Iring-iringan sosok berjubah hitam itu membawa lima anak yang tampak tertidur pulas. Mereka melewati lorong yang diselimuti kegelapan pekat. Penerangan hanya berasal dari lentera kecil dari orang yang berjalan terdepan. Semua jendela, pintu bahkan lubang sekecil apapun telah disegel. Menghalangi semua cahaya yang mungkin masuk. Tidak jelas saat itu siang atau malam. Udaranya sendiri terasa dingin menusuk. Ditambah bau tidak sedap dan apak yang sepertinya menyatu dengan serasi. Sementara keadaan lorong sendiri bagai kapal pecah yang telah lama terbengkalai. Beragam noda menghiasi beragam sudut. Entah apa penyebabnya, dan substansi dari noda itu sendiri meragukan.
Iring-iringan kemudian memisahkan diri ke lima tempat berbeda. Masing-masing membawa satu anak. Mendadak terdengar suara lolongan tidak wajar yang mendirikan bulu kuduk. Lolongan itu tidak terdengar seperti lolongan anjing, atau katakanlah serigala. Lebih mirip lolongan seorang manusia yang disiksa dan merintih tanpa ampun. Para sosok berjubah tadi menjadi gelisah. Mereka buru-buru meninggalkan anak yang menjadi tanggungan mereka di tempat yang sudah diperintahkan. Mereka tidak berniat bertemu 'makhluk' itu. Mereka masih sayang nyawa.
***
Anak itu adalah anak pertama yang terbangun. Beruntung dia mengenakan celana jeans dan jaket kulit. Sehingga udara dingin tidak semena-mena menerjang tubuhnya. Namun tetap baginya rasa takut menghinggap detik itu juga. Dia menelan ludah. Dia tidak mengenal tempat dia berada. Lebih parah lagi memorinya seolah terhapus. Dia hanya mengingat namanya. Friska.
Friska terbangun di sebuah kamar penuh boneka dengan penerangan seadanya dari sebuah lampu pijar kecil. Semua boneka tadi mengambil wujud anak kecil tanpa busana. Keadaan mereka mengenaskan. Ada yang tanpa tangan, tanpa kaki, bahkan tanpa kepala. Ada pula yang terlihat bekas dibakar. Beberapa memiliki rambut yang diikat dengan boneka disampingnya. Beberapa lainnya memiliki kepala yang cacat.
Spontan yang pertama dilakukan Friska adalah berlari menuju pintu. Mengguncang pegangannya dengan panik. Mendapati pegangan tersebut patah karena usahanya tadi. Sambil menahan air mata dia mencoba usaha lain. Dihantamkannya tubuhnya ke pintu. Berusaha mendobraknya. Tetapi pintu itu tetap berdiri kokoh. Friska berlutut, kali ini tak mampu menahan tangis. Dia tidak tahu siapa dia dan di mana dia berada.
***
Bisa dibilang Actra menghabiskan 20 menit pertamanya setelah terbangun adalah dengan mencari kacamatanya. Dia tidak berhasil menemukannya. Sekelilingnya gelap gulita. Dia memang mendengar tetesan air di suatu tempat. Dan menilik dari keramik berlendir tempat dia berjongkok, Actra menduga dia sedang berada di kamar mandi. Menguatkan diri dia berdiri dan mendapati langit-langitnya rendah. Kepalanya menghantam lapisan beton di atas dan sakitnya sungguh tak tertahankan. Dia mengumpat, padahal tingginya hanya sekitar 160-an. Kamar mandi apa yang memiliki langit-langit serendah ini!?
Actra mulai meraba dinding dalam keadaan berjongkok. Berusaha mencari pintunya. Betapa herannya dia menemui bahwa dinding itu tak berpintu. Dia kembali mengumpat dalam kegelapan. Anak laki-laki ini menghentakkan kaki dengan kesal. Lalu geraman itu terdengar. Dingin dan mengancam. Actra terdiam. Geraman tersebut berasal dari dinding sebelah.
