Awalnya...

2.7K 244 4
                                    

Aku melompat turun dari angkutan butut yang jalannya lambat dan mesinnya berisik. Setelah membayar sekian rupiah kepada sopir aku memikul ranselku yang tidak terlalu berat.

Indraku langsung tertuju pada bangunan tua dengan arsitektur Belanda kuno yang menjadi tujuanku datang ke kota ini. Sebuah kota kecil dan dingin, mungkin juga romantis.

Astaga, rumah buyutku sudah mirip cagar budaya saja padahal hanya lima bulan tidak dikunjungi. Biasanya aku datang bersama Papa, Mama, dan Kak Boni untuk membersihkan rumah sebulan sekali, tapi karena belakangan ini kami sibuk, terbengkalailah dia. Terlebih memasuki musim hujan begini tumbuhan seolah kelebihan hormon dan dengan rakus menutupi pagar hingga menjalar ke teras rumah.

Aku mengeluarkan serangkaian kunci dari dalam tas. Seketika bobot ranselku berkurang setengah kilogram. Ini nih yang bikin pundak pegal seharian.

Aku membuka gembok berkarat yang mulai dililit oleh tanaman liar dengan kunci yang paling tebal dan berat. Sambil melangkah masuk aku menarik sulur-sulur tanaman yang menutupi pagar lalu membuangnya ke tempat sampah. Wah bakalnya kerja keras nih, semoga saja Pak Wasis masih bisa dimintai bantuan. Biasanya aku dan keluarga yang segitu banyak masih perlu dibantu tetangga yang tinggal tidak jauh dari sini untuk membersihkan rumah. Maklumlah rumahnya besar, halamannya pun luas.

Aku memutuskan untuk menyimpan tas ini di dalam rumah sebelum mencari Pak Wasis. "U" adalah huruf yang menandakan bahwa itu adalah kunci pintu utama. Ya, pintu ganda yang tingginya dua kali lipat tinggi badanku itu terbuka dan debu menyambut kedatanganku. Aku terbatuk seketika, kemudian aku teringat masker sekali pakai yang sengaja kubeli di bus antar propinsi tadi. Sekarang masker ini berguna sesuai fungsinya, karena tadi aku beli masker itu hanya agar orang tidak mengajakku ngobrol. Ayolah, di bus oleng, capek, panas, males dong buat ngobrol. Aku lebih suka tidur.

Kok agak merinding ya datang ke rumah eyang sendirian. Ini karena keluargaku pergi sendiri-sendiri dan mereka menjanjikan tiga juta rupiah buat bersihkan rumah ini sembari mengisi libur kuliah semester genap. Awas saja kalau tidak ditepati.

Aku adalah orang yang berpikiran logis, aku tidak percaya dengan aktivitas paranormal atau horor. Ya, karena aku belum pernah mengalaminya sendiri. Cuma katanya. Dan aku jarang percaya sama 'katanya' sama Tuhan aja kadang masih suka bertanya-tanya.

Aku buka semua jendela ganda berdebu sehingga cahaya menyeruak masuk ke dalam rumah yang dingin, lembap, dan agak gelap ini.

"Nah, beginikan bagus." kataku sendiri.

Baru begini saja aku sudah kelelahan. Wajar sih, aku baru saja tiba. Aku keluarkan sebatang rokok dan menyulutnya. Lumayanlah, tidak ada Mama membuatku bebas mau ngerokok satu bungkus sehari juga.

Aku putuskan sambil membersihkan kamar mandi, siapa tahu kebelet. Air yang keluar dari keran berbau karat dan warnanya keruh jadi kubuang terus hingga airnya jernih.

Pandangan kuedarkan ke sekeliling ruang tengah. Debu sudah pasti menumpuk di mana-mana, lalu sarang laba-laba sudah seperti gula kapas menggantung di plafon. Aku benar-benar tidak bisa membersihkan ini sendirian.

Aku meninggalkan rumah dalam keadaan terbuka, aku yakin tak seorang maling pun berani masuk ke dalam. Aku sering mendengar bahwa rumah ini angker, sering muncul penampakan, dan sebagainya. Mereka tidak tahu saja kalau rumah ini sangat nyaman di bagian dalam. Semua ini ulah semak-semak yang membuat rumah seolah menguarkan aura mistis.

Aku tiba di sebuah rumah yang dulu terlihat besar tapi sekarang terlihat seukuran Hobbit. Rumah Pak Wasis. Seorang ibu muda sedang menggendong bayinya yang menangis kencang. Ibu itu tidak sungkan mengeluarkan payudaranya untuk si bayi. Untung saja aku perempuan, kalau aku laki-laki masak iya nih ibu tidak malu?

Halo, Devisser!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang