R

509 58 9
                                        

Sambil menunggu rasa sakitnya mereda, Friska mengamati ulang semua boneka di hadapannya. Boneka-boneka tadi seolah memelototinya balik. Dengan kesal dia mengambil sepatunya dan melemparkannya ke tumpukan boneka-boneka tersebut. Sepatunya mengenai sekitar setengah lusin boneka yang langsung terpental ke berbagai arah. Belum cukup puas Friska menarik karpet di kakinya. Berniat menutupi semua boneka. Nyatanya dia menemukan keanehan pada lantai yang sebelumnya tertutup karpet. Ada lubang berbentuk persegi panjang seukuran tangan manusia. Friska mendekat. Mengintip ke balik lubang. Kini dia juga melihat semacam garis di lantai kayu yang tidak sesuai dengan pola pemasangan papan.

Lubang tadi menunjukkan sebuah ruangan (atau tempat?) di bawah sana. Ragu-ragu Friska memasukkan tangannya ke dalam lubang, kemudian mengangkat lantai secara perlahan. Dugaannya benar, ini semacam pintu tingkap. Pintu tersebut kini terbuka lebar dan aroma anyir menyeruak masuk ke dalam ruang boneka. Friska terbatuk-batuk sebentar. Melongok ke bawah. Ada tangga menuju ruangan di bawah. Lampu di sana mati-nyala-mati-nyala. Sehingga agak sulit bagi Friska untuk menerka ruangan apa sebenarnya yang menanti di sana.

Dia menimbang sebentar. Dia harus memilih, Apakah memberanikan diri untuk turun atau tetap tinggal di ruangan penuh boneka ini. Ditutupnya pintu tingkap tadi. Dia memilih tinggal.

***

Geraman yang didengar Actra semakin nyaring. Entah karena makin dekat, atau karena anak ini menunggu dalam diam. Lalu geraman tadi terdengar berputar, bagai mencari sesuatu di ruangan sebelah. Actra menempelkan telinganya ke dinding. Terbukti itu bukanlah tindakan yang tepat, sebab dinding tadi bergetar. Sesuatu di ruangan sebelah menghantamnya. Actra menyingkir dari sana dan geraman terdengar mengganas. Namun dinding tak lagi bergetar.

Menggigil ketakutan, Actra menunggu di tengah ruangan. Geraman terus terdengar.

***

Menggigiti bibir dengan gusar, Friska terus mengamati lubang pintu tingkap. Ya, dia memang memutuskan untuk tinggal, tapi kini keputusannya terasa tidak masuk akal. Apa dia mau terkurung di sini selamanya?

Karena itulah, dia menarik nafas panjang dan menyambar sebuah boneka di dekatnya. Kembali membuka pintu tingkap. Dia menatap nanar ke bawah. Lampu di sana masih berkedap-kedip. Malah ada kemungkinan mati total. Ketika dia menginjakkan kaki di anak tangga pertama, dia masih ragu. Pun ketika dia telah berada di anak tangga terakhir. Agak sulit untuk menuruni tangga sambil memegang boneka di salah satu tangan. Rupanya tangga tersebut tidak menyentuh lantai di bawah. Ada jarak sekitar 2 meter. Friska harus melompat untuk turun. Mengambil ancang-ancang, dia pun melompat. Rupanya lantai di bawah sangat licin, dia tergelincir dan badannya dengan sukses menghantam lantai.

Lengkingannya menggema ke segala arah sekaligus teredam dengan tidak wajar. Susah payah Friska mencoba berdiri, seluruh tubuhnya kini lengket oleh lendir. Pantas saja dirinya tergelincir. Seluruh permukaan lantai dilapisi lendir setebal 1 inchi.

Friska kini berdiri di sebuah lorong bawah tanah. Di belakangnya sebuah jeruji besi menghadang. Sementara di depannya terlihat lorong penuh cabang. Akan mudah baginya tersesat di salah satu sudut lorong ini. Dia mengangkat boneka di tangan kanannya. Penuh lendir pula. Friska sendiri merasa bingung kenapa dia merasa perlu membawa boneka tersebut. 

Dia mulai bergerak maju sambil berpegangan ke dinding bata yang menghitam. Suara langkahnya menimbulkan bunyi 'plop' sewaktu diangkat dari lapisan lendir. Dia mengumpat begitu lampu di dekatnya padam total. Terus melangkah, Friska akhirnya mendengar suara itu. Sesuatu tengah meluncur di lapisan lendir di belakangnya. Dengan gugup dia mempercepat langkah. Sesuatu tadi terus meluncur ke arahnya. Menoleh ke belakang, dalam keremangan, Friska melihat sosok pengejarnya. Seekor belut seukuran anak anjing dengan gigi-gigi yang runcing tengah mengejarnya. Belut tersebut mengatupkan rahangnya dengan buas. Friska menjerit. Dia mencoba berlari, namun lendir menghalangi usahanya. Dia terjatuh dan terus tergelincir. Sementara belut tadi makin mendekat.

Di jarak setengah meter, belut tersebut melompat ke arah Friska. Anak ini melemparkan boneka di tangannya ke mulut si belut yang langsung mencabik-cabiknya tanpa ampun. Friska mengambil kesempatan ini untuk kabur. Dia berlari ke salah satu belokan lorong. Belut tadi kembali mengejarnya. Dengan panik Friska mencoba memperlebar jarak.

Sayangnya belut tersebut lebih cepat. Lorong bawah tanah ini adalah wilayah kekuasaannya. Makhluk itu menerjang Friska yang terduduk di lantai. Friska mengayunkan tangannya ke berbagai arah dengan harapan menemukan sesuatu sebagai pengalih perhatian si belut. Tanpa sengaja tangannya menarik tuas yang terletak di bawah lapisan lendir. Sebuah jeruji besi turun dengan tiba-tiba. Belut tadi menghantam jeruji dengan keras. Kini antara makhluk itu dan Friska terhalangi oleh jeruji tadi. Si belut meronta dengan ganas. Marah karena tidak berhasil mendapatkan buruannya.

Friska tak mampu berkata-kata. Dia selamat. Untuk kali ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fracture In ~ Jika kau berani...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang