BINTANG TELAH KU GAPAI

18 0 0
                                    

Teriknya matahari memang sangat membakar ubun-ubun hingga ujung kakiku. Sangat panas, dan haus. Tapi kaki kecilku yang hanya beralas sendal jepit, terus melangkah menyelusuri setiap sudut kota Jakarta, memasuki warung-warung makan dan memperdendangkan suara merduku. Memang tak banyak orang yang memberiku sebagian uang mereka, namun kaki kecil nan mungil ini terus berjalan, mencari tempat yang sekiranya bisa memberi ku lebih dari sesuap nasi. Aku terus bernyanyi, hingga aku merasa tenggorokan ku kering.

Aku hampiri sebuah warung kecil dengan beberapa makanan ringan tersimpan dengan rapi dalam sebuah keranjang persegi. Aku keluarkan uang lima ratusan, hendak membeli sebuah air mineral dalam kemasan gelas plastik. Namun saat aku memegang minuman yang menggoda tenggorokanku, tiba-tiba bayangan Nunik, hadir. Dengan tawa cerianya menyambutku pulang. Nunik selalu tersenyum memelukku saat aku pulang, memperlihatkan bola matanya yang bulat dan berkaca-kaca, berharap aku membawa sebuah permen untuknya. Nunik, raut wajahnya yang polos membuat aku miris. Tak seharusnya ia hidup dengan kakak yang hanya bisa menghidupinya dengan uang hasil mengamen.

" Neng, jadi beli airnya tidak? " Kata pemilik warung.

" Maaf, Bang. Saya tidak jadi beli. " Aku meletakan air itu.

" Ya sudah, jangan berdiri di sini! Menghalangi pelanggan saya saja. Pergi sana!" Pemilik warung itu mengusirku dengan raut muka sebal. Aku kembali berjalan melawan rasa haus yang menggerogoti tenggorokanku. Demi Nunik, satu-satunya keluargaku yang tersisa. Ayah dan Ibu sudah lebih dahulu menghadap Tuhan karena kecelakaan saat bekerja di sebuah pabrik sepatu. Kepergian kedua orang tuaku benar-benar membuat aku jatuh dari bintang yang ku duduki. Dahulu, aku adalah salah satu murid yang berprestasi dalam bidang menulis. Semua karyaku dihargai oleh pihak sekolah dan diikut sertakan dalam berbagai lomba menulis cerita dan puisi. Aku sangat bangga terhadap diriku sendiri, karena aku bisa berdiri, berprestasi dengan daya kreatifku yang tinggi.

Aku berjalan memasuki gang sempit dan panjang. Tepat di ujung gang, aku dapat melihat sebuah warung kopi. Pemiliknya adalah seorang wanita paruh baya yang sangat aku hormati dan aku sayangi. Aku menghampiri wanita itu yang sedang merapihkan warungnya.

" Siang, Ibu Wati. " Sapaku

" Dari mana, Mel? Jam segini baru pulang."

" Biasa, Bu. Abis audisi nyanyi."

" Ngamen lagi, Mel? Kamu kan baru 2 hari kerja jadi tukang ketik di rental komputer seberang gang ini. Kenapa jadi pengamen lagi?"

" Ibu, Mela tidak mau punya kerjaan cuma satu. Itung-itung cari tambahan jajan Nunik. Kasian dia, setiap hari tidak jajan seperti teman-temannya yang lain. " Ibu Wati memperlihatkan raut wajah prihatinnya.

" Sabar saja ya, Mel. Semua pasti bakalan berubah jadi enak kayak dulu. Kamu bisa lanjutin sekolah yang tertunda, kamu bisa berkarya lagi. Pokoknya kamu sabar aja, jaga baik-baik Nunik!"

" Iya, Bu. Doain aja ya, Bu. Kalau tentang berkarya, aku sedang menulis sebuah cerita. Aku membuatnya jika aku kerja di rentalan komputer, lalu aku simpan di disket ini." Aku menunjukan disket yang setiap hari aku bawa.

" Bagus kalau begitu. Kamu bisa tetap berkarya disela-sela waktu kerjamu. Bagaimana kalau karyamu dijual saja ke suatu perusahaan penerbitan atau majalah-majalah. Siapa tahu, karyamu diterima. Uangnya bisa kamu kumpulkan untuk melanjutkan SMA. "

" Benar juga. Aku bisa menjual karyaku ini. Kalau terjual, aku bisa meneruskan sekolahku. Ide bagus, Bu. Makasih, Ibu." Aku memeluk Ibu Wati.

BINTANG TELAH KU GAPAIWhere stories live. Discover now