukup lama mereka berbincang, memberi kabar dan saling bercerita. Cukup mengusir kerinduan. Alice mulai menabung bersama Louis untuk saling mengikat komitmen itu. Pernikahan yang Alice selalu impikan bersamanya.
Alice akan mengumpulkan uang gajiannya dan selalu mentransfer ke rekening mereka bersama. Tak peduli sudah makan berapa kali ataupun belum sama sekali, Alice harus bisa menekan sendiri pengeluarannya. Dia harus berhemat, pikirnya. "Umm... aku naik bis. Akan ku telepon lagi sampai rumah nanti. Love you," kata Alice. Dia menutup teleponnya.
Alice meneruskan langkahnya menuju rumahnya. Cukup jauh tetapi dia terus berjalan. Jalanan kota yang dia lalui cukup sepi mencekam, dikarenakan cuaca musim gugur begitu dingin menusuk tulang. Banyak orang enggan menghabiskan waktu di luar rumah. Dia terpaksa berbohong naik bis agar Louis tidak mengkhawatirkannya. Meskipun punya cukup uang dia harus tetap berhemat. Iya, demi pernikahan kita. Dia berjalan sendirian di jalanan kota Berlin.
"Pembohong..."
Alice mencari asal suara itu. Pikirnya dia hanya berjalan sendirian malam itu.
"Daniel ?!", kata Alice sambil mengernyitkan dahinya tidak percaya. "Sedang apa kamu?".
"Melihatmu sedang berbohong", jawab Daniel enteng sambil tertawa mengejek.
Apa dia mengikutiku dari hotel tadi? Orang aneh! , pikir Alice seraya berbalik dan terus berjalan cepat, menghindarinya.
"Jangan berpikir aku aneh. Yang aneh justru dirimu!", oceh Daniel seakan mampu membaca pikiran Alice.
Hebat! Apa dia keturunan orang sakti? , gerutu Alice dalam hati.
"Berbohong kepada sang kekasih dan merelakan dirinya berjalan sendirian untuk sampai ke rumah. Kamu pikir itu romantis?", tanya Daniel dengan nada mengejek seraya mengikuti Alice.
"Itu bahkan jauh lebih romantis dibandingkan dengan orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Seperti kamu misalnya!", balas Alice tak mau kalah. Dia tetap berjalan, tak memperdulikan Daniel yang tetap mengikutinya.
"Apakah orang yang mau menikah selalu menyedihkan seperti kamu misalnya?".
Kakinya terhenti. Alice menoleh kesal. "Apa maumu? Kenapa mengikutiku?", geram Alice sambil melotot ke arah Daniel. Hatinya mulai panas. Orang ini selalu saja menjengkelkan.
"Aku ingin mengantar orang bodoh sampai ke rumah. Memastikan bahwa dia telah aman".
Seketika Alice terdiam kala itu. Daniel...
KAMU SEDANG MEMBACA
Schatten
RomanceAdakah yang lebih menyakitkan dari kenangan yang bahkan untuk diingat saja membuat takut? Mengingatnya saja menakutkan apalagi mengalaminya. Dia terbangun bahkan tidak mengingat apapun tentang dirinya. Atau sengaja melupakan karena terlalu menyakitk...