***
Sementara itu anak ketiga, Tuppa, memiliki suatu barang yang tidak dimiliki anak lainnya. Sebuah senter. Benda tersebut sudah ada di tangannya sejak dia terbangun. Hati-hati Tuppa menyalakannya. Dia berada di sebuah lobi. Tangga besar berada di hadapannya. Namun tangga itu diblokir puluhan barang yang ditumpuk tinggi. Dia menyorotkan senternya ke arah kiri. Cahaya menimpa sebuah lukisan yang terkoyak setengahnya. Tuppa mendekat, mengamati lukisan tersebut. Kemudian terkesiap. Lukisan tadi ternyata menunjukkan seorang wanita dengan tubuh tercabik-cabik. Dia memalingkan badan. Kali ini berjalan ke arah kanan. Dia mendapati sebuah kerangkeng penuh darah yang sepertinya dibuka secara paksa. Tuppa mengernyit mencium bau mirip muntahan dari dalam kerangkeng. Perutnya langsung terasa mual.
Tiba-tiba dia mendengar langkah seseorang. Langkah ganjil, seolah orang itu menyeret kakinya. Alih-alih gembira, insting Tuppa menyuruhnya untuk sembunyi. Dia bergegas ke balik tangga. Merapatkan tubuhnya yang cukup besar di sana. Mematikan senternya.
Instingnya benar. Di kegelapan dia mendengar orang itu membuka pintu dan menguncinya kembali. Langkah tadi semakin nyaring, dan makin mendekat. Selain bunyi 'tap' terdengar pula gemerincing rantai. Tuppa memicingkan mata, berusaha melihat sosok yang masuk barusan. Jantungnya berdegup kencang dan kaosnya basah oleh keringat dingin. Orang itu besar, dan bungkuk. Kaki kanannya terlihat aneh karena menyeret bola besi yang terikat rantai ke pergelangannya. Orang itu bernafas dalam suara berat. Seperti terkena penyakit asma. Dia masuk ke dalam kerangkeng. Kemudian membanting pintu. Secara sukarela berdiam di sana.
Tuppa ketakutan setengah mati.
***
Renna adalah anak keempat. Dia ingin berteriak namun sebuah masker menutup mulutnya dan masker itu dikunci. Dia berlari di lorong yang berliku-liku tanpa tahu arah. Berusaha membuka pintu demi pintu yang entah terkunci atau dibarikade sesuatu dari dalam. Dia hanya mengenakan kemeja tanpa lengan dan rok. Jadi tubuhnya menuntut untuk mendapat kehangatan tambahan.
Renna dengan lega menemukan sebuah selimut di depan pintu bernomor 34. Begitu dia menarik selimut tersebut, ratusan belatung berjatuhan dari sana. Dia tercekat dan dengan kepanikan luar biasa berusaha menyingkirkan belatung-belatung yang terlempar ke badannya. Dia menangis sejadi-jadinya kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.
Kali ini Renna melangkah perlahan. Dia mulai kehabisan tenaga. Diliriknya bagian lain dari lorong yang tak memiliki penerangan sedikitpun. Sebelumnya dia hanya berkeliaran di lorong yang memiliki lampu redup. Dia tak berani menuju lorong tanpa lampu. Tapi tampaknya mau tidak mau dia harus ke sana. Tak ada apapun di sini.
Renna menguatkan hati. Dia berdiri di depan lorong gelap. Menghitung satu, dua, tiga dalam hati. Lalu berjalan maju. Kegelapan segera menghampirinya. Dia tak mampu melihat apapun, jadi dia berjalan pelan sembari menyorongkan kedua tangan ke depan. Di langkah ke sepuluh sesuatu terjadi. Sesuatu dalam kegelapan menangkap kakinya. Tangan yang menangkap kaki Renna itu sedingin es. Renna meronta, menendang tangan tadi. Tanpa menunggu lama, berlari kembali ke arah cahaya. Dia menjerit, namun tak ada suara terdengar dari mulutnya terhalang oleh masket terkutuk itu.
***
Air mengalir berputar di sekitar altar. Seorang anak kecil terbaring di altar tersebut. Namanya Initia. Anak kelima. Dia belum terbangun dari tidurnya. Mungkin ini adalah yang terbaik. Sebab dia akan mengalami terror yang sama mengerikannya dengan empat anak lainnya.
Tidurlah, Initia. Tidurlah selama kau belum menyadari apapun juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fracture In ~ Jika kau berani...
HorrorHati-hati, kegelapan lebih mematikan dibanding apapun...