Akhirnya...

2.2K 265 49
                                    

Aku menawarkan akomodasi penginapan gratis di rumah Eyang karena Devisser sendiri belum sempat mencari penginapan. Pilihan di Traveloka tidak terlalu banyak di kota kecil ini.

Aku teringat raut wajahnya yang kecewa saat kukatakan bahwa Eyang Ratmi sudah meninggal setahun lalu. Devisser sangat penasaran soal Anton Bule yang selama ini hanya menjadi tokoh dongeng sebelum tidur yang diceritakan ibunya di Belanda jauh. Devisser sekeluarga fasih berbahasa Indonesia karena banyak berteman dengan orang Indonesia.

Aku sangat senang ketika Devisser memberi bantuan untuk membereskan rumah ini. Apalagi bantuan yang dijanjikan Indri tak kunjung datang hingga hari ketiga.

Selama itu pula aku mengajak Devisser berkeliling rumah dan halaman, mulai dari kamar tidur Eyang-eyangku yang terpisah, lalu kamar tamu.

"Kalau begitu dulu opa saya tidur di kamar ini. Saya ingat Mama bercerita kalau selama di kota ini dia tinggal di rumah Mariana."

Kok Mariana? Bukan Pardjiman? Beneran nih, pasti ada sesuatu antara Anton Bule dan Eyang Mariana.

Melihatku berpikir keras akhirnya Devisser mengakui satu hal yang bahkan Eyang Ratmi atau Mamaku saja mungkin tidak mengetahuinya.

Devisser berkata bahwa Anton memang menyimpan perasaan terlarang untuk Mariana selama tinggal disini. Anton menyembunyikan perasaannya dengan baik dan cukup puas walau hanya dapat melihat Mariana dalam pelukan orang lain.

Menurut Devisser, Anton menikah dengan seorang imigran Belanda di salah satu gereja yang sudah tidak ada wujudnya sekarang. Sayang, Anton meninggal beberapa tahun kemudian dan istrinya pulang kembali ke Belanda.

Aku tidak habis pikir dan bertanya-tanya seberapa hebat nenek dan Ibu Devisser berdongeng karena pria tampan itu lebih mengenal rumah ini dari pada aku. Bahkan ia tahu soal kotak rahasia di panel pintu belakang yang aku dan Kak Boni temukan. Kotak itu memang berisi surat cinta rahasia dalam bahasa Belanda yang aku tidak tahu artinya. Kak Boni sempat memotret surat itu lalu meminta teman Belandanya untuk menerjemahkan, kata Kak Boni isinya jorok jadi aku tidak boleh tahu. Kesel kan! Nah, siapa tahu Devisser mau menerjemahkan untuk aku nanti. Setelah kubujuk, dia juga menolak. Katanya isi surat itu tidak pantas. Astaga, aku semakin penasaran, aku ingin sekali pakai google translate kalau seperti ini.

"Orang jaman dulu itu jarang sekali bersentuhan fisik. Mereka pikir itu tidak sopan. Jadi segala macam gairah terlarang mereka ungkapkan lewat tulisan. Seperti opa saya ini, dia punya hasrat yang hanya bisa dibaca oleh Mariana." kata Devisser setelah kami selesai makan sate.

Aku meneguk bir yang kubeli dari minimarket sebelum tiba di rumah ini. "Anton Bule tersiksa banget dong selama tinggal di sini karena harus melihat eyang-eyang saya."

"Tapi itu jauh lebih baik dari pada tidak melihat Mariana sama sekali. Opa sangat mencintai Mariana." katanya dengan bijak.

"Kenapa tidak direbut saja?"

Devisser tertawa lagi, "Kalau direbut, kamu tidak akan lahir ke dunia ini."

Yah, si bule bener juga. Astaga, Devisser...kamu ganteng banget sih. Ini godaan buat fakir cinta seperti aku, tinggal seatap dan hanya berdua.

Sepertinya Devisser sadar aku sedang mengamatinya dari balik asap rokok tipis yang mengepul di antara kami. Dia meraih rokokku dan mematikannya. Aku terkejut ketika dia protes bahwa tidak seharusnya bibir ranumku ini mengisap rokok.

Aku kembali dibuat terkejut ketika Devisser tiba-tiba menangkup wajahku dan menciumku dengan lembut dan ragu-ragu. Mungkin alkohol memang pantas dijuluki sebagai air setan karena sekarang kami berdua dibuat lupa diri.

Halo, Devisser!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang